
Bab 85
Undian Fatal (Pemilihan Kursi)
Saat Kaede mengeluarkan tiket, aku dan Rika-chan memutuskan untuk berbaris di antrian stan. Seperti yang bisa diduga dari bioskop pada akhir pekan liburan musim semi. Tempat ini sangat ramai dengan sepasang kekasih dan keluarga, dan menurut Kaede, film yang akan kami tonton sudah penuh. Sungguh keajaiban bahwa kami bertiga bisa duduk berdampingan.
“Kak Kaede tadi bilang maunya Calpis saja, kan? Apa dia benar-benar tidak mau popcorn?”
“Yang kupesan ukurannya M, jadi kami berdua bisa memakannya bersama-sama. Dan karena punya Rika-chan berukuran S, kau bisa memakannya sendirian.”
Bahkan setelah menonton film, kami masih memiliki banyak waktu sampai makan malam, jadi kupikir tidak apa-apa sekalipun kami makan banyak cemilan disini. Tapi bukannya senang, Rika-chan mengangkat alisnya dan mulai merenung. Dia kenapa?
“Kak Yuya, aku juga tidak mau popcorn.”
“Eh? Kau juga tidak mau popcorn Rika-chan?”
“Sebagai gantinya, ayo kita buat ukuran yang dipesan Kak Yuya menjadi Ⅼ dan kita bertiga bisa memakannya sama-sama!”
Seperti yang Rika-chan bilang, akan lebih efisien secara finansial untuk membeli yang lebih besar daripada membeli satu untuk setiap orang. Itu sungguh menakjubkan bagi seorang siswi kelas 1 SD untuk daat berpikir sejauh itu. Ini pasti berkat didikan yang diberikan Harumi-san. Tentunya, itu sama sekali bukan karena didikan Taka-san.
“Kak Kaede pasti akan memonopoli ruang di samping Kak Yuya demi berbagi popcorn. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi...!”
Eh. Kok pernyataan Rika-chan jadi aneh? Bukannya kalian sudah akur di pertandingan tadi pagi? Bukannya kalian sangat rukun seperti dua saudari pas di dalam mobil?
“Masalah ini berbeda dari itu, Kak Yuya... Ini adalah perang suci! Ada pertempuran di luar sana yang aku tidak boleh sampai kalah!”
Begitu ya. Jadi pertarungan untuk mendapatkan kursi di sampingku berada pada level yang sama dengan pertempuran besar Samurai Biru. Merupakan suatu kehormatan untuk berpikir demikian, tapi sisi SMA vs bocil SD terlalu buruk kalau diadu. Dengan kata lain, ini seperti bertanding melawan Belgia, yang merupakan tim nomor satu di dunia. Lawannya terlalu buruk.
“Selamat datang! Apa anda sudah memutuskan pesanan anda?”
Di tempat pertama, akankah pertarungan yang dikhawatirkan Rika-chan benar-benar terjadi? Sekalipun itu adalah Kaede, dia pasti tidak akan melakukan itu ‘kan!
“Ah, ya. Dua Cola ukuran M dan satu Calpis ukuran M. Dan juga, satu popcorn ukuran L yang rasanya asin.”
Berpikir samar-samar, aku memberi tahu pesananku. Karyaman Onee-san itu kemudian memasukkan pesanan ke kasir dengan tangan yang sangat lihai. Tidak ada keraguan dalam gerakannya, dan sepertinya dia sudah menghafal tata letak panelnya.
“Dua Cola ukuran M, satu Calpis ukuran M, dan satu popcorn ukuran Ⅼ rasa asin. Totalnya 1.510 yen!”
Sebelum membayar tagihan, Onee-san itu membuatku memasitkan layar tagihan. Aku mengangguk dan mengeluarkan uang tunai dalam jumlah yang pas untuk membayarnya.
Kaede-san memberiku kartu hitam yang terbuat dari bahan yang sangat keras sehingga sulit dipercaya kalau itu adalah kartu kredit, tapi aku terlalu takut untuk menggunakan itu. Meski atas nama orang tua, itu bukanlah kartu yang bisa dibawa-bawa oleh siswa SMA biasa.
“Terima kasih sudah menunggu! Ini pesanannya!”
“Terima kasih. Rika-chan, maaf, tapi bisakah kau memegang satu minuman?”
“Oke!”
Jumlah minuman yang bisa ditaruh di nampan dibatasi dua, dan karena ada popcorn, aku tidak bisa memegang nampan dengan satu tangan, jadi aku meminta Rika-chan membantuku. Onee-san itu mencondongkan tubuh dari konter dan dengan lembut memberikannya minuman yang kami pesan. Aku menghargai perhatiannya terhadap detail seperti ini.
“Pegang dengan hati-hati supaya itu tidak jatuh, Rika-chan.”
“Kalau begini saja aku bisa melakukannya! Kau terlalu memperlakukanku seperti anak kecil!”
“Itu benar, Yuya-kun. Khawatir memang tidak ada salahnya, tapi terlalu khawatir juga tidak baik, tahu?”
Saat kami keluar dari barisan, kami bertemu Kaede, yang telah menukar tiket. Tatapan Rika menajam saat dia melihat tiga lembar kertas di tangannya, dan Kaede, yang menyadarinya, tersenyum dengan senyuman tak kenal takut. Apakah pertempuran benar-benar akan dimulai?
“Tatapanmu itu. Dan juga, Yuya-kun yang memegang satu popcorn ukuran Ⅼ. Fufufu, Rika-chan, jadi kau menyadarinya, ya?”
“Tentu saja. Karena aku yakin jika itu adalah Kak Kaede, kau pasti akan mencoba mendorongku ke tepi dengan duduk di samping Kak Yuya untuk berbagi popcorn. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.”
Oi, oi. Seriusan nih, Kaede? Apa kau benar-benar memikirkan itu!? Eh, seringai apa itu, itu seperti seringai yang dilakukan oleh karakter saingan yang mengakui protagonis sebagai yang terkuat! Kau terlau kekanak-kanakkan.
“Jadi, bagaimana cara kita memutuskan tempat duduk, Kak Kaede? Apa menggunakan gunting-batu-kertas?”
“Fufufu. Caranya lebih sederhana dari itu. Ini tiketmu, Yuya-kun.”
Kaede meletakkan tiketku di nampan dengan nomor tempat duduk di sisi bawah sehingga itu tidak bisa dilihat.
“Sekarang, Rika-chan. Silakan pilih salah satu dari dua kartu ini. Kalau kau menarik kartu yang benar, kursi di sebelah Kak Yuya akan menjadi milikmu. Tapi jika kau menarik kartu yang salah..., Nah, silakan dipilih!”
Apa-apaan dengan lelucon ini? Apa yang sebenarnya sedang kusaksikan? Aku menghela napas karena pacarku yang imut memainkan permainan misterius melawan anak kelas 1 SD, tapi aku tidak bisa berkata apa-apa karena ekspresi wajah Rika-chan terlihat sangat serius.
“Fufufu, ini undian penting yang menentukan nasibmu. Kau harus menariknya dengan hati-hati.”
“...Aku akan menarik dan menunjukkannya. Akulah yang akan duduk di sebelah Kak Yuya... Aku akan menariknya sekarang! Kak Kaede. *sedang menarik*!!”
Teriakan Rika bergema di pintu masuk bioskop. Kartu apa yang dia tarik?
“Tidak, Kaede-san sih iya, tapi bukankah Rika-chan juga terlalu sembrono?”
Emangnya ini Yu-G*-Oh apa? Aku bertsukkomi seperti itu, tapi sayang itu tidak mencapai siapapun.