The Undetecable Strongest Job: Rule Breaker Bab 236


Bab 236 - Kata yang Tumpang Tindih, Hati yang Tumpang Tindih


Paula berada di asrama bersama para pejuang dari Jarazack untuk menyembuhkan mereka yang terluka, saat suara ledakan menggema di seluruh akademi. Hikaru menyuruhnya untuk "menyembuhkan mereka, tapi jangan terlalu berlebihan sehingga dia bisa menarik perhatian". Itu tidak sesuai dengan dirinya, saat mengetahui kalau dia bisa menyembuhkan mereka sepenuhnya, tapi dia tidak punya pilihan lain. Kemampuannya haruslah dirahasiakan.

"Apa itu tadi?!"

Suara yang memekakkan telinga terdengar dari halaman, diikuti dengan suara gemuruh bumi. (Apa yang terjadi?) pikirnya. Hikaru tidak ada di sini. (Apa dia ada disana?)

"Tenanglah, nona muda." Kata seorang pria. "Hei! Mereka yang bisa bergerak, ikuti aku! Kita akan melihat apa yang terjadi. Tunggu, kau mau kemana?!”

Merasa perasaan yang tidak menyenangkan, Paula berlari keluar dari asrama. Dia berlari menyusuri koridor ketika tiba-tiba, di luar berubah menjadi terang.

(Itu adalah sihir Lavia yang dibawa Hikaru-sama. Masih ada musuh di sekitar dan dia bertarung sendirian di luar. Aku mungkin tidak dapat berbuat banyak, tapi aku dapat menyembuhkannya jika saja terjadi sesuatu.)

Hikaru selalu menghadapi musuh sendirian, hampir tidak pernah membawa Paula bersamanya. Malahan, dia meminta agar Paula tinggal di tempat yang aman.

(Tapi bagaimana jika dia terluka? Siapa yang akan menolongnya jika dia dalam bahaya?)

Paula hendak keluar dari gedung ketika dia mendengar suara gemuruh yang menggelegar. Ketakutan mencengkeram dirinya, tapi Paula menggenggam kedua tangannya erat-erat di dadanya.

"J-Jika Hikaru-sama ada di sana..." dia bergumam, bibirnya bergetar, dan sekali lagi mulai berlari.

Apa yang dia lihat adalah drakon raksasa yang terbang di atas langit. Dia baru saja mengatasi rasa takutnya, dan sekarang kakinya gemetar. Makhluk raksasa itu mengawasi tanah dengan rasa permusuhan. Kemudian lingkaran sihir sebesar drakon itu muncul.

Paula bersiap untuk mati. Dia belum pernah melihat atau mendengar lingkaran sihir sebesar itu. Itu pasti salah satu mantra yang muncul hanya dalam mitologi dan dongeng, mantra yang bisa menghancurkan seluruh gunung, menghentikan aliran sungai, atau membelah lautan.

Lingkaran sihir itu menunjuk ke arahnya.

"Hikaru-sama...?"

Tapi ancaman itu lenyap dalam waktu singkat. Sinar hitam ditembakkan dari atas atap. Seseorang yang memakai mantel hitam ada di atasnya. Itu pasti Hikaru. Lingkaran sihir drakon menghilang dan makhluk itu jatuh ke tanah.

"Wow... Luar biasa! Kau sangat luar biasa, Hikaru-sama!”

Hatinya yang diliputi rasa takut sekarang dipenuhi dengan harapan. (Aku harus menghampirinya), pikirnya. (Aku yakin dia kelelahan. Aku bisa menyeduhkan dia teh.)

Sangat gembira, dia menuju ke tempat Hikaru berada. Di perjalanan, dia melihat banyak orang datang dari arah lain. Lavia bersama mereka. Paula berasumsi bahwa mereka adalah penjaga yang Lavia panggil sebagai bantuan.

(Lavia juga ada di sini. Itu bagus. Mereka pasti kedinginan. Aku bisa memberi mereka minuman hangat.)

Hikaru sedang berbicara dengan para penjaga dengan mengenakan topeng peraknya. Paula tahu bahwa Hikaru akan memakai topeng itu setiap kali dia melakukan sesuatu yang dia tidak ingin orang lain ketahui. Dia tidak repot-repot memakainya selama penyerangan orang-orang dari Ludancia, tapi perihal drakon—dari mana makhluk itu berasal, Paula tidak tahu—adalah cerita yang sama sekali berbeda. Hikaru tidak ingin terlibat di dalamnya.

“...Ah.”

Pria bertopeng tanpa ekspresi melirik ke arah Lavia. Lavia menatap pria misterius itu dengan tatapan serius seolah-olah dia menyadari semua yang terjadi, dan kemudian tersenyum. Hikaru tersenyum juga sebagai tanggapan.

Seolah-olah mereka memahami satu sama lain dengan baik, seoalah mereka terhubung secara alami—sebuah tanda bahwa mereka saling percaya sepenuhnya.

"........."

(Aku tahu. Mereka adalah kekasih dan aku harus senang dengan hubungan baik mereka.)

"Jadi kenapa?"

Tapi dia tidak bisa menghentikan rasa perih di hatinya.

---

Hikaru memperhatikan Paula menuju ke arahnya dengan [Deteksi Mana]. Namun, Paula berhenti di tengah jalan, dan berbalik. Dia bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.

"Jadi maksudmu drakon menghancurkan seluruh tempat ini dan kau mengusirnya?!" Kata kepala penjaga, mengulangi penjelasan Hikaru.

Hikaru dengan tenang mengangguk. Dia sudah memasukkan Drake ke dalam Kotak Naga Dimensi sehingga para penjaga tidak akan dapat melihatnya. Drakon putih itu tidak mau, tapi warnanya akan membuat sosoknya menonjol, membuat Hikaru tidak punya banyak pilihan.

"Itulah yang kukatakan." Jawab Hikaru.

"Lalu di mana drakon itu?!"

“Entahlah? Mungkin dia melarikan diri.”

"Kau pikir aku mempercayai itu—"

"Pokoknya, aku akan pergi. Kalian bisa melakukan apapun yang kalian inginkan.”

"H-Hei!"

Hikaru berbalik dan bergegas menuju bagian belakang gedung kemudian mengaktifkan [Sembunyi]-nya. Dia menghela nafas saat melepas topeng.

(Baiklah. Kalian bisa membersihkan tempat itu. Saat ini, aku perlu membuat alibi tentang apa yang kulakukan ketika ada drakon itu. Aku harus meminta bantuan Paula.)

Paula kembali ke asrama, tapi tidak ke tempat mereka yang terluka. Dia berada di suatu tempat yang jauh, sendirian. Hikaru menunggu para pejuang dari Jarazack lewat sebelum berjalan ke tempatnya.

"Paula? Kau ngapain di sini?"

Dia berada di ujung koridor yang gelap.

"Hah? H-Hikaru-sama?!”

Hikaru terkejut. Bahkan dalam kegelapan, dia tahu bahwa ada air mata di mata Paula.

"Ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi di asrama saat aku pergi”

"T-Tidak apa-apa! Tidak ada yang terjadi!”

(Tidak mungkin tidak ada), pikir Hikaru. Paula yang dia kenal selalu positif dan ceria. Dia yang menangis di tempat gelap seperti ini dapat diartikan bahwa sesuatu pasti telah terjadi.

"Apa kau terluka atau semacamnya—"

"A-aku baik-baik saja! Um, aku pergi dulu. Aku masih perlu menyembuhkan mereka yang terluka.”

Hikaru meraih tangannya dari belakang saat Paula melewatinya.

"Katakan padaku ada apa sebenarnya."

Hikaru tidak tahu apa yang harus dilakukan dalam situasi seperti ini. Paula jelas membutuhkan bantuan, dan itu terasa seperti Paula menghindarinya. (Haruskah aku memanggil Lavia?) dia bertanya-tanya. [Naluri]-nya mengatakan tidak. Dia sendiri-lah yang perlu berbicara dengannya.

Mereka terdiam beberapa saat. Kemudian tidak tahan lagi akan keheningan, Paula berbicara.

"Hikaru-sama... apa aku bisa benar-benar berada di sisimu?"

"Mengapa kau tiba-tiba menanyakan itu?"

"Hanya saja... aku akan menghalangi antara dirimu dan Lavia-chan."

"Dirimu dibutuhkan. Jika kau tidak ada, Claude mungkin tidak akan selamat.”

"........."

(Tidak. Ini bukan apa yang ingin dia dengar. Apa yang dia inginkan? Aku tidak tahu.)

"Jadi aku berguna bagimu...?"

"Tentu saja."

"Begitu... aku senang kalau begitu." Paula tersenyum. Tapi jelas bahwa itu adalah senyum yang dipaksakannya.

"...Paula."

(Aku mengerti. Sekarang saatnya memberitahunya.)

“Di sini terlalu dingin. Ayo pergi ke tempat lain.”

“Hah? Hikaru-sama?!”

Hikaru meraih tangan Paula dan membawanya ke ruangan terdekat. Cahaya oranye memenuhi seluruh ruangan saat dia menyalakan lampu sihir. Di sini sama dinginnya dengan di koridor, tapi ruangan itu dilengkapi dengan pemanas. Di dekat dinding di samping jendela ada papan logam dengan minyak di dalamnya yang menghangat saat tuas diputar.

Hikaru membawa dua kursi di depan papan logam itu. Dia menawarkan yang satunya kepada Paula sementara dia sendiri duduk di kursinya.

"Hikaru-sama...?” Paula bingung. Dia tidak tahu mengapa mereka pindah ke tempat ini.

"Paula, aku bukan dari dunia ini."

Dia menegang karena pengakuan yang tiba-tiba itu. "H-Hikaru-sama, kau—"

"Itu benar. Tubuh ini milik seorang laki-laki dari dunia ini, tapi jiwaku berasal dari dunia lain. Kau melihat catatan di Zubura yang ditinggalkan oleh Oota Masaki, kan? Dia orang Jepang dan dia berasal dari dunia lain. Aku berasal dari tempat yang sama dengannya.”

"Tidak! Kau tidak mungkin!" Paula bangkit dari kursinya. "Jangan... Kumohon jangan beritahu aku rahasiamu!”

"Paula."

Hikaru menggenggam tangan Paula untuk menenangkannya. Dia pun duduk kembali dengan suara keras.

"Aku sudah lama ingin memberitahumu... Um, aku sangat buruk dalam mengekspresikan emosi, tapi..." katanya saat memalingkan wajahnya, dan melirik Paula. "Aku benar-benar membutuhkanmu... Bukan hanya itu, kau penting bagiku. Begitu penting sampai-sampai aku tidak ingin orang lain memilikimu.”

Dia tidak mencintainya seperti yang dia rasakan terhadap Lavia, tapi perasaan yang dia miliki untuk Paula lebih dari seorang teman. (Kapan aku mulai merasa seperti ini terhadapnya?) dia bertanya-tanya. Dia hanya kebetulan menyelamatkannya sekali. Kemudian, Paula menjadi anggota party-nya. Dia percaya Paula tidak akan pernah mengkhianatinya. Jantungnya bahkan berdegup kencang saat melihat Paula berdandan.

Hikaru perlu memikirkannya. Apa yang dia pikirkan tentang dirinya? Bagaimana dia harus menghadapinya? Dia punya jawabannya sekarang.

Paula duduk di sana dengan mulut terbuka, air mata mengalir di wajahnya.

"Apa kau benar-benar harus menangis?"

"T-Tentu saja... Aku hanya... sangat bahagia..." Paula menyeka air mata dengan jari telunjuknya. "Bolehkah aku benar-benar berada di sisimu?" Dia bertanya dengan suara yang manis dan sengau.

"Iya."

"Selamanya?"

"Tentu."

"Selamanya dan selama-lamanya?"

"Tentu saja. Aku siap untuk itu.”
 
[Catatan Penerjemah: Kata-katanya sama seperti saat Lavia menanyakan itu pada Hikaru di awal-awal bab.]

Air mata mulai mengalir di matanya lagi, tapi dengan wajah tersipu, dia menunjukkan senyum cerah.

"Hikaru-sama!"

"Whoa!"

Tiba-tiba dia memeluk Hikaru. Mereka hampir jatuh, tapi Hikaru berhasil bertahan.

"A-Aku sungguh senang... aku selalu bertanya-tanya... berapa lama aku bisa tinggal... bisakah aku tinggal... aku tidak pernah benar-benar memikirkan itu sebelumnya, tapi baru-baru ini..."

"...Aku mengerti."

Bisa dibayangkan, Paula merasa cemas saat melihat Claude dan Luka. (Aku mendesak Claude untuk berbicara dengan Luka, meskipun aku sendiri seharusnya melakukan hal yang sama pada Paula), pikir Hikaru sambil dengan lembut menepuk punggung Paula.

Dia hanya menunda masalah dengan "mencoba menemukan kesempatan yang tepat" atau "memberi tahu dia setelah semuanya beres". Dia merasa tidak enak saat membayangkan penderitaan Paula selama ini.

"Aku sangat, sangat bahagia... Aku ingin berada di sisimu selamanya..."

"Tentu, itu tidak apa-apa bagiku. Kau bisa tinggal selama yang kau mau.”

(Tunggu. Ini terdengar seperti lamaran. Eh, terserahlah.)

"Paula, apa kau mau mendengarkan ceritaku? Ini tidak akan lama. Meskipun itu mungkin akan membuatmu terkejut.”

"Ya, dengan senang hati." Paula menarik diri perlahan lalu mencium bibir Hikaru, menangkap kelengahan Hikaru.

"P-Paula?!"

"Ehehe... Ini untuk membuat sumpahku. Bahwa aku akan mempersembahkan tubuh dan jiwaku kepadamu. Ehehe... "

"T-Tapi kau tidak bisa begitu saja—"

"Ehehehe..."

Hikaru tidak bisa menghentikan wajahnya dari tersipu. Dia menyadari perasaan Paula terhadap dirinya, tapi Paula tidak pernah mengungkapkannya secara langsung seperti yang dia lakukan sekarang.

"Aku sebenarnya mendapat izin dari Lavia... Ehehe..."

"Apa maksudmu?!"

Paula tersipu, gelisah saat dia memegang tangannya di antara pahanya.

"Hikaru-sama mengambil ciuman pertamaku... Ehehe..." katanya, kali ini menutupi wajahnya dengan kedua tangan dan mengibaskan kakinya.

Ekspresinya menjadi lebih lembut. Hikaru membutuhkan lebih banyak waktu sebelum dia bisa mengatakan kebenaran tentangnya kepada Paula.

3 Comments

Previous Post Next Post