Kono △ Rabukome wa Shiawase ni Naru Gimu ga aru Volume 1 - Bab 2 Bagian 2

Bab 2 Bagian 2 (dari 3)
Wanita yang bertekad kuat dan pemberani


Setelah itu, waktu sudah memasuki jeda antar sesi pelajaran saat Tenma kembali ke kelasnya.

Sekembalinya di kelas, Reira langsung bergegas menghampirnya dan bertanya ‘Bagaimana kondisimu?’, ‘Haruskah kau pulang lebih awal?’, serta ‘Apa aku membuatmu merasa tidak nyaman?’. Dia sepertinya sangat mengkhawatirkan Tenma ketika dia menanyakan sederet pertanyaan itu.

Nah, karena sejak awal kondisi kesehatan Tenma memang baik-baik saja, jadi hal ini membuatnya merasa tidak enak pada Reira. Pada akhirnya, dia hanya bisa menggaruk-garuk rambut belakangnya sendiri  tanpa tahu bagaimana harus menjawab Reira.

“Maaf, Reira.”

“Oh, Rinka-chan, kau juga sudah kembali, ya.”

“Dia sepertinya masih tidak enak badan..., jadi bisakah kau meninggalkannya sendirian?”

“B-Begitu ya, maaf!”

Secara mengejutkan, Rinka lah yang mengirimkan perahu penyelamat kepada Tenma. Tapi, jika ditanya apakah tindakannya itu dia lakukan karena dia peduli terhadap Tenma, maka jawabannya jelas TIDAK. Dari punggung Rinka yang berdiri di depannya, Tenma bisa merasakan dengan jelas tekadnya yang kuat untuk mencegah dia dan Riera saling berinteraksi.

Yah, itu persis seperti apa yang bisa diharapkan dari seorang yang menjadi pengawal Reira selama 10 tahun. Itu membuat Tenma bisa mengerti alasan mengapa selama ini tidak ada pria yang yang bisa menarik perhatian Reira, tapi dari sudut pandang teman-teman sekelasnya yang tidak mengetahui situasinya, hal tersebut tetap akan menjadi sebuah misteri.

Kalau dipikir-pikir dengan tenang, tanda-tanda hancurnya kehidupan sekolah Tenma yang damai mungkin sudah muncul sejak saat ini, atau bahkan sudah sejak kemarin-kemarin. Meski begitu, Tenma mencoba mengabaikan semua itu. Dia melalukan yang terbaik untuk tidak menyadari tanda-tanda tersebut.

Tidak perlu cemas, besok adalah hari sabtu dan sekolah akan libur. Aku yakin, setelah libur selama dua hari, dunia pasti akan kembali normal seperti sebelumnya, pikir Tenma, tapi jauh di dalam lubuk hatinya, dia tahu bahwa itu hanyalah harapan yang rapuh.

Membuka gorden kamarnya, Tenma bisa melihat langit biru tak berawan di bawah sinar matahari yang bersinar cerah.

“Pagi yang menyegarkan...”

Dia bangun tidur dengan perasaan yang amat menyegarkan sampai-sampai membuatnya secara naluriah menggumamkan kata-kata itu.

Setelah seminggu penuh melalui hari yang penuh dengan gejolak, akhirnya hari libur tiba. Jika seseorang memiliki pola pikir yang tidak realistis, maka di hari libur yang cerah ini mungkin mereka akan pergi jalan-jalan dan berbelanja, tapi Tenma adalah seorang realistis sejati yang menganggap bahwa hari libur yang cerah ini merupakan hari yang sempurna untuk mejemur cucian yang menumpuk.

Pertama-tama cuci muka lalu sarapan, tapi hari ini aku mau sarapan apa ya? Seingatku di kulkas cuman ada..., sambil memikirkan itu, dia keluar dari kamarnya dengan masih mengenakan pakaian tidurnya. Dia menuruni tangga sambil meregangkan tubuhnya, tapi sayangnya dia tidak bisa langsung masuk ke kamar mandi dengan lancar.

“Uoeegh~~ Oeeegh~ Oeeegh~ Oeeegh~...”

Terdengar suara yang sangat memekikkan telinga sampai-sampai akan sulit untuk dipercaya kalau itu berasal dari manusia yang hidup. Itu terdengar seperti suara undead di neraka yang sedang disiksa menggunakan air suci.

Tapi karena Tenma tidak bisa mengabaikan suara itu begitu saja, dia mendatangi sumber suara tersebut di pintu depan, dan sesampainya di sana dia secara naluriah langsung menjepit hidungnya. Apa yang menyambutnya Tenma di sana adalah bau alkohol dan...,

“Ya ampun..., dia ini...”

Seorang wanita berjas. Dia berbaring dengan wajah yang menempel di lantai dan mual-mual seperti om-om paruh baya.

Dilihat dari sepatu heels-nya yang tergeletak di pintu depan, ini artinya dia masih baik-baik saja saat dia pulang, mengunci pintu, melepas sepatunya dan berjalan masuk, tapi setelah itu dia pasti sudah kehabisan tenaga sebelum bisa melangkah satu meter dan berakhir dalam keadaan kacau seperti ini.

“Hei, kau menggangu pemandangan jika kau sampai tidur di sini, jadi cepatlah bangun.”

Tenma memberi sedikit perhatian dan berbalik, sesegara mungkin ingin pergi dari area yang memiliki bau alkohol yang menyengat itu, tapi...,

“Uggh~! Jahat!”

Dia tidak bisa pergi karena pergelangan kakinya di pegang oleh tangan yang terentang seperti tangan zombie.

“Kau jahat, jahat, jahat! Kau jahat sekali Tenma!”

Wanita itu mengepak-ngepakkan kakinya yang terbungkus stoking dengan sekuat tenaga. Melihat itu, helaan napas berat keluar dari mulut Tenma.

“...Apa sih?!”

“Bagaimana bisa kau begitu acuh tak acuh ketika melihat kakakmu sendiri terjatuh dan mual-mual seperti ini di pagi hari?!”

“Masalahnya aku sudah melihat situasi seperti ini sekitar 20 kali!”

“Dasar bajingan tak berperasaan! Kau harusnya bereaksi lebih terkejut, lakukanlah sesuatu seperti memberiku pernapasan buatan atau semacamnya!”

“Hei, ketika aku pertama kali melihatmu seperti ini aku sangat terkejut sampai-sampai memanggil ambulans!”

Wanita itu kemudian berguling di lantai dan berbaring terlentang. Kulitnya yang menonjol bisa terlihat di antara kemejanya yang sudah tidak rapi. Karena wajahnya tampak masih muda dan terlihat seperti dia masih anak SMA, jaket biru tua dan rok ketat yang dia kenakan terkesan tidak cocok untuknya. Akibat berguling-guling di lantai, rambutnya yang panjang acak-acakan, riasannya pun juga sudah berantakan. Memikirkan bahwa dialah yang nantinya harus membersihkan lantai yang wanita itu kotori membuat Tenma jadi pusing.

“Astaga, jadi kau pulang pagi lagi, ya...”

“Ya iyalah, lagian mana mungkin aku jadi seperti ini kalau pulang lebih awal..., ueegh.”

Seketika, wajah wanita itu memucat.

“Hei, jangan muntah di sini!” teriak Tenma.

“T-Tidak apa-apa, aku baik-baik saj—ueggh!”

Wanita yang jelas tidak baik-baik saja itu merupakan kakak perempuan Tenma, Nagisa Yashiro. Mereka berdua mungkin tidak terlihat mirip, tapi itu fakta kalau mereka memiliki hubungan darah.

Meskipun cara bicaranya yang kasar membuat orang berpikir kalau dia itu bodoh, tapi itu bukan berarti dia melakukan pekerjaan dengan pendapatan yang tak pasti, melainkan dia adalah wanita kantoran pada umumnya. Tentunya, pekerjaan yang dia lakukan juga tidaklah buruk sehingga membuatnya dipaksa untuk meninggalkan kantor di jam kereta terakhir.

“Aah, ini menjengkelkan. Mengapa? Mengapa tidak ada satu pun pria yang mau membawaku pulang?”

“Hadeh..., jadi kau ditinggal di pesta kantor dan minum-minum sampai pagi lagi, ya.”

“Habisnya gak akan ada yang mau melakukan itu ‘kan kalau aku gak minum-minum.”

Seperti yang dia bilang, wanita ini adalah tipe orang aneh yang lebih memprioritaskan memancing pria daripada melakukan sesuatu yang memiliki sangkut pautnya dengan pekerjaan di pesta kantor. Orang-orang mungkin menyebutnya lacur atau jalang, tapi karena itu memang fakta kalau dia ingin memancing pria, jadi itu tidak bisa dibantah.

“Sungguh, mereka itu benar-benar orang bodoh yang tidak punya mata untuk melihat kesempatan. Benar-benar menyebalkan.”

Mungkin karena rasa mual yang menumpuk, sepertinya kemarahan gara-gara kejadian yang dia lalui tadi malam kembali berkobar saat dia berdiri dengan lesu.

“Padahal mau dilihat dari manapun aku ini tidaklah sulit unuk mereka bawa pulang, tapi mengapa...”

“Kupikir sisi dirimu yang terlalu agresif dan tak bermoral itu lah yang membuat orang-orang jadi menghindarimu...”

“Seorang yang tubuh bagian bawahnya masih polos sepertimu mungkin tidak mengerti soal ini, tapi apa kau tahu, cinta itu adalah perang. Wanita yang seperti binatang buas lah yang bisa mendapatkan kemenangan terlebih dahulu...”

“Oke, oke, aku mengerti. Tolong jangan biarkan adikmu ini terus-terusan mendengarkan keluhanmu.”

Tenma merasa seperti awal harinya yang menyegarkan telah dirusak, tapi karena kakaknya yang berada di depannya itu tidak dapat memahami hal-hal seperti itu, jadi dia memutuskan untuk mengabaikannya.

Kalau misalnya dia diperbolehkan untuk mengutuk sesuatu, maka Tenma ingin mengutuk nasibnya karena dilahirkan sebagai adik dari kakak perempuannya ini.

 

Sekitar satu bulan yang lalu ayah mereka dipindahkan ke Amerika karena dia didinaskan di sana.

“Ibu gak tega membiarkan ayah kalian pergi sendiran, jadi ibu akan pergi bersamanya, ufufufu.”

Meskipun ibu mereka memberi alasan seperti itu, tapi dia tampak sangat bersemangat ketika mempersiapkan perjalanan mereka ke Amerika, dan mau dilihat dari mana pun dia jelas ingin bersenang-senang tinggal dalam waktu yang lama di luar negeri. Itu sebabnya, Tenma terpaksa tinggal dengan kakak perempuannya yang berusia 24 tahun.

Kalau cuman masakan sederhana Tenma bisa membuatnya, dan di zaman ini pun bersih-bersih dan mencuci pakaian juga bukanlah tugas yang berat karena adanya peralatan rumah tangga berkinerja tinggi. Karenanya, Tenma tidak mengeluhkan apa-apa ketika kedua orang tuanya pergi, justru dia mengantar orang tuanya pergi dengan senyuman.

Kalaupun ada satu hal yang dia keluhkan adalah dia masih tidak bisa menerima kalimat yang ibunya katakan padanya saat akan berangkat, “Kalau terjadi apa-apa, kau pasti akan baik-baik saja karena ada kakakmu.”

“Aaah, segarnya.”

Duduk di sofa, Tenma yang mendengar suara itu sontak menoleh ke atas dan melihat Nagisa yang menampilkan berwajah segar dengan adanya uap tipis mengepul di atas kepalanya. Dia baru saja selesai sarapan dan saat ini sedang bersantai sambil mendengar musik di TV.

“Astaga, kau berpakaian seperti itu lagi...”

Melihat penampilan kakaknya yang seksi, Tenma secara naluriah langsung mengeluh. Atasan yang Nagisa kenakan adalah tank top pendek yang memperlihatkan pusarnya, dan bawahannya dia mengenakan celana dalam hitam berenda yang memperlihatkan area sensitifnya. Pakaian dalam yang Nagisa miliki hanyalah pakaian dalam dengan desain aneh yang menggoda seperti itu. Menurutnya, dia sengaja hanya punya yang seperti itu karena dia selalu ingin siap untuk terjun dalam peperangan.

“Gak masalah, toh gak ada orang lain selain kamu di sini.”

Nagisa sepertinya sama sekali tidak peduli soal itu dan menenggak sebotol aqua dingin. Nah, setidaknya dia tidak telanjang seutuhnya, tapi fakta bahwa Tenma menerima kompromi tersebut membuatnya merenung bahwa dia mungkin telah sedikit menerima pengaruh buruk dari Nagisa.

“Fuuh, sekarang setelah aku sudah gak mabuk, aku jadi agak lapar. Tenma~, buatin kakak telur orak-arik di atas roti panggang~?”

“Gak mau...”

Mendengar jawaban Tenma, Nagisa meletakkan tangannya di kedua bahu adiknya. Saat Tenma berbalik menoleh ke arahnya, dia melihat wajah kakaknya yang tersenyum dan berharap dimasakin.

“Yang harus dilakukan hanyalah memasukan sepotong roti ke microwave dan menggoreng toler di wajan, jadi buatlah sendiri.”

“Aku mungkin memang bisa buat roti panggang, tapi kalau masalah menggoreng telur orak-arik kamu lebih jago, kan?”

“Tapi ‘kan bukan berarti itu membuatku harus menggorengkannya untukmu...”

“Kakakmu ini mau makan telur yang empuk seperti sarapan yang ada di hotel!”

Tenma mencobanya mengabaikannya dan tetap diam, tapi Nagisa mulai mengguncang-guncang bahunya dengan keras.

“Gorengin dong~! Gini deh, nanti malam biar aku yang masak untukmu, gimana?”

Tiba-tiba, Nagisa membujuknya dengan lembut. Hal ini sontak membuat Tenma berpikir bahwa saat ini Nagisa pasti sedang mempraktekkan teknik meluluhkan pria yang ada di majalah wanita kepadanya. Mau tak mau Tenma jadi merasa kasihan, soalnya teknik itu pasti sama sekali tidak menghasilkan apa-apa di pesta kantornya.

“Gitu dong, kakak jadi makin sayang sama kamu.”

“Ya, ya,” jawab Tenma, menepis jilatan kakaknya saat dia dengan enggan pergi ke dapur.

Di dapur, Tenma mengeluarkan dua butir telur dari kulkas, memecahkannya ke dalam mangkuk, menaburinya dengan garam dan merica, dan saat dia hendak mengaduknya—

Ping~ Pong~, terdengar bunyi bel. Sepertinya, ada pengunjung yang datang.

“Nee-san, coba lihat siapa yang datang.”

Dia meminta Nagisa untuk memeriksa pengunjung yang datang, tapi kemudian dia mengkonfirmasi kembali pakaian yang dikenakan kakaknya yang sedang memasukkan roti di microwave. Kalau saja Nagisa megenakan celana pendek, maka dia mungkin bisa pergi ke pintu depan untuk menandatangi layanan kurir, tapi sayangnya penampilannya tidak memungkinan itu.

Mau tak mau, Tenma melepaskan sumpit dan mangkuk yang dia pegang. Karena mereka tidak mengundang siapa-siapa dan tidak ada yang membuat janji ingin datang ke rumah mereka, jadi pengunjung yang bisa Tenma pikirkan adalah semacam layanan kurir atau penjual koran.

Sesampainya ke pintu depan dengan berlari pendek, “Ya, ya... Siapa ya?”, Tenma langsung membuka pintu.

“...............”

Seketika, dia tak bisa berkata-kata, dan ada jeda pemikiran yang sangat panjang berlangsung di dalam otaknya.

Seorang yang berdiri di balik pintu bukanlah kurir ataupun penjual koran.

Apa yang dia lihat adalah seorang gadis muda dengan rupa yang cantik jelita. Rambut panjangnya yang berikilau bagaikan furnitur mewah yang dipernis. Matanya besar tidak seperti orang Jepang pada ummnya, dan tubuhnya terlihat kencang serta proporsional.

Tapi, bukan hal itu yang harus ditekankan saat ini.

“Eh?”

Setelah menatap sosok yang sepertinya datang dari dunia lain itu selama sepuluh detik, Tenma akhirnya mengeluarkan suara yang merasa kebingungan.

“Selamat pagi, Yashiro.”

Wanita yang tersenyum tak bergeming kepadanya itu adalah Rinka Sumeragi. Kabut menyelimuti otak Tenma, dan dia merasa seperti sedang berada di dalam lamunan. Tingkat kecerdasan Tenma yang sejak awal tidak begitu tinggi pun juga jadi semakin menurun saat melihat wanita yang ada di depan rumahnya ini.

Eh? Bukankah nuansanya orang ini agak berbeda dibandingkan dengan ketika dia di sekolah?

Pikiran Tenma berpacu kencang mencoba memecahkan jawaban dari pertanyaan itu. Tapi pada dasarnya, jawabannya sederhana; yaitu karena Rinka sedang mengenakan pakaian kasual.

Dia mengenakan blus dengan bahu yang terbuka yang memberinya nuansa seksi dan anggun. Untuk bawahannya, dia mengenakan skinny denim yang panjangnya mencapai pergelangan kakinya, dan dia mengenakan sandal hak tinggi. Tidak seperti saat dia berada di sekolah, rambutnya hitamnya dia ikat menjadi model ponytail.

Tenma dibuat benar-benar takjub melihat penampilan Rinka yang sepertinya bisa menghiasi halaman ganda majalah fashion dengan judul, [Inilah model pakaian kasual yang terbaik untuk musim semi ini!]

“Hei, ini bukan Shibuya loh?”

Tenma melontarkan tanggapan yang dia sendiripun tidak mengerti mengapa dia menanggapi seperti itu.

“Shibuya..., maaf, apa maksudmu?”

“Apa-apaan dengan penampilanmu itu?”

“Apa sih yang kau hebohkan dari penampilanku yang normal ini? Tapi yah, setidaknya penampilanku tidak sepertimu.”

“Eh?”

Merasakan Rinka sedang menatapnya, Tenma segera mengalihkan pandangannya ke bawah ke penampilannya sendiri.

Dia mengenakan kaos biasa yang memiliki logo maskot lokal jelek yang seseorang tidak akan tahu itu apa jika hanya melihatnya sepintas. Itu adalah kaos yang ibunya belikan untuknya ketika dia sedang jalan-jalan bersama temannya sesama ibu-ibu, tapi karena kaos itu tidak memiliki kegunaan praktis untuk dipakai sehari-hari, jadi Tenma memakainya sebagai ganti piyamanya.

“J-Jangan menatapiku!”

Tenma menutupi dirinya sendiri dan melontarkan suara seperti suara seorang gadis, tapi Rinka hanya menampilkan ekspresi kosong saat menaggapinya, “Siapa juga yang mau menatapimu.”

“Mau ngapain kau ke sini..., tidak, di tempat pertama mengapa kau tahu alamat rumahku?!”

“Aku menanyakannya pada temanmu. Itu loh, orang yang suka senyum-senyum itu..., kalau gak salah seingatku namanya Hayami-kun?”

“Souta? Terus...? Jangan-jangan, dia langsung memberitahumu ketika kau menanyakannya?”

“Ya. Aku bilang padanya ‘Aku ingin memperdalam persahabataku dengan Yashiro-kun’, terus dia memberitahuku dengan senang hati.”

“Astaga, pria sialan itu!!!”

Bayangan dari Souta yang mengacungkan jempolnya seolah-olah habis memberikan assist yang bagus muncul di benak Tenma.

“Mengesampingkan soal itu, apa-apaan ini?”

Pertanyaan demi pertanyaan muncul di pikiran Tenma sampai-sampai dia merasa pusing.

“Seorang wanita sepertimu mengintaiku, mencari tahu alamatku, dan bahkan sampai tiba-tiba datang berkunjung ke rumahku. Bagaimana bisa situasinya jadi seperti ini, oi?”

 

“Ya, ya, ya. Aku akan menjelaskannya padamu..., tapi hei, untuk saat ini bisakah kau membiarkanku masuk dulu?” ucap, Rinka menutup satu matanya seolah-olah kesal dengan rentetan pertanyaan Tenma.

Dia mengangkat tas yang dia bawa (memiliki logo L dan V) seolah-olah menyiratkan kalau itu berat, meskipun sebelumnya dia tidak ada menunjukkan tanda-tanda seperti itu. Dia juga menggeliat-geliatkan kakinya, seolah-olah mengatakan kalau dia lelah habis berjalan.

“Karena ceritanya akan panjang, jadi apa gunanya berdiri sambil berbicara?”

“Lah? Kok sikapmu malah belagu gitu?”

Itu jelas bukanlah sikap yang pantas untuk ditampilkan oleh seseorang yang tiba-tiba datang berkunjung ke rumah seseorang. Tapi ketika Tenma bertanya-tanya tentang apa yang harus dia lakukan,

“Tenma~, kamu ngapain sih~?”

Suara yang terdengar kesal datang dari belakangnya. Tenma langsung teringat bahwa tadi dia sedang membuat sarapan, dan di saat yang sama dia juga ingat kalau saat ini kakaknya sedang mengenakan pakaian yang tidak boleh dilihat oleh orang lain.

“Tung—, jangan keluar, Nee-san!”

Tenma meneriakkan itu dengan panik, tapi sayangnya dia terlambat. Nagisa, yang menggembungkan pipinya karena kesal, sudah berdiri tepat di belakangnya. Aaaaah, aku tidak menyangka kakakku yang mengenakan pakaian dalam untuk perang dilihat oleh orang lain, apalagi orang itu adalah teman sekelasku.

Tenma terperangah selama beberapa detik, tapi setelah dia memperhatikan Nagisa baik-baik, dia melihat bahwa tubuh bagian bawah kakaknya itu sudah diselimuti oleh celana pendek yang sebelumnya tidak dia kenakan, menyembunyikan area senstifinya. Sepertinya, wanita ini masih memiliki sedikit akal sehat yang tersisa di dalam dirinya.

“Cepat goreng telur orak-ariknya. Rotinya sudah dari tadi aku panggang—..., eh?”

Mata mengantuk Nagisa sontak melebar. Tapi kemudian, dia hanya menggumamkan satu kata, “Shibuya?”, lalu menjadi kaku. Fakta bahwa reaksi awal kedua kakak-adik ini sama persis kesannya cukup menyedihkan.

Garis pandang kedua wanita itu bersinggungan melewati Tenma. Merasa tidak tahan dengan keheningan di tempat itu, Tenma mencoba menggumakan sesuatu yang tidak jelas seperti, “Erm”, “Ugh,” tapi tau-tau saja—

“Senang bertemu denganmu.”

Ringka membungkuk dengan hormat dalam sudut 45 derajat yang sempurna. Hal itu tentunya membuat Tenma tercengang, tapi itu masih belum berakhir. Rinka mengangkat wajahnya dan secara mengejutkan menampilkan senyum tipis.

“Apa kamu kakaknya Tenma-kun? Aku teman satu kelasnya, Sumeragi Rinka, dan aku sudah banyak berhutang budi pada Tenma-kun di sekolah. Kalau tidak keberatan, tolong terima bingkisan kecil ini.”

Setelah mengatakan itu dengan lancar, Rinka menawarkan bingkisan pada Nagisa. Ketika Tenma menaydari ada tulisan [bingkisan kecil] di atas kertas di bingkisan yang Rinka berikan, dia langsung merinding.

Kun? Tenma-kun? Berhutang budi padaku? Bingkisan kecil?

Dia seperti kucing. Saat ini, tepat di depan Tenma, Rinka bertingkah layaknya seekor kucing pinjaman.

[Catatan Penerjemah: Kucing pinjaman/Karite kita Neko (借りてきた猫), itu idiom yang artinya bertingkah lembut/jinak/tenang yang tidak seperti sikap normal dari orang yang dimaksud.]

“Terima kasih...”

Nagisa yang menerima bingkisan itu dengan malu-malu menampilkan ekspresi serius yang langka, dan kemudian...

“...Ikut aku sebentar, Tenma!”

Saat Nagisa menoleh ke arah Tenma dengan momentum yang luar biasa, dia dengan paksa menarik lengan Tenma dan menyeretnya menjauh dari Rinka.

“Hei, apa-apaan dengan gadis eeeeeeeeeeeerotis itu?!”

“Tidak bisakah kau mengekspresikan dia dengan kata yang lebih umum seperti stylish atau cantik?”

“Loh tapi ‘kan itu fakta kalau dia terlihat erotis! Sejak kapan kau mulai pacaran dengan gadis sepertinya?”

“Kami gak pacaran... Lagian mana mungkin pria biasa sepertiku bisa pacaran dengan gadis yang berpesifikasi tinggi sepertinya.”

“Tapi setidaknya kalian cukup dekat sampai kau berani mengundangnya datang ke rumah kita, kan? Kamu punya pesona yang menarik perhatian wanita juga ternyata, good job~ good job~. Sepertinya kisah romansa adikku ini berjalan dengan baik. Kuu~~~”

Hah? Mengapa dia mengeluarkan suara seperti habis meneguk sebotol bir sekaligus? pikir Tenma, tidak bisa mengerti reaksi Nagisa meskipun dia adalah kakaknya sendiri.

“Tidak, aku tidak mengundangnya ke sini, tapi dia sendiri yang tiba-tiba datang.”

“Eh?!”

Nagisa yang sepertinya sangat gembira sontak melebarkan kelopak matanya sampai-sampai bola matanya tampak seolah-olah akan keluar.

“Jadi, jadi, jadi, jadi, apa dong maksudnya ini? Kalian tidak membuat janji apa-apa, tapi dia sendiri yang ingin datang ke sini?”

“Ya, makanya aku sendiri juga terkejut dengan ini...”

“Itu justru lebih menakjubkan! Bukan hanya kau memiliki pesona yang menarik perhatiannya, tapi ini kurang lebih adalah sinyal darinya kalau itu tidak apa-apa jika kau ingin mantap-mantap dengannya!”

“Jangan menerapkan standar karnivoramu yang menyimpang padanya.”

“Gak usah pura-pura bodoh?! Sebelum pergi ke rumah pria, banyak wanita yang merasa sudah melakukan tindak pencegahan dengan mengatakan [Jangan lakukan sesuatu yang aneh-aneh loh ya], tapi jika si wanita benar-benar tidak mau pria melakukan sesuatu yang aneh pada mereka, maka sejak awal seharusnya mereka tidak perlu pergi ke rumah si pria, bukan? Dengan kata lain, ketika seorang wanita melangkahkan kakinya di rumah binatang buas yaitu pria, itu artinya dia sudah siap untuk dimangsa......”

Medengar Nagisa tanpa tahu malu berbicara tentang teori bejatnya, Tenma hanya menatap kosong ke kejauhan seolah-olah jiwanya telah ditarik keluar dari pikirannya.

“Ayo cepat, jangan buang-buang waktu! Karena mangsanya sudah datang sendiri, jadi cepat makan, cepat...”

Setelah membuat pernyataan yang sangat kasar seperti itu, dengan cepat ekspresi Nagisa berubah menadi seperti ekpresi senyum seorang penjilat.

“Sumeragi-san, kan? Maaf ya membuatmu menunggu.”

Dia bergegas menghampiri Rinka dan mempersilahkannya masuk ke dalam rumah, tapi tidak hanya itu saja, dia kemudian...

“Nah, ayo masuk. Oh iya, kamarnya Tenma di arah sini, ayo naik ke tangga itu...”

Tanpa basa-basi, Nagisa langsung memandu Rinka ke kamar Tenma, dan Rinka mengikutinya dengan sikap yang biasa-biasa saja. Di sisi lain, Tenma yang sudah menyerah untuk memikirkan apa-apa lagi hanya bisa menonton adegan itu.



3 Comments

Previous Post Next Post