Tantei wa Mou, Shindeiru Volume 2 - Bab 1 Bagian 4

Bab 1 Bagian 4
Di saat-saat seperti ini, seorang Ateis pun akan berdoa kepada Tuhan


“Ini tidak masuk akal.”

Sendirian di ruangan yang remang-remang, aku menangkupkan kepalaku..., tidak, lebih tepatnya menahan rasa sakit yang datang dalam gelombang di perutku, yang sudah kurasakan selama kurang lebih sepuluh menit ini. Kemudian, aku menyeka keringat yang bercucuran di dahiku.

“Sial, ini gara-gara kamu—Siesta.”

Aku mengeluh pada Siesta, yang saat ini mungkin sedang makan takoyaki di tempat lain.

—Simpelnya sih, seperti yang kukatakan sebelumnya, saat ini aku berada di dalam toilet, bertarung melawan sakit perut yang kualami.
 
Alasannya ya sudah jelas, aku kebanyakan makan saat aku dengan sintingnya membeli banyak hal untuk dimakan saat pergi menemani Siesta, dan gadis itu mengabaikan permintaanku untuk berhenti dan istirahat saat dia menyeretku ke rumah hantu di gedung sekolah lama. Mulai dari sanalah aku menderita sakit perut ini.

Namun, ada alasan lain pula mengapa aku mengeluh akan ini. Yaitu, ini adalah toilet di dalam rumah hantu—dan toilet tempatku berada adalah lantai tiga gedung sekolah lama yang dirumorkan, toilet wanita ketiga.

...Tidak, tunggu, jangan salah paham dulu. Ada alasan untuk ini. Sekarang toilet ini digunakan oleh semua staf, yang aritnya sembarang jenis kelamin juga bisa memasukinya. Hanya saja, kebetulan cuman ini satu-satunya yang terbuka. Dan karena situasiku sedang darurat, aku terpaksa harus menggunakannya. Ini bukan berarti aku menyelinap ke toilet wanita, oke?

Tapi tentu saja, toilet itu remang-remang dan sesekali aku bisa mendengar suara BGM yang aneh. Aku sungguh ingin keluar dari sini secepat mungkin... tapi meski aku berpikir begitu, perutku terus menggemakan suara peringatan, menyuruhku untuk terus duduk di atas toilet dengan patuh. Pokoknnya, bukan merupakan hiperbola bagiku untuk mengatakan ini,

“Aku ingin mati.”

Itulah situasinya.

Aku benar-benar dipengaruhi oleh suasana suram di sekitarku. Dan lagi, rumor itu muncul begitu saja di kepalaku sekalipun aku tidak mau memikirkannya.

“Tapi seriusan dah, aku ‘kan sudah SMP. Masa’ iya aku yang sekarang masih takut sama yang namanya hantu?”

“Kau ngomong sama siapa?”

“...!”

Dari atas terdengar suara yang dimana itu jelas bukan suaraku. Aku segera membeku di tempat..., tapi aku merasa kalau pernah mendengar suara tersebut sebelumnya.

“Kau ini tidak puas ya dengan mengintipku di kamar mandi? Dan sekarang, di toilet pun kau—Siesta?”

Aku mendongak, dan melihat Siesta, yang telah memanjat pintu toilet dan menatapku. Harusnya sekarang dia menuju pintu keluar, tapi apa dia kembali ke sini? Aku menghela nafas, dan segera menarik celanaku. Sepertinya berkat ruangan yang remang-remang ini, dia tidak melihat suatu benda yang seharusnya dia tidak punya.

“Kau lama banget, jadinya aku cemas..., oho.”

“Apaan ‘oho’? Terus, ngapain kau masuk ke sini?”

“Kau mau aku tetap di atas?”

“Aku menyuruhmu untuk keluar dan menungguku di sana.”

Lagipula, kenapa dia sampai harus menyelinap masuk ke sini?

“Aku cuman mau menyelidiki sesuatu... hm, aku menemukannya.”

Siesta berjongkok, dan mengambil sesuatu di dekat toilet. Tampaknya itu adalah kantong plastik.

“Kira-kira, menurutmu ini apa?”

“Kurasa..., kantongan yang berisi obat flu? Seperti, seseorang datang ke sini untuk minum obat setelah makan?”

“Hadeh, aku merasa iba terhadapmu yang sampai memiliki pemikiran itu. Apa kehidupan damai nan tenang yang ingin kau lindungi itu cuman sekedar untuk bisa makan bekal sendirian di toilet atau semacamnya?”

“Sudah kubilang sebelumnya, orang tuaku adalah MIA, jadi tidak ada yang memasak untukku. Aku hanya bisa makan roti manis di toilet untuk makan siang.”

“Kau sungguh menyedihkan. Bagaimana kalau sesekali aku membuatkanmu bekal?”

Saat Siesta mengatakan itu,

“Oho.”

Dia mengulurkan tangannya ke bawah roknya, dan hendak menarik sesuatu dari bawah dengan ujung jarinya.

“Tunggu dulu, Siesta! Sekarang kau bisa melihat kalau aku ada di sini, kan!? Ya kan!? Apa kau masih akan tetap melakukan itu!?”

“Eh, kupikir kau punya fetish yang cukup aneh untuk membuat seorang gadis menahan kandung kemihnya.”

“Aku tidak mengatakan itu..., Aku sama sekali tidak mengatakan itu...”

“Aku mau menanggapi panggilan alam. Keluar sana.”

“Eh, kau mau menyuruhku menunggu sendirian di luar sana, di lingkungan yang menakutkan ini?”

“Loh, terus siapa tadi yang bergumam ‘tapi seriusan dah, aku ‘kan sudah SMP. Masa’ iya aku yang sekarang masih takut sama yang namanya hantu?’ sambil mengangguk-ngangguk gak jelas dengan tubuh bagian bawahnya yang telanjnag?”

“Kalau kau melihatnya, kau harusnya bereaksi sejak awal!”

Ini aneh. Harusnya ‘kan, ini adalah komedi romantis masa muda di festival budaya, tapi kenapa kami malah melakukan rutinitas manzai di toilet rumah hantu..., tidak tunggu, jika melihat dari kata kuncinya, rumah hantu dan manzai, itu terkesan seperti kami menikmati diri kami sendiri di dalam festival budaya.

Memikirkan itu, aku menghela napas, lalu.

“Diam sebentar.”

Menutupi mulutku dengan tangannya, Siesta menyuruhku diam.

Merasa penasaran, aku menajamkan telingaku—tok tok,

Seseorang mengetuk pintu toilet, mencoba untuk masuk.

Tidak mungkin, pikirku. Kini, kami berada di lantai tiga gedung sekolah lama, tepatnya di ruang ketiga dari toilet wanita. Sekarang bukan pukul 3 pagi, tapi sudah ada cukup syarat bagi kami untuk memikirkan rumor tersebut.

Dan kemudian—tok tok tok,

Pintunya kembali diketuk. Aku dan Siesta mengangguk berbarengan, kemudian kami dengan lembut memegang kenop, dan saat kami membuka pintu,

“......! ......Hm?”

Di luar pintu, ada seorang gadis dengan rok bretel merah—bukan, itu setelan kelinci merah muda.

“Kalau tidak salah, kau gadis yang membagikan browsur...”

Tidak, atau apakah itu adalah panda? Aku melihat beberapa siswa mengenakan kostum hewan sedang berjalan-jalan di sekitar sekolah untuk membagikan browsur atau menaikkan papan merek. Tapi kenapa si kelinci ini muncul di sini?

Ah, apa dia salah satu staf dari rumah hantu ini? Apa dia ke sini karena khawatir kami terlalu lama berada di dalam toilet?

Jika demikian, aku mesti memikirkan alasan untuk menjelaskan mengapa seorang pria dan seorang gadis berada dalam satu toilet yang sama bersama—

 

“Kau tidak akan lolos.”

 

Segara aku menyadari kalau tidak ada waktu dan kesempatan untuk memikirkan alasan.

Tanpa kusadari, si kelinci itu berbalik untuk melarikan diri—dan Siesta mengarahkan senjatanya ke punggungnya.

“Oi, Siesta...?”

Aku benar-benar kebingungan, dan Siesta dengan cepat mengejarnya, dan berkata,

“Si kelinci itulah Toilet Terikat Hanako-san.”



1 Comments

Previous Post Next Post