Motokano to no Jirettai Gisou Kekkon Volume 1 - Prolog


Prolog



Bagiku, Tamaki Rio adalah teman masa kecil yang telah kukenal sejak aku masih kecil. Karena usianya yang dua tahun lebih tua dariku, keberadaannya sudah seperti seorang kakak untukku—dan yang paling penting, dia adalah cinta pertamaku.

“Mempelai pria, Haru-kun, apa kau bersumpah untuk terus saling mencintai dalam keadaan sakit maupun sehat, dalam kekayaan dan kemiskinan, serta dengan rasa hormat dan kasih sayang?”

“Aku bersumpah.”

“Mempelai wanita, Rio-chan, apa kau bersumpah untuk terus saling mencintai dalam keadaan sakit maupun sehat, dalam kekayaan dan kemiskinan, serta dengan rasa hormat dan kasih sayang?”

“Aku bersumpah.”

Berdiri di depan Fumie-san, yang berperan sebagai pendeta, adalah aku dan Rio muda. Kejadian ini terjadi lima belas tahun yang lalu, di taman Kediaman Tamaki. Berkat perawatan yang baik, bunga-bunga yang ada di taman bermekaran, dan air mancur menyebabkan aliran air menari-nari di udara. Ini adalah taman yang mewah dan luas, yang tidak kalah dengan taman keluargaku.

Di sekitar sini, di daerah timur laut, keluarga kami dianggap berkelas, dan orang tua kami sudah saling kenal selama yang bisa kupikirkan. Saat mereka ngobrol-ngobrol mengenai pekerjaan mereka yang rumit, biasanya aku akan bermain dengan Rio, yang usianya tidak terpaut jauh dariku.

“Kalau begitu, Haru-kun, Rio-chan, silahkan bertukar cincin.” Fumie-san—Neneknya Rio, menyerukan itu dengan suara lembut.

Setiap kali kami bermain di Kediaman Tamaki, Fumie-san akan selalu menemani kami.

“Rio-nee, ulurkan tanganmu padaku.”

“Oke, ini, Haa-kun.”

Sekalipun kami masih polos, kami dengan cepat saling menukar cincin. Pas dulu, aku masih memanggil Rio dengan sebutam 'Rio-nee', sedangkan dia memanggilku dengan sebuta 'Haa-kun'. Dan juga, kami menyebut itu cincin, tapi itu hanyalah cincin buatan tangan dengan semanggi putih.

“Terima kasih, Haa-kun!” Rio muda melihat cincin yang terpasang di jarinya, lalu menunjukkan senyum bahagia.

Melihat reaksinya itu, aku merasa dipenuhi dengan perasaan bahagia, bahkan sampai sekarang pun aku masih mengingat sensasi itu. Dulu, kami sering memainkan drama pernikahan seperti itu. Fumie-san akan selalu menjadi pendeta, sementara aku dan Rio akan menjadi kedua mempelai. Waktu itu, aku tidak begitu mengerti arti dari pernikahan—meski begitu, aku sangat menyukai melihat Rio yang tersenyum setiap kali kami mendramakannya.

Kami terus bermain seperti itu, tapi secara umum, pertukaran sumpah serta cincin adalah puncaknya, segala sesuatu di masa lalu yang berakhir berantakan.

“Fufu, kalian berdua dekat banget ya.”

“Iya dong!” terhadap Fumie-san yang tersenyum. aku menganggukkan kepalaku, “Saat aku sudah dewasa nanti, aku pasti akan menikahi Rio-nee!”

Memikirkannya kembali, itu adalah ungkapan yang membuatku merasa malu, namun... Di kala itu, dari lubuk hatiku yang terdalam aku benar-benar yakin—Bahwa saat aku sudah dewasa, aku akan menikahi Rio-nee yang sangat kucintai.

“Aku juga akan menikahi Haa-kun! Karena aku mencintainya!” pada akhirnya, Rio juga menunjukkan senyum polos. “Ini janji loh ya, Haa-kun!”

“Yap, ini janji!”

Kami membuat janji jari kelingking, mengunakan jari-jari kami yang memakai cincin itu. Fumie-san melihat kami serta janji kami dengan senyuman sehangat sinar matahari musim semi yang menembus celah pepohonan.

Dan sekarang, 15 tahun telah berlalu sejak kami membuat janji yang polos dan murni itu. Usiaku sekarang 19 tahun, sedangkan Rio berusia 21 tahun. Dan—diputuskan bahwa kami benar-benar akan menikah. Meski begitu, pernikahan ini berakhir dalam bentuk yang secara fundamental, berbeda dari pernikahan bahagia yang kami impikan di masa lalu.

---

Saat kami kembali ke apartemen, waktu sudah menunjukkan pukul 20:00. Aku berjalan melewati ruangan yang penuh dengan kardus yang digunakan untuk pindahan, kemudian merosot tanpa daya di atas sofa,

“...Haah, akhirnya selesai juga menyapa semua kerabat.” aku menghela nafas lelah, dan kemudian melonggarkan dasiku.

Sejak upacara masuk universitas yang saat ini kuhadiri, aku belum pernah mengenakan setelan seperti ini, tapi belakangan ini, setelan ini sudah seperti pakaian sehari-hariku. Aku merosot lebih dalam ke sofa, dan melihat ke sekeliling ruangan. Itu adalah ruangan tunggal di sebuah apartemen bertingkat yang telah kutinggali selama sekitar satu satu tahun, ruang tamu gabungan dengan kunci otomatis, ruang makan, serta dapur. Mengenai sewanya—itu tidak masalah.

Sebeanrnya apartemen ini punya keluargaku sendiri, jadi ketika aku masuk kuliah, aku bisa menggunakan apartemen ini secara gratis. Untuk seorang mahasiswa, kupikir ukuran apartemen ini agak besar. Namun, mulai hari ini, tempat ini pastinya akan semakin sempit dan pengap.

“Kau bisa mengatakannya lagi. Aku lelah.” Rio, yang pulang bersamaku, juga duduk.

Secara alami, dia tidak duduk di sofa di sampingku, melainkan duduk di kursi meja yang ada di dapur. Dia rupanya tidak menyukai pemikiran untuk duduk di sampingku. Bisa dibilang sih ini sudah bisa dibayangkan. Di depan para kerabat, kami terpaksa untuk bertindak layaknya 'pasangan bahagia yang sudah menikah’. Tapi sekarang, kami ada di rumah dan cuman berduaan, jadinya dia mungkin tidak ingin berada terlalu dekat denganku.

“Bagaimana aku harus mengatakannya... Rasa ketinggalan jaman banget. Apa kau benar-benar mengunjungi semua kerabatmu hari ini?”

“Habisnya mau bagaiman lagi. Kita punya banyak kewajiban terhadap keluarga kita. Selain itu—yang terbaik kalau kita menunjukkan pernikahan kita sebanyak mungkin.”

“Haaa... Itu rasanya menyebalkan, tapi kurasa kau benar.” katanya, terdengar muak.

Tamaki Rio, 21 tahun. Saat kami masih kecil, dia sudah seperti malaikat, sosok yang akan tersenyum dengan sangat ramah dan lembut kepadaku. Tapi sekarang, setelah dia sudah dewasa, sama sekali tidak ada kepolosan yang ada pada dirinya. Tatapannya dingin, penampilannya cantik, dan setiap bagian penting dari dirinya begitu ditekankan. Sejujurnya, tidak diragukan lagi kalau dia bisa disebut cantik jelita... Hanya saja, kepribadiannya itu justru tumbuh menjadi kebalikan dari sosok malaikat.

Saat dia membelai rambut panjangnya yang berkilau, di jari manis tangan kirinya aku bisa melihat terpasang sebuah cincin. Kalau dibandingkan dengan cincin yang di masa lalu, itu bukanlah cincin mainan yang terbuat dari semanggi putih—melainkan cincin kawin sungguhan, memancar dengan kilauan platinum. Tentunya, cincin yang sama juga ada di jari manis tangan kiriku.

“Yang jelas.” kataku, seolah ingin kembali ke inti pembicaraan. “Upacara pernikahan sudah selesai, dan kita juga sudah menyelesaikan sebagian besar kunjungan. Bahkan kita juga sudah membeli cincin. Sekarang, kita hanya perlu menunggu waktu yang tepat, dan mengirimkan formulir pernikahan... dengan begitu, semuanya akan selesai.”

“Ini jelas belum selesai, tahu?” Rio terkikik, kemudian berdiri dari kursinya.

Dia menghampiriku, yang masih duduk di sofa, dan berbicara dengan suara yang cukup bersemangat.

“Ini justru sebaliknya, Haru. Kehidupan pernikahan kita baru saja dimulai.”

“Rio...”

Tatapannya dipenuhi dengan harapan menuju masa depan. Untuk sesaat, aku dibuat emosional, tapi...

“—Yah, tapi kita cuman pasangan menikah di atas kertas.” Seolah ingin mengejek emosiku, dia terkekeh dengan sombong.

Dia mengangkat bahunya, menunjukkan ekspresi seolah dia lebih kesal dari apapun.

“Ampun dah, kenapa aku harus menikah denganmu?”

“...Itu harusnya menjadi kalmatku.”

“Hah? Kau ini sangat beruntung, bukan? Dengan begini kau bisa membual tentang dirimu yang menikah dengan Onee-san cantik dan baik hati sepertiku, jadi kau lebih baik bersyukur.”

“Kau ini sombong dan narsis seperti wanita manja.”

“Apa kau ada mengatakan sesuatu, anak ketiga yang suram.”

“Aku menyebutmu wanita manja yang sombong.”

Mana mungkin aku akan membiarkan dia mengejekku. Aku berdiri dari sofa, kemudian memelototi Rio, muka ke muka. Dia juga tidak mengalihkan pandangannya, tatapan tajamnya balik memelotoiku.

“Hmpf, jangan salah paham dulu. Perrnikahan ini tidak lain hanyalah demi kenyamanan! Aku menikahimu itu demi keluargaku. Aku sama sekali tidak punya perasaan terhadapmu.”

“Begitu juga denganku—aku hanya menggunakanmu demi keuntunganku sendiri. Jangan khawatir, aku tidak punya niatan untuk melihatmu sebagai seorang wanita.”

“Hmph, sok banget sih.” Rio menyilangkan lengannya, melanjutkan perkataannya dengan nada arogan. “Biarkan aku memberitahumu hal ini atas dasar niat yang baik... Sebaiknya kau jangan terlalu berharap hanya karena mulai sekarang kita akan hidup di bawah satu atap. Bahkan jika... kita menjalin hubungan untuk waktu yang singkat, itu tidak berarti kau punya kesempatan lagi denganku, oke?” dia menatapku seolah-olah dia sedang menjatuhkan keputusan di pengadilan.

Dia benar. Untuk waktu yang singkat, kami menjalin hubungan semacam itu. Itu terjadi beberapa tahun lalu, saat kami masih duduk di bangku SMA. Aku kelas 1, sedangkan Rio kelas 3. Selama rentang waktu tersebut, kami—adalah kekasih. Karena kami sudah saling kenal sejak masih kecil, kami mengambil satu langkah maju, dan mengembangkan hubungan kami dari teman masa kecil menjadi kekasih. Namun, untuk satu langkah maju itu, kami berakhir mengambil tiga langkah mundur. Dan pada akhirnya, hubungan kami bahkan tidak bertahan selama satu tahun.

“Asal kau tahu saja, aku sudah melupakanmu.”

“Bagus dong kalau begitu. Kau mengatakan semua yang juga ingin kukatakan.” Aku menyelanya dengan nada yang kasar. “Memang benar kalau sebelumnya... kita pernah menjalin hubungan seperti itu, tapi itu hanyalah kesalahpahaman masa muda. Kita masih anak-anak yang dipengaruhi dan dipimpin oleh emosi remaja kita.”

“Sekarangpun kau masih anak-amal, Tuan Di Bawah Umur.”

“Kau ada mengatakan sesuatu, Nek?”

“Siapa yang kau panggil Nek?”

“Siapa yang kau pangil anak-anak, hah?”

Kami saling melotot lagi. Kali ini, itu jelas bukan salahku, oke. Dia menarik kartu usia seperti itu. Tapi padi akhirnya, akulah yang duluan memutuskan kontak mata, dan melanjutkan dengan 'Yang jelas', bercampur menjadi desahan.

“Aku tidak tahu sampai berapa lama ini akan berlanjut, tapi ayo sama-sama melakukan yang terbaik. Lupakan tentang cinta, perasaan, dan apa pun yang semacam itu, kemudian terus bertindak layaknya pasangan bisnis. “

“Hmpf. Baguslah kalau kau memahaminya.” Kata Rio. “Ayo rukun satu sama lain—saat di depan umum, Sayang.”

“Ya, ayo kita berpura-pura menjadi suami istri yang terhebat, Sayang.”

Setelah kami saling melontarkan kata-kata sindiran, kami sama-sama membuang muka. Rio kemudian memunggungiku, dan menutup pintu yang mengarah ke ruang tamu setelah melangkah ke lorong.

Bagiku, Tamaki Rio adalah teman masa kecil yang kukenal sejak aku masih kecil. Keberadaan layaknya saudari yang lebih tua dan cantik—serta, cinta pertamaku. Selain itu, dia adalah mantan pacar yang pernah kupacari saat masih SMA. Dan sekarang, setelah melalui lika-liku kehidupan—dia menjadi istriku. Tentu saja, hanya diatas kertas.

Bagiku, Isurugi Haru adalah teman masa kecil yang kukenal sejak kecil. Kebaradaannya suadh seperti adik kecilku—serta, cinta pertamaku. Selain itu, dia adalah mantan pacar yang kupacari saat masih SMA. Dan sekarang, setelah melalui lika-liku kehidupan—dia menjadi suamiku. Tentu saja, hanya diatas kertas

“...~~~!?”

Begitu aku menutup pintu di belakangku, semua emosi yang dengan bersusah payah aku pendam di depannya... tercurah keluar. Bisa kubilang, wajahku berubah merah merona, dan jantungku mulai berdebar kencang tak tertahankan.

Ini buruk. Sangat, sangat buruk. Apa yang harus kulakukan? Apa yang sebaiknya kulakukan?! Ini... bukan mimpi, kan? Sekarang aku tidak sedang difilmkan, kan? Apa aku sungguh—menikah dengan Haru!? Kami menikah!? Yah, kami masih belum menyerahkan formulir pernikahan, jadi sejujurnya kami belum menikah, tapi... kami bertunangan—kami berjanji untuk menikah. Kami juga sudah selesai bertemu keluarga masing-masing, dan upacara pernikahan pun sudah selesai. Mulai hari ini dan seterusnya, kami akan hidup bersama. Pada dasarnya, kami sudah seperti pasangan yang sudah menikah.

“~~!” Jantungku tidak mau tenang.

Mulai hari ini, aku dan Haru akan hidup bersama, di bawah satu atap. Kehidupan kami..., sebagai pengantin baru akan dimulai. Makan dan tidur, kamar mandi atau toilet..., mulai sekarang kami akan berbagi sebagian besar kehidupan sehari-hari kami. O-Oh tidak... Memikirkannya saja sudah membuatku gila~~!!

“...~~!” Rasanya seperti aku jatuh ke tanah, berguling-guling kesakitan, tapi aku nyaris tidak bisa menahan diriku.

Ini buruk. Sangat, sangat buruk. Apa yang harus kulakukan? Apa yang sebaiknya kulakukan!? Ini... bukan mimpi, kan? Apa aku sungguh—menikah dengan Rio!? Aku masih tidak percaya ini. Kami menyelesaikan proses pertunangan, pertukaran mahar, upacara, dan menerima restu dari keluarga kami, semua itu terlalu banyak bagiku untuk bisa menyadari apa yang sedang terjadi, perasaan realitas ini barus kurasakan barusan. Aku terus-terusan berpikir bahwa mungkin saja ini mimpi.

Mulai sekarang dan seterusnya, aku akan tinggal bersama Rio, sebagai pengantin baru, di bawah satu atap. Memkirkannya saja sudah membuat kepalaku kacau.

“.........”

Tidak, tenanglah. Aku harus tenang. Janagn sampai aku senang dengan ini. Aku yakin kalau pada akhirnya, hanya aku yang benar-benar senang dengan ini. Seperti yang Rio bilang sebelumnya—pernikahan ini hanyalah untuk kenyamanan. Ini hanya untuk keuntungan kami, suatu pernikahan palsu. Pertunangan, pernikahan, dan kehidupan baru yang kami mulai sekarang, semua itu semata-mata demi keluarga kami, tidak lain dan tidak bukan merupakan sikap yang kami ambil terhadap dunia.

Sekalipun sebelumnya kami pernah berpacaran, semua itu adalah masa lalu. Aku yakin kalau dia sama sekali tidak peduli tentangku.

Benar. Tenang. Aku harus tenang. Meskipun kami menjadi pasangan yang sudah menikah, itu hanya kepalusan. Bahkan kehidupan pengantin baru yang akan terjadi sama sekali tidaklah sungguhan. Seluruh pernikahan ini—hanya terjadi karena niat baik pihak lain. Haru mengungkit ini untuk menyelamatkan perusahaan kami, yang saat ini terancam bangkrut. Haru cuman ingin menyelamatkanku, menyelamatkan keluargaku. Mungkin itu adalah kebaikan dan budi yang murni—sama sekali tanpa motif tersembunyi.

Memang benar sebelumnya kami pernah berpacaran, tapi semua itu sudah berlalu. Aku yakin kalau dia sudah melupakanku, karenanya, aku tidak boleh bermimpi seperti ini. Aku tidak boleh salah paham. Pernikahan ini palsu, suatu sarana untuk meraih tujuan kami masing-masing. Itu sebabnya, aku tidak boleh terlalu berharap. Kalau tidak, aku akan terlihat seperti orang tolol. Aku menyadarinya, aku terpaksa menyadarinya. Namun masih saja—

Namun masih saja—aku tidak bisa menahan harapanku. Sekarang kami tinggal satu atap, selalu bersama, aku mendapati diriku membayangkan peluang sesuatu mungkin akan terjadi.

Wow... Aku sangat dangkal. Lebih menjijikkann dari apapun. Aku tidak percaya bahwa aku akan bertingkah sangat menyedihkan. Tidak kusangka—aku akan menjadi sepengecut ini.

Tidak kusangka—aku akan menjadi wanita yang selengket ini. Tidak, itu tidak akan terjadi. Jelas tidak! Tidak ada yang akan terjadi di antara kami, dan tidak akan pernah ada lagi! Kami sudah putus! Aku harus melupakannya dan move on!

☀&❀

Satu hal yang pasti.

Satu hal yang pasti.

Aku tidak boleh membuat Rio sadar.

Aku tidak boleh membiarkan Haru tahu.

Kalau aku masih...

Kalau aku masih...

Punya perasaan yang tersisa untuknya.



Sebelumnya || Daftar Bab || Selanjutnya

8 Comments

Previous Post Next Post