Tantei wa Mou, Shindeiru Volume 2 - Bab 1 Bagian 3

Bab 1 Bagian 3
Adegan pembuka, bab komedi romantis masa muda


“Tapi aku masih belum menyerah pada perkembangan misteri horor itu.”

Beberapa siswa menghindari siswa SMP mencurigakan, yang bergumam pada dirinya sendiri saat dia masuk ke  gerbang sekolah.

Selang beberapa hari, hari Sabtu, aku menunggu orang tertentu di gerbang SMP-ku. Pagi-pagi begini, sudah ada kerumununan di sini, tapi mungkin..., itu karena adanya festival budaya yang diadakan sekolah ini.

Meski begitu, ini aneh. Aku sama sekali tidak memiliki ingatan mengenai melakukan persiapan untuk festival budaya. Dan juga, bukannya setiap orang harus bekerja sama untuk mempersiapkan apa yang harus kita persiapkan? Apa mereka sudah menyelesaikannya saat ada masalah di sekolah dan orang-orang membolos? Kenapa tidak ada yang memberitahuku tentang ini?

“Haa.”

Aku menghela nafas terhadap prospek kehidupan sekolah yang agak abu-abu ini,

“Maaf membuatmu menunggu.”

Dari belakangku, terdengar suara seorang gadis. Tampaknya orang yang kutunggu telah tiba. Berbalik ke belakang, aku hendak mengomelinya karena terlambat,

“Padahal kau yang memanggilku, tapi kenapa malah justru kau yang terlam...”

Aku segera membeku di tempat.

Tidak, ini bukan karena orang yang muncul adalah orang yang tak terduga. Tidak diragukan lagi kalau orang yang berdiri di depanku adalah gadis yang berjanji untuk ketemuan denganku. Yang jadi masalahnya di sini adalah—

“Siesta, ada apa dengan penampilanmu itu...”

Apa yang memasuki pandanganku adalah seragam pelaut putih yang mempesona. Roknya sedikit pendek, dan bagian kakinya terbuka sampai di atas lutut. Dia membawa tas sekolah yang tersampir di pundaknya, dan dia terlihat seperti seorang siswi dari sekolah kami..., ada perbedaan yang besar dari saat dia mengenakan gaun one piece-nya yang biasa, dan fakta bahwa seragam sekolah itu sangat cocok untuknya membuatku—

“? Loh, kenapa kau tiba-tiba berbalik?”

Siesta membungkuk untuk menatap wajahku.

“...Tidak, bukan apa-apa. Cuman mau mengambil napas segar?”

“Apa kau sedang tidak enak badak? Kau baik-baik saja?”

Aku tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa. Jadi jangan terlalu mendekatkan wajahmu kearahku. Dan juga jangan menempel di punggungku.

“...Kenapa kau memakai seragam sekolah kami?”

Segera menenangkan diri, aku menyipitkan mata pada Siesta, dan bertanya padanya.

Aku melihatnya dengan baik-baik, dan melihat dia mengenakan pita merah di rambut pendek putih keperakannya, dia terlihat seperti Katyusha*. Memang benar jika aku tidak berhati-hati, bisa-bisa aku akan mengatakan bahwa dia imut atau semacamnya. Tapi yah, kenyataannya dia memang sangat imut...

[Catatan Penerjemah: Katyusha, gua gak tau apa, tapi pas gua search di google, itu berhubungan dengan kemiliteran.]

“Sekarang matamu terlihat jauh lebih tidak bersahabat dibandingkan sebelumnya.”

Jangan pedulikan aku. Sekarang ini, melihatmu yang mengenakan seragam pelaut saja aku sudah membutuhkan banyak keberanian.  Dengan kata lain, aku sama sekali tidak bisa tenang.

Sebenarnya, ini bukan karena aku terlalu banyak bereaksi. Orang-orang yang berlalu-lalang sepertinya jadi sedikit melambat begitu mereka melihat Siesta.

Seorang gadis cantik berrambut putih keperakan dan bermata biru sedang mengenakan seragam pelaut. Aku bisa mengerti bahwa kalian jadi ingin mengambil foto, tapi setiap pemotretan harganya dua ratus juta yen.

“Ini agak berbeda dari pakaian yang biasanya kupakai, jadi aku memakai pitanya juga. Bagaimana menurutmu?”

“Aku sudah melukis sosokmu itu dalam satu halaman penuh di pikiranku.”

“Eh, sejak kapan? Kenapa aku tidak tahu apa-apa tentang itu?”

“...Kesampingkan itu, yang terpenting sekarang,”

“Ah, alasan seragam ini?”

Mengatakan itu, Siesta berputar sekali. Roknya berkibar, dan paha yang tersembunyi di baliknya  terlintas sekilas. Mau tak mau aku jadi mengalihkan pandanganku secara acak, dan karena itu, dia sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, menatapku,

 

“Bukankah akan menarik untuk melakukan kencan dengan mengenakan seragam di festival budaya?”

 

Dia memberiku senyuman senilai seratus juta poin.

“...Terus, perlukah aku membuat kontrak untuk menjadi asisten atau semacamnya? Ah, mungkin, stempel...”

“Terlalu cepat itu mah. Kalau aku sendiri yang mengatakannya mungkin akan terdengar aneh, tapi segala sesuatu hal selalu ada perintahnya. Kami harus menunggu sampai nanti untuk meyakinkanmu, jadi harap tunggu sebentar.”

 

Di dalam sekolah, ada siswa-siswi, wali mereka, dan siswa-siswi dari sekolah lain. Ada begitu banyak kerumunan yang mondar-mandir, dan tiap-tiap kelasnya memiliki kios yang menjual barang-barang seperti crepes dan takoyaki.

“Sekarang, harus dari mana kita mulai?” tanya Siesta, sambil melihat seseorang yang mengenakan kostum kelinci sedang mengedarkan browsur di koridor.

Layaknya festival biasa, browsur itu mencantumkan kios dan juga wahana seperti planetarium atau rumah hantu. Khususnya rumah hantu, itu terlihat seperti suatu wahana besar yang menggunakan lantai gedung sekolah yang ditinggalkan, sesuatu yang layak untuk dinantikan.

“Yang ini kayaknya suatu keharusan.”

“Ya, tapi perlu bagi kita untuk memeriksa jadwal kita.”

Menurut browsur tersebut, ada jeda lima belas menit setelah setiap jam. Mungkin itu agar dapat memberikan waktu istirahat yang cukup bagi staf yang terlibat di dalamnya.

“Jadi, kalau bukan jam operasional, mereka tidak akan buka?”

Menatap si kostum kelinci itu, Siesta menyatakan pernyataan yang sudah jelas ini. Si kostum kelinci memiringkan kepalanya secara berlebihan, memberikan tampang yang menyatakan ‘Bukankah itu sudah jelas?’. Dia jelas terlihat profesional, jadi dia diam saja, mencoba untuk tetap memainkan perannya. Yah, kesan itu akan hilang ketika yang dia kenakan di bawah kostumnya adalah sepatu lari, mungkin itu demi kenyamanan untuk bergerak...

“Oi Siesta. Di situ tertulis. Istirahat 15 menit.”

“Tapi aku lagi mikirin jalan yang paling tepat sekarang.”

“Sekarang juga?”

“Tampaknya kita tidak bisa mengunjungi gedung sekolah lama selama waktu yang tertera di browsur ini.”

Begitu ya, sepertinya Siesta punya tempat lain yang ingin dia kunjungi dalam jadwalnya yang sudah direncanakan.

“Sekarang, bagaimana kalau kita mengisi perut dulu?”

“Apa itu tujuanmu?”

“Tantangan kontes makan selama satu jam, atau semacamnya?”

“Di festival budaya SMP mana ada yang kayak begituan...”

Kalau begitu, mengatakan itu, Siesta tersenyum sebelum dia melangkah,

“Ini memang bukan bagian dari jadwal, tapi kumohon, ayo lakukan.”

Lalu dia membuat permintaan yang tidak masuk akal ini kepada siswa yang mengenakan setelan itu.

“Ah, toko crepes.”

Siesta kemudian mengalihkan perhatiannya dan menunjuk ke toko di depannya, berjalan mendekatinya.

“Hei Siesta, selain aku, kau tidak boleh sampai bersikap tidak masuk akal kepada orang lain.”

Aku menghela nafas saat memberikan crepes, kemudian aku membeli crepes pisang dari toko itu.

“......? Padahal aku tidak mengatakan apa-apa loh, tapi kau membelikannya, ya.”

Dengan raut bingung, Siesta menatapku, tapi saat aku memberinya crepes, dia mulai mengunyahnya dengan mulut kecilnya.

“Memangnya kau tidak marah karena sebelumnya aku seenaknya memesan pizza? Sekarang kenapa kau tiba-tiba begini?”

“Dengar ya, situasi itu selalu berubah-ubah.”

“Eh, apa kau mengalami perubahan suasana hati dalam waktu sesingkat itu?”

Aaah, jadi aku memang harus menjelaskannya dengan benar, ya? Oke.

Seraya Siesta menunjukkan ekspresi tidak percaya, aku berkata—

 

“Kupikir festival budaya jauh lebih penting daripada Toilet Terikat Hanako-san yang mungkin saja tidak ada.”

 

Misteri horor? Apa itu, itu sama sekali tidak trendi. Apa yang lagi trendi sekarang adalah—komedi romantis masa muda.

Itulah yang kukatakan dengan tampang paling serius yang pernah kutunjukkan dalam hidupku.

“Haaa, mana mungkin kita berdua berpacaran, jadi aku tidak bisa mengatakan apakah ini bisa diringkas sebagai sesuatu seperti komedi romantis.”

Tapi kenapa Siesta, orang yang memulai semua ini, bereaksi begitu santai dibandingkan denganku yang sangat gelisah...?

“Hm?”

“Hm?”

Kini kami berada di tengah-tengah kerumunan, tapi aku merasa adanya suatu keheningan di sekitar kami. Kemudian kami saling bertukar pandang, dan memiringkan kepala kami.

Hahaha, begitu ya. Aku mengerti sekarang.

“Eh, apa? Pikirmu hanya karena ini adalah kencan, aku adalah pacarmu gitu?”

Tidak, sama sekali tidak? Bahkan semilimeter pun tidak ada gagasan seperti itu?

“Kau ini tolol apa?”

“...Bisakah kita menganggap bahwa apa yang terjadi sebelumnya tidak pernah terjadi?”

Jika beberapa tahun kemudian aku mengingat adegan ini, rasanya pasti akan memalukan. Aku baru kelas 2 SMP, jadi mohon murah hatilah padaku... tidak, sebenarnya, akunya saja yang terlalu banyak berpikir.

“Tapi yah, sekarang kau jadi lebih mudah bergaul.” Siesta menghabiskan sisa crepes di tangannya, dan kemudian melanjutkan. “Selanjutnya, ayo kita beli takoyaki.”

Dia menggengam tangan kananku, dan membawaku melewati kerumunan.

 

“...Jarak ini bisa menimbulkan begitu banyak kesalahpahaman.”

“Apa maksudmu?”

“Maksudku, jangan nyelonong masuk saat orang lain sedang mandi.”

“Satu-satunya momen aku akan melakukannya adalah saat kau mandi.”

“Jangan beri aku pandangan ‘Aku hanya akan menunjukkan wajah seperti ini kepadamu’ untuk menggertakku.”



2 Comments

  1. Kalo dilihat dari illust volume 2 keknya bakal full jelasin Siesta dan diakhir keknya momen Siesta mati kwwkwkk

    ReplyDelete
  2. Kalau diliat liat dari sini, animenya kayaknya pake alur mundur sih

    ReplyDelete
Previous Post Next Post