Tantei wa Mou, Shindeiru Volume 1 - Bab 3 Bagian 2

Bab 3 Bagian 2
Ini adalah Neraka, Tanah Impian


Berpisah dengan Natsunagi dan Saikawa yang mau pergi ke kolam renang, aku tetap tinggal di geladak dan untuk merenung...

Setelah satu tahun, kini aku kembali bertemu dengan musuh lamaku. Pertemuan yang telah lama tidak terjadi ini awalnya hanya kuanggap sebagai kebetulan belaka. Tapi sekarang, aku mengerti bahwa aku telah salah.

Setelah insiden jantung, Natsunagi mengjariku untuk jangan percaya begitu saja pada takdir, dan jangan berpikir bahwa pertemuan manusia dapat dianggap sebagai suatu kebetulan belaka. Aku harus berpikir bahwa dari semua pertemuan yang kualami, ada suatu arti di baliknya.

Berpikir begitu, aku pergi menuju ke tempat tertentu.

Hal pertama yang harus kulakukan adalah berbicara dengannya. Nah, mengenai sekarang dia ada dimana... yah, kami sudah bekerja sama cukup lama, jadi aku punya pemikiran dimana kemunkinan dia berada.

Aku menyusuri kapal yang besar itu, kemudian berhenti di depan pintu besar, membukanya—dan,

“Haha, rasanya cukup nostalgia.”

Apa yang pertama kali memasuki pandanganku adalah deretan mesin slot. Selanjutnya ada rolet, meja hijau yang digunakan untuk bakarat, dan dealer untuk permainan.

Pesta pora yang mewah, indah, dan luar biasa.

Ini adalah tanah impian (Neraka), tempat dimana hasrat manusia berkumpul—Kasino.

Hukum Jepang melarang keberadaan tempat seperti ini, namun begitu berada di luar negeri, larangan tersebut akan dihapus.

...Yah, rasanya benar-benar nostalgia.

Las Vegas, Makau, Singapura. Saat kami berkeliling dunia, aku dan Siesta sering mengunjungi kasino-kasino seperti ini. Di saat-saat seperti itu, kami akan menghasilkan banyak uang dengan sedikit uang yang kami miliki, dan pada hari itu juga kami akan langsung membelanjakan semuanya.

Bicara soal keborosan, kami biasanya akan membeli wine dan meminumnya meskipun kami biasanya tidak melakukan itu. Dan setelah itu, kami akan jadi terbawa suasan... tidak, untuk saat ini hal seperti itu jangan dibicarakan. Yap, aku yakin kalau semua itu terjadi hanya karena kami masih muda.

Ayo kesampingkan masa lalu, karena yang terpenting untung sekarang adalah; apakah dia ada di sini... ahh, sudah kudga, dia ada di depanku.

“Uu, bagaimana bisa... aku kalah tujuh belas kali berturut-turut...”

Dia terlihat begitu stress di depan meja poker, dan rambut pirangnya itu berantakan seperti dia adalah karakter dalam suatu manga.

“Uu, ini aneh sekali. Sekali lagi... ayo sekali lagi.”

Namun sepertinya dia tidak bermaksud untuk berhenti, dan kemudian dia mengeluarkan 20 dolar AS dari dompetnya untuk ditukarkan dengan beberapa chip pada dealer.

“Kau ini ngapain sih tolol?”

Tidak tahan lagi dengan tingkahnya itu , aku menjitak kepalanya.

“S-siapa itu?”

Dia nampak terkejut, dan bahunya meorosot sebelum dia berbalik ke arahku dengan hati-hati.

“Jangan berjudi kalau ujung-ujungnya kau menangis!?”

Duduk di depanku adalah Charl, yang berlinang air mata.

“Uu, Kimizuka, aku tidak bisa menang...”

“Lah, kemana semua kekuatan yang kau miliki saat mengejek kami...?”

Tapi yah, gadis yang bernama Charl ini memang sudah seperti itu. Setiap kali dia berbicara tentang Siesta, dia akan berakhir heboh sendiri sekalipun dia masih kelihatan sesuai dengan usianya...yah mungkin tidak juga, dia memang terlihat dewasa dan bijaksana dari segi penampilan, tapi terkadang, dia akan bertingkah kekanak-kanakan. Terlepas dari kesalahpahaman, pada dasarnya dia adalah sampah, dan kalau meminjam kata-kata Siesta, dia ini agak tolol.

...Tapi asal tahu aja, bukan aku yang mengatakan itu loh ya? Itu adalah pendapatnya Siesta.

“Jadi, kenapa kau malah bermain poker?”

“...Begini, warisannya Nona itu sangat berharga, jadi kalau aku terus menang di kasino, yah, itu mungkin akan jadi semacam hadiah...”

“Ahh, kau ini masih saja tolol seperti biasanya.”

Tapi berkatnya, aku samar-samar bisa menebak di mana itu berada.

“Apa maksudmu, masih saja tolol!?”

“Maksudku, Siesta memperhatikanmu.”

“Ehh, Nona memperhatikanku?...Hehe...”

Apaan coba ‘Hehe’, kau tiba-tiba menangis, habis itu marah, dan kemudian tersenyum? Sungguh, kau ini orang yang begitu berekspresi.

“Sini, biar aku yang mainin.”

“Eh?”

Aku mengambil alih tempat Charl, dan duduk di depan dealer.

“Aku akan memenangkan kembali apa yang sudah kau kalahkan.”

“...K-kau mau membantuku? Ada syaratnya gak nih?”

Mengatakan itu, Charl mundur beberapa langkah sambil memeluk dirinya sendiri. Hadeh, inilah mengapa kau disebut tolol.

“Aku cuman mau ngobrol, itu saja.”

“...Ngobrol?”

“Ya, setelah ini selesai. Mungkin kita bisa pergi ke geladak.”

Mengatakan itu, aku menyerahkan uang 20 dolar kepada dealer.

“Nah, lihat dan pelajari ini. Dulu aku cukup jago bermain poker.”

Ayo kita tunjukkan pada detektif hebat tertentu, perbedaan antara aku dan dirimu.



1 Comments

Previous Post Next Post