Seiken Gakuin no Maken Tsukai Volume 5 - Bab 6

Bab 6
Necrozoa


Sekitar pukul 13:00 Waktu Standar Kekaisaran, sederet delapan kendaraan militer melaju melintasi gurun, meninggalkan kepulan awan debu besar di belakang mereka. Pasukan penyerang khusus yang ditugaskan untuk menghancurkan Sarang Void telah berangkat dari basis relai sementara dan mendekati Hutan Kematian.

“Kita berada di sekitar empat puluh kilorel dari tempat kami menemukanmu, Leo,” ucap Riselia, tangannya sibuk memegang kemudi kendaraan. “Sarang Void yang ktia tuju harusnya berada di sekitar tiga puluh kilorel dari sana, di dalam hutan.”

Atap dari kendaraan itu terbuka. Sakuya duduk di kursi depan, sementara Regina dan Elfine duduk bersandar di kursi belakang. Sedangkan untuk Leonis, dia duduk tejepit di antara Regina dan Elfine.

“Apa ini terlalu sempit, nak?” tanya Regina.

“...T-Tidak, aku baik-baik saja,” jawab Leonis, menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan pipinya yang memerah.

Karena jalan yang mereka lalui tidak rata dan banyak bebatuan, setiap kali kendaraan itu tersentak, payudara gadis-gadis itu bergoyang-goyang.

“Fufufu, kalau kau merasa ini terlalu sempit, kau bisa membaringkan kepalamu di pangkuanku, Leo,” tawar Elfine, menepuk pahanya.

“T-Tidak, terima kasih!”

“Itu tidak adil, Fine, aku juga ingin Leo berbaring di pangkuanku,” keluh Regina.

“Kalau begitu, ayo buat dia berbaring di salah satu kaki kita masing-masing.”

“Oh, kedengarannya bagus! Ayo, nak,         kau bisa membaringkan kepalamu di pahaku!”

Mendengar pembicaraan mereka, Riselia berbalik dari kursi kemudi, tampak cemberut. “...Hentikan itu, kalian berdua!”

“Selia, perhatikan jalan,” tegur Sakuya, menarik lengan baju Riselia.

Kendaraan itu kemudian berguncang keras, membuat wajah Leonis secara tidak sengaja menerjang dada Regina dan Elfine.

K-Kalau seperti ini aku tidak bisa menjaga ketenanganku...!

Saat Leonis merasa semakin tidak nyaman, bayangan di bawahnnya tampak sedikit bergelombang.

“Anda sungguh mesum, Paduka...,” suara Shary terdengar dari bawah Leonis.

“...Tidak!” bentak Leonis.

“Hm, ada apa, nak?” tanya Regina, menatap Leonis dengan ekspresi bingung.

“T-Tidak ada apa-apa...,” gumam Leonis.

“Lihat, cuacanya mulai berubah—,” ucap Elfine, menunjuk ke depan.

Hutan yang sangat luat tersebar di luar gurun. Miasma gelap yang muncul dari hutan itu menggantung layaknya tirai suram di atas langit hutan. Kutukan dari Raja Undead masih merembes di tanah itu.

Sepertinya manusia menyerah untuk memurnikan wilayah itu dan membiarkannya begitu saja.

“Perangkat pendeteksi mana tidak bisa berfungsi dengan baik di area di mana ada miasma yang sangat tebal, kan?” tanya Riselia.

“Ya, hal yang sama juga berlaku untuk perangkat komunikasi. Karenanya, selagi kita maih di sini, Pengguna Pedang Suci tipe detektor harus tetap terkoordinasi,” angguk Elfine.

“Oh iya, Sakuya, sebelumnya kau pernah mengikuti misi pemusnahan Sarang Void, kan?” tanya Regina.

“Ya, tapi itu dalam unit yang jauh lebih kecil dari unit kali ini,” jawab Sakuya, melirik ke arah kendaraan lain yang juga berjalan di depan dan di belakang peleton kedelepan belas. “Sepertinya, selain kita biro juga mengerahkan beberapa peleton yang terbaik di akademi.”
                                                      
“Apa biro adminstrasi memutuskan secara khusus struktur pasukan penyerangan yang dikirim dalam misi ini?” tanya Leonis.

“Ya, markas besar mengacu pada data Pedang Suci yang mereka miliki dan mengumpulkan tim berdasarkan tujuan dari operasi yang akan dilakukan,” jawab Elfine. “Misi pemusnahan adalah misi yang berbahaya, jadi mereka mempertimbangkan dengan cermat tingkat keterampilan masing-masing peleton.”

“...Begitu ya.”

“Meski begitu, ini sedikit aneh...,” ucap Elfine.

“Apa maksudmu?” tanya Leonis.

“Yah, kesannya kali ini mereka mengerahkan unit yang cukup bias,” ucap Elfine, melihat ke terminal analisis datanya dengan ekspresi yang tampak merasa ragu. “Maksudku, ada berbagai jenis Pedang Suci dengan kekuatan yang berbeda-beda, jadi itu masuk akal jika mereka memprioritaskan jenis tertenu daripada yang lain, tapi...”

“Mungkinkah seseorang sengaja memilih peleton-peleton ini untuk tujuan tersembunyi?” duga Leonis.

“...Aku mungkin hanya memikirkan soal ini terlalu berlebihan,” tepis Elfine.

“Elemental Buatan menangani perbandingan data Pedang Suci, tapi komandanlah yang akan membuat keputusan akhir,” jelas Regina.

“Orang-orang yang bertanggung jawab dalam mempertimbangkan segalam macam hal, ya. Mungkinkah mereka ingin mendorong unit di bawah komando langsung mereka, jadi mereka akan memiliki lebih banyak pengalaman tempur?”

“Itu bisa jadi sih,” ucap Elfine. “Kurasa aku memang hanya terlalu berlebihan memikirkan ini...,” dengan sedikit senyum canggung, Elfine menutup terminalnya.

---

Di bagian terdalam hutan, tempat di mana miasma gelap menggantung rendah di udara, terdapat kuil raksasa yang terbuat dari kuarsa hitam. Kuil itu dipenuhi dengan semak belukar. Altar untuk memuja sang dewi retak dan tampak usang, dan tempat itu telah kehilangan kemegahan makam yang dulu pernah dimilikinya.

Dua sosok muncul keluar dari kegelapan. Salah satunya adalah seorang pria tua bertudung dan bertanduk, dan yang satunya lagi adalah seorang gadis berambut biru mengenakan topeng putih.

“Apa tidak apa-apa kita berada di tempat ini?” tanya si gadis bertopeng, setengah langkah berada di belang rekannya yang sudah tua.

Meskipun dia berjalan melewati hutan yang begitu luas dan lebat, pakaian alabasternya tampak sama sekali tidak ternoda.

“Ya, kita seharusnya baik-baik saja. Kuil sejati, tempat ramalan diberikan, terletak jauh di bawah tanah Necrozoa.”

Zemein melangkah maju dan kemudian menyentuh permukaan altar.

Brrrrrrrrrrrr...!

Tanah di situ bergetar nyaring menanggapi sentuhannya, dan kemudian cahaya yang tak menyenangkan menerangi area itu. Altar itu terbelah menjadi dua, di mana bagian tengahnya menjadi gerbang cahaya.

“Ini adalah sihir yang dipasang oleh Yang Mulia Raja Undead yang agung dan perkasa.” Zemein merentangkan tangannya untuk menghormati tuan dari Necrozoa. “Satu kata, indah. Bahkan setelah seribu tahun terlah berlalu, kekuatan dari sihir itu masih ada.”

Zemein melangkah memasuki gerbang cahaya. Di balik gerbang itu terdapat gua besar yang menampung danau bawah tanah. Lilin yang disihir supaya terbakar selamanya menerangi permukaan air yang tembus cahaya di tempat itu.

“Inikah Kuil Dewi?” tanya si gadis bertopeng, berjalan memasuki gerbang sesaat setelah Zemein.

“Bukan, kuil itu ada di bawah danau ini,” jawab Zemein. Dia menyapukan tangannya ke udara dan mulai membaca mantra. Sebuah bola mana terbentuk di tangannya yang keriput, yang mana bola tersebut menampilkan penglihatan dari tempat lain. Apa yang ditampilkan oleh bola itu adalah formasi kendaraan Akademi Excalibur yang sedang dalam perjalanan menuju Hutan Kematian. “Kita hanya perlu menunggu Pedang Iblis yang akan dikorbankan berkumpul di sini,” ucapnya.
                                              
“Bagaimana dengan tubuh Raja Undead yang tersegel?” tanya gadis bertopeng itu.

“Paduka Leonis harusnya masih tertidur jauh di dalam Necrozoa. Hanya beliau dan Roselia Ishtaris saja yang dapat melepaskan sihir yang menyegelnya di sana. Jika kuil diaktifkan dan sang dewi memanggilnya, beliau akan bangkit,” jelas Zemein, ekspresinya tampak percaya diri.     

“Kudengar bahwa Raja Undead adalah yang terkuat dari para Penguasa Kegelapan. Apa kita benar-benar bisa mengendalikan beliau?”

“Manusia menggali Ratu Naga sebelum beliau bisa bangkit sepenuhnya, jadi beliau dilepaskan dengan cara yang tidak sempurna,” ucap Zemein, sambil mengeluarkan tawa jahat. “Tapi, itu akan terjadi di sini.”   

---

Berjalan melewati permukaan rawa yang menggelegak menakutkan, mereka memasuki hutan lebat yang dipenuhi dengan miasma. Para Pengguna Pedang Suci memarkirkan kendaraan mereka di pintu masuk hutan.

Aaaah, aroma dingin dekadensi, teror, dan kematian. Ini sungguh nostalgia.

Saat Leonis menginjakkan kakinya di tanahnya, bibirnya melengkung membentuk senyuman. Suasana yang tidak asing baginya dari tempat itu membuat dirinya senang, dan dia sangat menikmatinya dengan satu tarikan napas panjang.

“Tempat yang menakutkan...”

“Ya, kalau saja kita tidak memiliki misi yang harus dilakukan, aku akan kembali dan pergi dari sini sekarang juga.”

Tampaknya, Riselia dan gadis-gadis lainnya tidak menyukai tempat itu.                                                                                                    

Kemudian, seorang pria muda bertubuh tinggi meninggikan suaranya, menarik perhatian semua orang ke arahnya. “Sekarang kita akan dibagi menjadi dua kelompok.”

Leonis mengenali suara itu. Itu adalah suara dari pria yang mengunjungi kafe hantu asrama Hraesvelgr saat Festival Cahaya Suci bersama Fenris. Tentunya, pada saat itu Leonis sedang melakukan cross-dressing, jadi pria itu sepertinya tidak mengenali Leonis. Dia tampaknya cukup berprestasi dan telah ditunjuk menjadi komandan di lapangan untuk misi ini.

Kalau tidak salah, dia Liat sang Singa Api. Sepertinya Pedang Sucinya memiliki kekuatan api.

Liat menginstruksikan unit itu untuk dibagi menjadi dua kelompok yang di mana masing-masing kelompok terdiri dari tiga peleton. Nah, perintah untuk melakukan itu diberikan langsung dari markas Akademi Excalibur. Setiap kelompok akan ditugaskan menyelidiki area yang berbeda, dan setelah menemukan Sarang Void, mereka harus segera memberitahu yang lain.

Peleton kedelapan belas akan beroperasi bersama peleton kelima yang dipimpin oleh Liat dan peleton kedua puluh enam yang dipimpin oleh Silesia Mia. Silesia adalah Pengguna Pedang Suci dengan kemampuan penyembuhan yang langka. Dia antara kedua kelompok yang dibentuk itu, masing-masing  dari mereka memiliki satu Pedang Suci dengan kemampuan radar dan kemampuan yang bisa melakukan penyembuhan.

“Aku menantikan untuk bekerja sama denganmu, Leonis ♪,” ucap Silesia, sambil tersenyum ramah dan mejabat tangannya. “Aku tahu tempat ini menakutkan, tapi aku dan peletonku akan melindungimu.”

“Ya, terima kasih,” jawab Leonis dengan sopan, meskipun dia merasa cukup kesal karena diperlakukan seperti anak kecil.

“Terlepas dari penampilannya, anak itu cukup kuat loh,” ujar Regina.

“Oh, begitukah?” tanya Silesia.

“Ya. Dan dia juga lebih mesum daripada yang kau pikirkan.”

“Benarkah? Ya ampun, kamu itu ‘kan masih sepuluh tahun. Dasar anak yang cepat sekali dewasanya ♪”

“R-Regina?!” protes Riselia.

Selama pertukaran itu, Elfine dan Pengguna Pedang Suci lainnya yang berspesialisasi dalam pengintaian dan komunikasi menghubungkan Pedang Suci mereka. Tidak akan ada bentuk tambahan untuk menghubungi kelompok lain begitu mereka sudah memasuki hutan.

“Kita akan memulai penyelidikan kita segera setelah Pedang Suci mereka selesai dihubungkan,” seru Liat.

---

Meskipun saat itu siang hari, hutan sangat gelap sehingga orang-orang akan dapat dengan mudah percaya jika dikatakan bahwa sekarang malam hari. Miasma tebal yang berputar-putar menggantung di langit bagaikan awan badai, dan puncak-puncak pepohonan menghalangi masuknya cahaya apa pun yang berhasil masuk menembus miasma.

Apa yang terasa lebih meresahkan lagi di tempat itu adalah keheningan. Mereka tidak bisa mendengar kicauan burung atau bahkan suara binatang apa pun. Satu-satunya suara yang ada hanyalah langkah kaki kelompok itu dan gemerisik dedaunan yang bergeser.

Kerajaan Raja Undead adalah tempat yang menolak semua makhluk. Tidak akan ada yang bisa eksis di lingkungan ini, kecuali bagi mereka yang menentang tatanan dunia...seperti Void.

Kelompok Leonis terus berjalan melewati pepohonan, dengan bola Mata Penyihir Elfine melayang di depan mereka. Mereka tidak sadar bahwa tanah yang mereka pijaki penuh dengan sihir dan undead yang tak terhitung jumlahnya.

“Sepertinya semua yang pernah tinggal di sini telah binasa,” gumam Riselia. “Ini benar-benar hutan kematian.” Dia menelan ludahnya dengan perasaan gugup dan mengeratkan cengkeramannya pada tangan Leonis.

“Kau tidak perlu memegang tanganku, Selia,” ucap Leonis, bermuka masam.

“Bagaimana jika nanti kau tersesat?” balas Regina, semakin mengencangkan cengkeramannya dan menarik Leonis.

Tempat ini sudah seperti taman bagiku. Aku tidak akan tersesat, pikir Leonis, merasa getir. Namun, dia menyimpan pikirannnya itu dan membiarkan Riselia melakukan apa yang dia mau.

Di sisi lain, gadis-gadis dari peleton lain yang memperhatikan mereka berdua mulai cekikikan.

“Dia imut banget. Mungkinkah dia sedang dalam masa-masa memberontak?” ucap salah satu dari mereka.

“Leonis, kau harus mendengarkan apa yang kakakmu katakan!” ucap salah seorang yang lain.

“Tsk...!” merasa malu, Leonis menundukkan kepalanya dan mulai berkomunikasi secara telepati pada bayangan di kakinya.

“...Apa kau ada melihat sesuatu yang mencurigakan, Shary?”

“Belum, masih belum ada sesuatu yang tidak biasa di area ini, Paduka,” jawab Shary.

Gadis itu tidaklah cocok untuk menjadi pelayan yang sempurna, tapi dia adalah pembunuh kelas satu. Dalam hal melakukan pengamatan, Shary jauh lebih bisa diandalkan daripada segala mantra pendeteksi yang Leonis miliki. Sedangkan untuk Blackas, Leonis memerintahkannya untuk mengawasi kerajaannya saat dia dan Shary tidak ada di sana.

“Ngomong-ngomong, Paduka...”

“Apa?”

“Apa ada sesuatu yang ingin anda ambil kembali dari sini? Brankas harta karun di Alam Bayangan masih memiliki beberapa ruang kosong, jadi jika ada alat sihir yang mungkin berguna bagi anda, saya bisa mencarinya.”
                                                                                                                            
“Hmm...”

Reruntuhan di permukaan tempat ini sangat rusak, tapi kerusakan itu sepertinya tidak meluas sampai ke tingkat yang lebih dalam dari kerajaan bawah tanah Leonis. Mungkin saja memang ada beberapa senjata yang kuat atau item sihir yang tersisa, namun kebanyakan dari mereka tidak lebih dari sampah bagi Leonis.

“Aku masih belum memikirkan apa-apa soal itu—Oh, tunggu dulu, labnya Zemein seharusnya ada di bawah.”

“Laboratorium chimera? Tapi bukankah tempat itu...?”

“...Ya, aku menyegelnya.”

Dulu, Zemein Vairel pernah menjadi perwira Pasukan Penguasa Kegelapan. Dia mengawinkan monster-monster dengan harapan bisa menciptakan senjata biologis. Namun sayangnya, hasil penelitiannya itu terbukti sangat mengerikan sehingga Leonis memaksanya untuk menghentikannya, mencela pekerjaan itu sebagai penghinaan terhadap Pasukan Penguasa Kegelapan dan Dewi Pemberontak.

Pada akhirnya, Zemein bersekutu dengan Arcshage dari Enam Pahlawan. Dia adalah aib bagi Pasukan Penguasa Kegelapan.

“Tapi ada beberapa chimera-nya yang tidak pernah kutemukan saat itu.”

“Apa menurut anda mereka mungkin masih hidup?”

“Aku tidak yakin soal itu, Tapi itu mungkin akan bermanfaat untuk mengumpulkan hasil penelitian Zemein. Dia adalah jenis bawahan yang buruk untuk dimiliki, tapi tidak ada kebohongan dalam hasratnya untuk meneliti chimera.”

“Dimengerti, Paduka.”

Undead saja tidak akan cukup untuk membangun kembali Pasukan Penguasa Kegelapan. Di zaman ini monster-monster dari masa lalu telah punah, jadi menciptakan monster-monster yang baru bisa menjadi cara yang efektif untuk meningkatkan pasukan Leonis.

Kau boleh merasa bangga, Zemein. Aku akan memanfaatkan penelitianmu dengan baik, ucap Leonis pada dirinya sendiri sambil menampilkan senyum jahat.

“Kau kenapa, Leo?” tanya Riselia, melirik Leonis dengan ekspresi bingung.

---

Setelah dua jam menapaki kedalaman hutan...

“—Tunggu,” tiba-tiba, Elfine memberi peringatan. “Ada sesuatu di depan.”

Semua orang langsung berhenti berjalan dan menatap ke arah di mana bola Mata Penyihir melayang. Di sana, mereka melihat sebuah danau kecil. Di air jernih danau itu ada sebuah patung berlumut yang sebagiannya telah tenggelam, dan ada banyak tanaman merambat yang melintasi patung itu layaknya ular. Patung itu berada dalam kondisi kerusakan yang mengerikan.

“Hmm, itu terlihat sangat jahat...,” ucap Riselia, ketakutan.

“Aku belum pernah melihat patung seperti ini di pelajaran sejarah kuno kita...,” tambah Sakuya, sepertinya setuju dengan penilaian Riselia.

“...” Leonis tetap berdiri di belakang gadis-gadis itu, ekspresinya tegang. Dari semua orang yang ada di situ, hanya dia saja yang mengenali patung tersebut. Itu adalah patung Raja Undead. Dia memerintahkan skeleton-skeletonnya untuk membangun patung itu sebagai bentuk penghormatan kepadanya. Seharusnya di bagian mata patung itu terdapat kristal mana yang mengeluarkan sinar kegelapan, tapi seseorang telah mencurinya.

Leonis menduga bahwa patung itu mungkin dihancurkan selama pertempuran terakhir di Necrozoa, saat patung itu bangkit sebagai patung bergerak untuk ikut terlibat dalam pertempuran. Pertarungan patung yang gagah berani itu menjadi legenda, dan patung itu menimbulkan teror di hati orang-orang yang melihatnya dan bahkan ada yang percaya bahwa itu adalah Penguasa Kegelapan yang sebenarnya.

“...Itu menyeramkan.”

“Itu agak membuatku takut...”

“Patung itu kelihatan seperti itu bisa hidup.”

Bebera anggota dari peleton lain mengutarakan pendapat mereka.

...T-Terkutuklah kalian, orang-orang bodoh...! Leonis menggertakkan giginya.

“S-Saya pikir patung itu terlihat indah, Paduka!” Shary mencoba menghiburnya.

“...T-Tidak perlu menghiburku... Orang-orang ini hanya kekurangan penilaian estetika saja,” sebagai Penguasa Kegelapan yang pemaaaf, Leonis mencoba meyakinkan dirinya sendiri dengan alasan itu.

“Haruskah aku menghancurkan patung itu?” tawar Regina, mengarahkan Peadng Sucinya ke patung itu.

“...Apa?!” Leonis tiba-tiba berteriak.

“Ada apa, nak?” tanya Regina, menatapnya dengan bingung.

“Kau tidak boleh menghancurkannya,” ucap Riselia pada Regina. “Ini adalah relik kuno yang berharga.”

“A-Aku setuju!” ujar Leonis.

Kerja bagus, pengikutku!

Kemudian, Riselia berjongkok di depan patung itu. “...Hmm, sepertinya ada sesuatu diukir di patung ini.” Dia mengeluarkan kamus dan mencoba menguraikan tulisan yang di ukir di patung itu. “Eh, kayaknya aku pernah melihat huruf-huruf ini sebelumnya...? Tapi di mana, ya...?”

“Kurasa kau harus mencari tahu soal iu nanti, Lady Selia,” ucap Regina, memperingatkannya.

“K-Kau benar...” Riselia berdehem dan berdiri.

“Kupikir ini adalah tempat yang bagus untuk mendirikan kemah,” ucap Liat, setelah melihat lingkungan sekeliling mereka.

Karena di sekitar danau itu tidak ada banyak pohon yang tumbuh, jadi ada ruang yang relatif terbuka.

Sisa-sia mana dari patung itu kemungkinan membuat tanaman tidak tumbuh di sekitar sini.

“Hanya saja, aku tidak yakin apakah air danau itu aman untuk diminum atau tidak,” lanjut Liat. Dia kemudian berlutut di depan danau itu dan mengambil sedikit airnya.

“Aku bisa menggunakan Pedang Suciku untuk menganalisa kualitas air danau itu,” ujar Elfine, mengangkat bola Mata Penyihirnya ke atas danau.

“Analisalah,” jawab Liat.

Kupikir gudang persenjataan skeleton berada di sekitar area ini. Seingat Leonis, di sini tidak ada danau. Kemungkinan besar, air secara bertahap menggenang selama bertahun-tahun di area ini.

“Sepertinya air ini bisa diminum,” simpul Efline. “Tapi untuk berjaga-jaga kita harus menyiapkan alat penyaring.”

“Baiklah. Kalau begitu, kita akan membuat perkemahan di sini. Hubungi unit lain,” perintah Liat.

---

Pada pukul 17:00 Waktu Standar Kekaisaran, matahari terbenam di cakrawala, dan kegelapan pekat menyelimuti hutan. Kelompok itu menggantung lentera kristal mana dan mendirikan tenda portabel untuk setiap peleton. Tiap-tiap tenda terbuat dari kain yang tipis, namun itu menggunakan kain khusus yang akan menjaga suhu terasa nyaman di dalamnya.

Kupikir aku sudah terbiasa dengan hal semacam ini, tapi kemajuan teknologi mereka tidak pernah berhenti membuatku terpukau.

Dikatakan bahwa terminal informasi kecil yang merupakan teknologi mutakhir tidaklah berguna di dalam hutan ini. Dikarenakan peralatan sihir dioperasikan oleh mana, mereka tidak beroperasi dengan baik di dalam miasma yang tebal. Kelompok itu harus bergantung pada lentera kristal mana untuk menjadi sumber penerangan, metode yang cukup primitif dari era Leonis.

Riselia duduk di bawah salah satu lentera, perhatiannya sepenuhnya terpusat pada buku memonya. Dia sibuk mencoba menguraikan teks yang berada di patung itu dan menulis sesuatu sambil membandingkan catatan itu dengan buku bersampul kulit.

Setauku dia sudah lama tertarik pada situs kuno.

Ketertarikan Riselia terhadap reruntuhan telah dipupuk oleh ayahnya, Duke Crystalia, yang suka meneliti tempat-tempat kuno. Jika bukan karena itu, Riselia tidak akan menemukan Leonis di makam bawah tanah, dan tentunya dia tidak akan menjadi pengikutnya.

Leonis memperhatikan bahwa wajah Riselia tampak sedikit memerah karena kegembiraan saat gadis itu sedang bekerja. Secara naluriah, Leonis merasa terpesona melihat dia begitu asyik mengerjakan pekerjaannya.

“Kau tidak boleh mengganggu Lady Selia, nak,” tiba-tiba, Regina membisikkan itu pada Leonis. “Saat dia sudah menjadi seperti itu, apa pun yang kau katakan padanya hanya akan masuk ke telinga kanan dan keluar di telinga kiri.”

“...Kurasa kau benar,” Leonis mengangkat bahunya dan berbalik. “Regina, apa yang kau lakukan?”

Gadis berambut pirang itu berlutut di depan alas dengan panci dan pisau dapur di atasnya.

“Aku lagi masak ♪”

“Loh? Tapi ‘kan kita sudah diberikan ransum...”

Ransum militer adalah makanan batangan bergizi tinggi yang terbuat dari buah yang dikeringkan. Saat Leonis pertama kali bertemu Riselia, gadis itu memberinya satu batang ransum yang menurut Leonis rasanya cukup enak. Dan sejak saat itu, Penguasa Kegelapan itu diam-diam menyukai makanan itu.

“Itu agak hambar, dan harga diriku sebagai pelayan yang profesional mengharuskanku memastikan Lady Selia mengkonsumsi makanan yang hangat di mana saja dan kapan saja,” seru Regina, meletakkan tangannya di pinggulnya dengan eksrepsi bangga.

“Menurutku sih ransum ini rasanya sudah cukup enak,” ucap Sakuya, sambil mengunyah satu batang ransum.

“Ah, Sakuya, jangan makan itu!” Regina bergerak untuk merebut makanan survival yang sudah setengah dimakan Sakuya.

Namun, dengan kecepatan yang Sakuya miliki, dia dengan mudah menghindari Regina.

“...Bagaimana bisa kau bergerak seperti itu?!” tanya Regina.

“Ini adalah teknik turun-temurun Anggrek Sakura.”

Leonis menghela napas, berdiri, dan kemudian berjalan keluar dari tenda. Di luar, dia bisa melihat peleton lain juga sedang berkemah.

...Aku ingin memeriksa situasi di Necrozoa, tapi aku tidak boleh mengambil risiko apa pun yang membuatku menjadi begitu mencolok.

Dia berjalan ke arah danau, berharap setidaknya bisa mengambil beberapa tulang yang telah gugur. Mungkin saja akan ada beberapa tulang yang berguna di bawah danau.

---

“...Hmm, usianya tidak jelas. Yang jelas, ini pasti berusia lebih dari lima ratus tahun.”

Berdiri di tepi danau, Elfine memasukkan data ke terminalnya.

“Ada reaksi mana yang samar, tapi aku belum pernah melihat pola yang seperti ini...”

Bola kecil bercahaya mengelilingi patung yang roboh itu, mengambil rekaman patung tersebut. Itu akan menjadi laporan penyelidikan yang akan Elfine serahkan ke atasan. Alasan mengapa Sarang Void terbentuk di reruntuhan kuno masih belum diketahui. Karenanya, dengan mengumpulkan data-data yang diperoleh, para pemimpin di akademi berharap bisa menemukan beberapa petunjuk untuk memecahkan misteri itu dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan Void.

Setelah cukup merekam patung tersebut, Elfine mengirim bola Mata Penyihir-nya ke dalam air. Menutup matanya, dia berkonsentrasi pada gambar yang ditransmisikan oleh bola Mata Penyihir kepadanya. Jumlah informasi luar biasa normalnya akan membebani pikiran seseorang yang mental pikirannya lemah. Tapi, karena Elfine sudah terbiasa mengendalikan delapan bola sekaligus, jadi itu tidak menjadi tekanan baginya.

Di bawah permukaan danau, dia bisa melihat apa yang terlihat seperti tangga batu yang ditutupi lumut.

Apa ada bangunan yang tenggelam di sini? Kalau iya, seberapa jauh itu tenggelam?

Tidak banyak hal-hal yang bisa dilihat di dalam kegelapan air, tapi itu mengejutkan bahwa ada bangunan di dalam hutan ini.

Aku akan mencoba menyelam lebih dalam lagi... Eh?!

Getaran tiba-tiba menjalari tubuh Elfine. Cahaya merah menyala yang tak terhitung jumlahnya muncul dari dasar danau. Rasa takut langsung menguasai gadis muda itu. Transmisi gambar dari bola Mata Penyihirnya tiba-tiba terputus, dan indra Elfine ditarik kembali ke tubuhnya.

Pedang Suciku, itu baru saja—!

Mata Penyihir dihancurkan. Kemudian, riak-riak air mulai melintasi permukaan danau yang sebelumnya tenang.

Bwoooooosh!

Monster mirip krustasea muncul, sulurnya yang tak terhitung jumlahnya menggeliat menjijikkan.

[Catatan Penerjemah: Sulur, terjemahan non-bakunya itu kayak tentakelnya monster.]

“...Void?!”

Itu adalah Void berukuran sedang, jenis spesimen yang tidak terdaftar di dalam database.

Apa ada Sarang Void di bawah danau ini?! duga Elfine.

Void yang muncul itu memuntahkan uap hitam berminyak dari karapasnya dan melingkarkan tentakelnya di sekitar kaki Elfine. Rasa sakit yang membakar dan mendesis menjalari betis gadis muda itu.

“Aah! Khh... Nngh!” Elfine mengerang kesakitan dan menggertakkan giginya. Dia mencoba memanggil Mata Penyihir-nya lagi, tapi dia tidak bisa mewujudkan Pedang Sucinya.

...Mengapa?!

Void itu memutar tentakelnya, mencoba menyeret Elfine masuk ke dalam danau.

Jeritan yang pelan keluar dari mulut Elfine. “...T-Tidak... Tolong...”

Penampakan dari hari dimana rekan-rekannya tewas melintas di matanya, dan itu terasa sangat jelas tepat seperti enam bulan yang lalu.

“Tolong aku... Seseorang...,” erangnya.

Monster Void itu mulai membuka rahangnya yang besar, dan kemudian...

Mel Ziora!”       

Boooooooooom!

...Api menyala di udara, mereduksi makhluk mengerikan itu menjadi abu dalam sekejap mata. Tentakel yang melilit kaki Elfine melepaskannya sebelum itu hancur.

“Apa kau baik-baiak saja, Elfine?” tanya sebuah suara kepadanya.

Elfine segera berbalik dengan ekspresi terkejut, tatapannya tertuju pada seseorang yang telah menyelamatkannya.

“Leo...?”

Dari semak-semak, keluar seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang memegang tongkat di tanganya.

---

“Apa kau baik-baik saja?” tanya Leonis, setelah dia bergegas mendekati Elfine.

Hampir aja aku terlambat.

Dia segera datang ke sini setelah mendengar suara teriakan, dan menemukan Elfine berada dalam cengkeraman Void.

“...Leo...Ngh...”

Saat Leonis mencoba membantu Elfine berdiri, gadis itu meringis. Melihat ke bawah, Leonis mendapati bahwa stokingnya Elfine robek dan betisnya melepuh.

“Apa itu sakit?”

“Y-Ya...,” jawab Elfine dengan suara yang pelan sebelum dia duduk di batu di dekat mereka.

Sayangnya aku tidak bisa menggunakan sihir suci.

Sebagai Raja Undead, Leonis telah menguasai segala macam sihir. Namun, sihir suci adalah satu-satunya sihir yang tak bisa dia pelajari. Bagaimanapun juga, kekuatan untuk menyembuhkan tidak akan pernah bisa digunakan oleh tangan terkutuk Penguasa Kegelapan.

“Jangan banyak gerak, aku akan memberikanmu pertolongan pertama,” Leonis berlutut di depan Elfine dan mengambil sebungkus perban dari saku dalam kemejanya. Di Akademi Excalibur, Leonis sudah mempelajari tentang bagaimana cara menerapkan pertolongan pertama. Tentunya, Leonis tidak bisa dibilang ahli dalam hal itu, tapi dia berhasil menutupi luka Elfine.

“Leo, apa sebenarnya yang tadi kau lakukan...?” tanya Elfine, melirik ke tempat di mana monster itu berada sebelumnya.

“Erm...,” Leonis terbata-bata.

Sial, tanpa pikir panjang aku memusnahkan monster itu sepenuhnya.

Tentunya, mereduksi Void berukuran sedang dalam satu kali serangan mungkin terlalu berlebihan bagi kebanyakan orang.

“Aku ingin menolongmu, dan kupikir kekuatanku..., melonjak,” dia berbohong setelah mati-mati memikirkan alasan yang bagus.

Mendengar apa yang Leonis katakan padanya, Elfine hanya menampilkan senyum lembut.

I-Itu tidak bisa mengibulinya!

Di tempat pertama, Elfine sudah terlalu sering melihat kekuatan sejatinya Leonis.

“Erm... Bisakah kau merahasiakan ini, kumohon?” pinta Leonis.

“Ya ampun, kau ini orangnya mudah jujur ya,” jawab Elfine.

“Lagipula tidak ada gunanya menyembunyikan soal itu darimu...”                                                                                             

Elfine tersenyum dan meletakkan jari telunjuknya di bibirnya.

Sambil merawat lukanya, Leonis bertanya pada Elfine. “Apa di bawah danau ini ada Sarang Void?”

Menampilkan ekspresi muram, Elfine mengangguk, “Ya. Aku tidak menyangka Sarangnya sampai sebesar itu, dan sepertinya, struktur bawah tanah di sini cukup luas. Aku tidak akan terkejut jika kita menemukan banyak Sarang yang lebih kecil di sekitar situ.”

“...Begitu ya.” Leonis tahu bahwa tidak diragukan lagi kalau reruntuhan itu jauh lebih luas daripada yang dibayangkan Elfine.

Kemudian, perhatian Elfine beralih ke arah patung yang setengah tenggelam. “Mungkin dulu pernah ada kerajaan kuno yang luar biasa berdiri di sini,” gumamnya.

“Yah, kerajaan yang luar bisa itu kini telah menjadi reruntuhan. Bahkan yang perkasa pun pada akhirnya jatuh juga,” jawab Leonis dengan singkat sambil memastikan perban di kaki Elfine terpasang kencang.  “Ini harusnya cukup. Sisanya bisa ditangani oleh Pedang Suci dengan kemampuan penyembuhan.”

“Makasih, aku akan menghubungi Liat.” Elfine mengayunkan tangannya, mencoba mengaktifkan Mata Penyihir.

“Ah...”

Titik-titik cahaya berkumpul, tapi kemudian itu menyebar dengan cepat.

Melihat itu, Leonis mengernyitkan keningnya, “Ada apa?”

Elfine menundukkan kepalanya merasa malu, menggigit bibirnya, lalu memberi Leonis penjelasan, “Aku tidak bisa...memanggil Pedang Suciku.”

Kondisi mental Pengguna Pedang Suci sangat mempengaruhi Pedang Suci mereka. Kejutan dari serangan barusan tampaknya telah membuat Elfine merasa syok.

“Kalau gitu, ayo kita tunggu sebentar sampai kamu tenang,” ucap Leonis, duduk di samping Elfine.

“Ini sungguh memalukan,” ucap Elfine setelah menghela napas. “Padahal aku harusnya adalah orang dewasa di kelompok ini.”

“Itu tidak—,” Leonis mencoba menyangkalnya, tapi Elfine menyelanya.

“Aku masih takut dengan Void. Kau ingat ‘kan aku pernah memberitahumu bahwa sebelum aku bergabung dengan peleton kedelapan belas, aku adalah bagian dari peleton lain?”
                                                     
Leonis menganggukkan kepalanya. Enam bulan yang lalu, Elfine kehilangan dua rekannya selama misi penyelidikan Sarang Void. Dan sejak saat itu, dia kehilangan kemampuan sesunguhhnya Pedang Sucinya.

“Kupikir cepat atau lambat aku akan bisa mengatasi rasa takutku dan mendapatkan kembali kekuatan Pedang Suciku. Tapi di suatu tempat jauh di dalam lubuk hatiku, selama ini aku hanya terus melarikan ini. Aku sudah memanfaatkan kebaikan Selia dan yang lainnya.”

“...Apa itu alasan mengapa kau ngotot untuk bergabung dengan misi ini?”

Elfine mengangguk. “Ya. Aku ikut dalam misi ini untuk menghadapi dan mengatasi rasa takutku. Kupikir apapun yang aku peroleh dengan melarikan diri akan menjadi jenis kekuatan yang salah.”

“Jenis kekuatan yang salah?” ulang Leonis.

“Kupikir Muselle Rhodes mengubah Pedang Sucinya menjadi Pedang Iblis dalam upaya untuk mendapatkan kembali kekuatannya yang hilang. Dan sejujurnya, aku cukup mengerti bagaimana perasaannya. Tanpa adanya Selia dan yang lainnya.... kupikir aku juga akan menampuh jalan yang seperti itu,” ucap Elfine, matanya menatap jauh ke telapak tangannya. “Tapi, aku tidak lagi ingin melarikan diri. Tidak dari Void, ataupun dari diriku sendiri.”

Partikel-partikel cahaya berkumpul di tangan Elfine, menyatu membentuk bola cahaya.

“Sepertinya kau sudah kembali normal sekarang,” ucap Loenis.

“Ya.” Elfine tersenyum.

“Aku akan membawamu kembali ke perkemahan.”

“Bagaimana caranya—Whoa?!”

Dengan melambaikan tongkatnya, Leonis merapalkan mantra pengontrol gravitasi. Sesaat kemudian, tubuh Elfine melayang ke udara, dan gadis itu langsung buru-buru menutupi roknya.

“Ayo pergi,” ucap Leonis, menggendong Elfine yang kini menjadi lebih ringan di tangannya.

“T-Tunggu...,” Elfine keberatan, merasa malu. “T-Tidakkah gendongan tuan putri sedikit..., memalukan...”

“Kau tidak perlu malu,” ucap Leonis, meyakinkannya.

“...!”

Wajah Elfine memerah sampai ke ujung telinganya.

---

“Seperti yang kuduga, tulisan di patung itu mengingatkanku pada sesuatu,” gumam Riselia yang termenung, masih duduk di dalam tenda portabel.

Di salah satu tangannya, dia memegang buku yang ditinggalkan oleh ayahnya di ruang kerjanya di Kediaman Crystalia. Teks di dalam buku itu tidak menyerupai bahasa apapun yang diketahui Riselia, dan itu memberi kesan bahwa teks itu asing bagi dunia ini. Namun demikian, Riselia tidak bisa menyangkal hasratnya terhadap sejarah kuno, jadi dia terus mempelajari bahasa misterius itu di waku luangnya. Intuisinya memberitahunya bahwa tulisan di jurnal dan ukiran di patung itu memiliki skrip yang sama. Buktinya, setelah membanding-bandingkan keduanya, Riselia menyadari bahwa dia dapat menguraikan beberapa huruf di ukiran patung itu.

Dan kupikir huruf-huruf di pintu tempat aku menemukan Leo juga terlihat seperti ini, kejadian itu tiba-tiba melintas di benaknya. Kala itu, Riselia sementara memeriksa pintu itu ketika pintu tersebut terbuka dengan sendirinya.

Untuk menganalisis huruf-huruf dengan skrip yang sama ini... Mungkin aku harus meminta bantuan Fine dalam hal ini.

Dengan membandingkan teks yang ada di ukiran dan yang ada di buku, Riselia berharap bisa menciptakan kamus yang dapat menguraikan bahasa itu sepenuhnya. Tentunya, itu akan menjadi pekerjaan yang melelahkan, tapi itu adalah jenis pekerjaan yang dinikmati Riselia.

Saat dia secara bertahap membaca teks yang dia rekam dari patung itu, matanya tiba-tiba melebar terheran-heran.

“...A...Lia... Hah? R-Riselia?!”

Sepertinya namanya tertulis di patung yang setengah tenggelam itu.

“Oh..., aku salah. Ada sedikit irisan pada huruf yang di sana, jadi pengucapannya berbeda...”

Menyadari kesalahannya, Riselia dengan cepat mengkoreksinya.

“Selia... Roselia...? Hmm.”

Saat dia mengucapkan nama tersebut, semacam perasaan gelisah yang tak bisa dijelaskan memenuhi dirinya. Ada sentakan yang terasa tidak asing, seolah-olah wanita itu telah melupakan sesuatu yang amat penting. Riselia dan Roselia. Dua nama dengan intonasi yang tidak asing. Apa arti semua ini?

“Lady Selia, memelototi buku seperti itu tidaklah baik untuk kesehatan matamu.”

Riselia menoleh dan melihat Regina menatapnya dengan ekspresi menegur. “Jangan khawatir. Akhir-akhir ini penglihatan malamku menjadi lebih baik,” jawabnya sambil menunjukkan sedikit seringai.

“...Apa maksudmu?” tanya Regina, bingung.

Riselia sudah semakin terbiasa dengan tubuh Ratu Vampirnya. Dengan memfokuskan mana ke matanya, dia bisa melihat dalam kegalapan sejelas yang bisa dia lakukan dengan mengenakan sepasang kacamata penglihatan malam.

Namun, aku harus berhati-hati agar tidak terlalu biasa melakukan ini.

Riselia menutup buku Duke Crystalia, dan kemudian dia mencium aroma yang menggugah selera makan datang dari luar tenda.

“Makam malam sudah siap,” ucap Regina padanya.

“Makasih, aromanya enak.”

“Karena aku sudah repot-repot membuatnya, jadi aku akan membagikannya kepada anggota kelompok lainnya juga.”

“Ngomong-ngomong, di mana Leo?” tanya Riselia.

“Dari tadi dia pergi keluar,” jawab Regina. “Saat kau fokus pada pekerjaanmu, kau benar-benar jadi kehilangan perhatian dengan apa yang terjadi di sekitarmu.”

“B-Benarkah?”

“Aku tahu kalau kau suka menyelidiki reruntuhan, tapi setidaknya lebih perhatikanlah sekitarmu.”



Post a Comment

Previous Post Next Post