Saijo no Osewa Volume 2 - Bab 32

Bab 32
Kau berharga


Tau-tau saja, langit sudah mulai gelap.

Matahari juga sudah terbenam, dan sebentar lagi sudah mau jam 19:00.

Saat aku dan Tennoji-san berjalan santai ke arah stasiun, dengan ringan aku meregangkan dan mengendurkan tubuhku.

“Sudah lama aku tidak banyak bermain seperti ini...” Gumamku secara refleks, lalu menatap Tennoji-san. “...Tennoji-san, bagaimana perasaanmu hari ini?”

“Perasaanku sangaaaaaaaat buruk!!!” Teriak Tennoji-san. “Lagian, aku tidak ada memenangkan satu game pun, dan aku bahkan kalah dalam bowling!”

“Tapi, pas kita karaoke tadi itu adalah pertarungan yang bagus, kan?”

“Aku mana puas kalau skor tinggi cuman bisa kudapatkan di lagu anak-anak!”

Karena aku menang telak baik dalam game maupun bowling, jadi kupikir dalam karaoke pun aku akan bisa menang dengan mudah, namun kenyataannya tidaklah demikian. Rupanya, Tennoji-san telah menjalani pelatihan suara, jadi kemampuan menyanyinya luar biasa.

Cuman, jenis lagu yang dia tahu tidaklah banyak. Dia sepertinya tahu banyak soal lagu-lagu klasik, tapi dia tidak tahu lagu-lagu dari band populer yang orang biasa sering dengar. Jadi pada akhirnya, dia tidak punya pilihan selain menyanyikan lagu anak-anak yang semua orang tahu. Ekspresinya yang seperti merasa terhina saat dia sedang menyanyi itu benar-benar tercermin kuat di mataku.

“Yah, karena kau itu orangnya suka dengan hal-hal yang berbau persaingan, makanya aku merencanakan apa yang akan kita lakukan ke arah-arah itu... Jadi, aku ikut senang kalau kau merasa bersenang-senang.”

“Ya..., berkatmu, setelah sekian lama aku akhirnya bisa merasakan lagi darahku yang seolah-olah sedang mendidih!” katanya, sambil mengepalkan tinjunya dengan kesal.

“Terus, selanjutnya gimana? Apa kau masih mau pergi ke suatu tempat?”

“Aku sih maunya begitu..., tapi sekarang sudah senja.”

“...Kau benar.”

Melihat ke arah langit yang semakin gelap, aku sependapat dengan dia.

“Baiklah, kalau gitu kurasa hari ini kita bersenang-senangnya sampai di sini saja.”

Mendengar pernyataanku yang biasa itu, Tennoji-san jadi tersentak.

“...Caramu mengatakan itu benar-benar kejam.”

Berhenti berjalan, Tennoji-san menundukkan pandangannya.

Seperti yang kupikirkan, dia bermaksud untuk  membuat apa yang kami lakukan hari ini menjadi kenang-kenangan untuknya sebelum dia meninggalkan akademi. Tapi, entah apakah hari-hari seperti ini adalah yang terakhir kalinya atau bukan merupakan sesuatu yang dapat berubah tergantung pada kehendaknya sendiri.

“Kalau kau menolak perjodohanmu, kau akan selalu bisa melanjutkan hari-hari seperti ini.”

“......Sekalipun kau bilang begitu, niatku tidak akan berubah.” Katanya, dengan suara yang gemetar. “Tentunya, hari ini aku benar-benar merasa bersenang-senang. Namun, jika ditanya apakah ini kulakukan demi Keluarga Tennoji atau bukan—”

“Memangnya apa salahnya kalau kau sendiri yang mau bersenang-senang?” Menyela kata-katanya, aku lanjut berbicara. “Bukankah itu saja sudah cukup bagimu untuk menolak perjodohanmu?”

Mungkin tidak menyangka kalau aku akan mengatakan sesuatu seperti itu, matanya langsung membelalak terkejut.

“...I-Itu tidak mungkin. Apa yang kulakukan hari ini adalah urusan pribadiku. Di sisi lain, perjodohanku adalah urusan Keluarga Tennoji. Skala perbandingannya terlalu jauh.”

Kami tiba-tiba berhenti berjalan, dan orang-orang yang lewat menatapi kami dengan rasa penasaran.

Dan kemudian, dengan sungguh-sungguh, aku berbicara pada Tennoji-san saat dia menggigit bibirnya.

“Kalau gitu—apa ini artinya kau akan membuang apa pun itu asalkan demi Keluarga Tennoji?”

Tennoji-san tak menjawabku, hanya menutup mulutnya.

“Aku memang tidak tahu seberapa berat tekanan yang kamu tanggung. Tapi, saat aku bertemu dengan orang tuamu, ada satu hal yang kuyakini... Mereka sangat menginginkan kebahagiaanmu. Apa yang mereka pedulikan adalah Mirei Tennoji, bukan Keluarga Tennoji.”

Saat aku mengunjungi rumahnya Tennoji-san, ibunya, Hanami-san, pernah bertanya padaku, [Apa Mirei bersenang-senang di akademi?]. Sejak awal, beliau sama sekali tidak ingin tahu soal citra publik yang dimiliki Tennoji-san. Apa yang dia pedulikan hanyalah selama putrinya bersenang-senang saat berada di akademi, itu saja sudah membuatnya merasa senang.

“Itu..., itu pasti cuman imajinasimu saja.” Serunya, dengan pandangan yang menunduk. “Ayah dan ibuku sangat baik padaku, makanya mereka mengatakan padaku untuk tidak memaksakan diriku. Tapi, aku yakin di dalam hati mereka, mereka ingin agar aku hidup untuk keluarga——”

“——Jelas tidak mungkin mereka seperti itu!”

Aku tidak bisa mengabaikan apa yang dia katakan barusan itu, yang mana itu membuatku jadi sedikit kesal sekarang.

Bagaimana mungkin—dia tidak menyadarinya?

“Kau yang mewarnai rambutmu itu! Kau yang merubah cara berbicaramu itu! Apa kau benar-benar berpikir itu kau lakukan demi Keluarga Tennoji?”

“A-A-Ap—...?!”

Wajahnya menjadi merah, seolah-olah mengatakan mengapa aku harus mengungkit soal itu di sini. Tapi, memang itulah kenyataannya. Saat dia masih kecil, dia mempercayai bahwa hal itu dia lakukan demi keluarga. Tapi sekarang setelah dia dewasa, dia berpegang teguh pada komitmen bahwa dia melakukan itu atas dasar keinginannya sendiri.

“Tapi meski begitu, Masatsugu-san dan Hanami-san tidak ada mengeluh sedikit pun perihal kau yang melakukan itu, kan?”

“——!”

Tennoji-san terkesiap.

Mungkin, aku terlalu banyak mengoceh karena sedang diliputi emosi.

Namun, aku tidak berniat untuk menarik perkataanku sebelumnya.

Situasi yang dia miliki berbeda dengan situasinya Hinako.

Hinako menderita karena tekanan yang tidak masuk akal dari Keluarga Konohana dan keputusannya Kagen-san. Namun, dalam kasusnya Tennoji-san, tekanan yang dia alami tidaklah tidak masuk akal. Dia hanya terikat di dalam ikatan rumit yang dia sebabkan sendiri.

Dan aku, benar-benar tidak tahan dengan dia yang seperti itu.

“Kedua orang tuamu..., mereka lebih memprioritaskan kepentinganmu daripada kepentingan keluarga.”

Sekali lagi, aku mengulangi fakta yang akan sangat jelas bisa dilihat jikalau dia melihatnya dari sudut pandang lain.

“Tennoji-san, apa kau telah menanggapi perasaan yang orang tuamu miliki itu dengan benar?” kataku padanya, sambil menyembunyikan pemikiran: Kau tidak sepertiku, kau masih bisa berbicara secara baik-baik dengan orang tuamu.

---

Sorot mata yang serius dari anak laki-laki yang berdiri di depannya menusuk hatinya dengan sangat kuat.

Saat dia mendengar kata-kata yang anak laki-laki itu—Itsuki—ucapkan, Mirei Tennoji jadi teringat akan suatu peristiwa ketika dia masih kecil.

“Ayah dan Ibu akan pastikan kamu bahagia, Mirei.”

Itu adalah apa yang berulang kali orang tuanya saat ini katakan pada Mirei yang mereka adopsi sebagai anak angkat. Mereka menyatakan bahwa mereka akan memperlakukan Mirei selayaknya orang tua kandungnya. Namun, bukan berarti kebaikan yang orang tuanya berikan itu dimaksudkan untuk mengekang Mirei. Dan hal tersebut, telah diberitahukan pada Mirei sejak dia masih kecil.

Makanya, Mirei selalu ingin membalas kebaikan hati ayah dan ibunya.

Dan kemudian, setelah dia mengetahui gengsi dari keluarga yang mengadopsinya—Keluarga Tennoji—Mirei jadi tahu bagaimana caranya dia bisa membalas kebaikan orang tuanya.

“Ibu, jika aku melakukan yang terbaik dalam studiku, apa itu akan menguntungkan Keluarga Tennoji.”

Saat dia masih kecil, Mirei menanyakan itu pada ibunya, dan dengan bahagia, ibunya menjawabnya, “Ya”.

“Ayah, jika aku menjadi terkenal, apa itu akan menguntungkan Keluarga Tennoji?”

Saat dia masih kecil, Mirei menanyakan itu pada ayahnya, dan dengan tawa hangat, ayahnya menjawabnya, “Ya, kau benar”.

Setelah itu, Mirei mulai belajar dengan giat, mewarnai rambutnya, mengubah cara berbicaranya, dan memulai hidupnya sebagai tuan putri dari Keluarga Tennoji. Awalnya, dia sering sekali gagal. Hasil ujiannya berada di sekitar peringkat tengah-tengah diantara teman-teman sekelasnya, dan dia bahkan tidak terlalu populer. Akan tetapi, sebagai hasil dari upayanya yang keras, dia menjadi terkenal sebagai murid yang berprestasi. Mirei terus bekerja dengan sangat dan sangat keras hingga membuat dirinya di masa lalu menghilang di dalam kabut.

“Mirei, ibu perhatikan kau selalu giat belajar sampai larut malam... Tapi apa kau ingat,  kau bisa hidup dengan lebih bebas loh?”

Di suatu hari, ibunya mengatakan itu kepadanya.

“Tidak perlu khawatir, ibu. Ini adalah jalan yang aku pilih sendiri.”

Mirei tersenyum dan menjawab seperti itu. Dan kemudian ibunya menjawabnya, “Begitu ya”, seolah-olah merasa yakin, tapi wajahnya tampak cemas.

Mirei pribadi juga sadar kalau mungkin dia memang terlalu giat. Namun demikian, dia yakin kalau pada akhirnya kedua orang tuanya akan mengerti, bahwasannya dia hanya ingin mencoba membalas budi pada mereka yang telah mengadopsinya.

“Mirei, menjaga etiket selalu baik itu mungkin memang bagus, tapi enggak apa-apa loh kalau sesekali kamu bersikap santai?”

“Sesuatu seperti ini bukan masalah besar. Sebagai putri dari Keluarga Tennoji, setidaknya aku harus melakukan ini.”

Entah sejak kapan, setelah dia memikirkannya, setiap kali dia menanggapi pertanyaan-pertanyaan seperti itu dari orang tuanya, tanpa ragu sedikitpun dia akan menggelengkan kepalanya.

Aaaah..., jadi begitu ya.

Apa yang Itsuki katakan kepadanya terngiang-ngiang di benaknya.

Apa kau telah menanggapi perasaan yang orang tuamu miliki itu dengan benar?——Kata-kata itu mengguncang pemikiran yang ia miliki.

Rupanya..., aku telah melarikan diri.

Dia tidak memiliki kepercayaan diri untuk menjadi putri dari kedua orang tuanya, jadi dia memilih untuk menjadi putri dari Keluarga Tennoji.

Soalnya, itu jauh lebih mudah.

Mendapatkan nilai yang bagus dalam ujian dan berperilaku anggun jauh lebih mudah daripada menanggapi perasaan orang tuanya.

Anak laki-laki di depannya telah membuat dia sadar—bahwa dia telah melarikan diri dari perasaan itu.

“Mengapa...?” Secara tidak sadar, kata-kata itu terlontar dari mulutnya. “Mengapa..., kau mau mengatakan semua itu kepadaku?”

Mirei bertanya-tanya, bagaimana bisa anak laki-laki ini begitu peduli kepadanya ketika mereka bahkan bukanlah keluarga? Dan untuk menanggapi pertanyaan Mirei, Itsuki menjawabnya dengan ekspresi yang serius.

“Itu karena..., aku juga ini kamu hidup sebahagia mungkin.” Tanpa malu sedikitpun, Itsuki mengatakan itu dengan lantang. “Jika, menurutmu pengalaman yang kau lalui hari ini berharga... Kumohon, tolong jangan lepaskan itu.”

Mirei teringat akan apa yang telah dia lalui sepanjang hari ini.

Bermain di game center, bermain bowling, dan berkaraoke... Semua itu mungkin merupakan pengalaman yang tidak diperlukan bagi seorang putri Keluarga Tennoji.

Namun, tidak demikian halnya bagi Mirei Tennoji.

Hari ini, dia sangat bersenang-senang.

“...Penipu.” gumam Mirei, dengan suara yang bergetar.

Bukan hanya orang tuanya.

Di sini, ada lagi satu orang yang benar-benar peduli dan memperlakukannya sebagai Mirei Tennoji, bukan sebagai putri Keluarga Tennoji.

Karenanya, itu membuat jadi tersadar.

“Penipu, penipu, penipu..... Sungguh, kau itu benar-benar orang yang pandai dalam berbicara....”

Dia berusaha menahan air mata yang menggenang di sudut matanya,

Emosinya campur aduk, dan dia yakin, perilakunya saat ini bukanlah perilaku yang pantas dari seorang putri Keluarga Tennoji.

Namun, itu tidak masalah.

Karena, orang yang berada di depannya tidak menganggap dirinya seperti itu.

“...Aku akan membiarkanmu menipuku.”

Menyeka air mata di sudut matanya dengan jari-jarinya, Mirei tertawa.

“Aku akan menolak perjodohanku... Bagaimanapun juga, aku tidak bisa melepaskan sesuatu yang amat berharga seperti ini.”

“...Begitu ya.”

Itsuki terlihat merasa lega.

Hanya dari melihat anak laki-laki itu menunjukkan ekspresi seperti itu, Mirei sudah merasakan bahwa ada baiknya dia menolak perjodohannya.

“Yah, sejujurnya, aku tidak begitu yakin apakah pengalaman yang kau lalui hari ini berharga atau tidak, tapi——”

“Bukan itu yang aku maksud.”

Mirei tidak bermaksud menyiratkan bahwa hanya apa yang dia lalui hari ini lah yang berharga. Dimana hal ini membuat dirinya jadi bingung tentang apakah anak laki-laki yang berada di depannya ini tajam atau kurang peka.

“Kau lah yang berharga.”



9 Comments

Previous Post Next Post