Tantei wa Mou Shindeiru Volume 2 - Bab 1 Bagian 2

Bab 1 Bagian 2
Pizza, cola, drama asing, dan sesekali, Toilet Terikat Hanako-san


Siapapun pasti pernah mendengar cerita tentang tujuh misteri sekolah tertentu, Toilet Terikat Hanako-san.
 
Intinya sih—pada pukul 3 pagi, di lantai tiga, toilet wanita ketiga, jika seseorang mengetuknya tiga kali, seorang gadis dengan rok bercak merah akan muncul untuk menyeret seseorang masuk ke dalam toilet... itulah yang mereka rumorkan. Biasanya sih, itu adalah urban legend yang sama sekali tidak perlu diberi perhatian khusus. Tapi─

“Apa sekolahmu sedikit berbeda?”

Aku keluar dari kamar mandi, pergi ke ruang tamu, dan mendapati Siesta, dengan mulutnya yang dipenuhi pizza, sedang duduk di kamar bergaya Jepang yang berukuran enam tatami. Meskipun aku mengajukan pertanyaan kepadanya, dia menatap layar TV kecil yang memainkan drama asing. Aku tidak tahu kapan dia berganti pakaian ke kaos milikku, tapi dia benar-benar terlihat santai.

“Jangan menonton drama asing di rumah kenalan laki-lakimu dan memakai bajunya sambil makan pizza. Apa, memangya kita ini kekasih yang berkohabitasi atau semacamnya?”

“Eh, memangya tidak begitu ya?”

“Tidak, maka dari itu aku mengeluh di sini.” meletakkan handuk di kepalaku, aku duduk di dekat Siesta, dan kemudian meraih pizza.

“Ah, yang ada kejunya itu punyaku. Jangan makan yang itu.”

“Itu perkataan yang tidak masuk akal dari orang pertama yang sudah memilih duluan, kan?”

“Kau makan yang ada ada acarnya saja.”

“Jangan memberikan sisanya kepadaku. Minta maaflah kepada semua pecinta acar di negara ini.”

“Sekalipun kau bilang begitu, kupikit itu bagus kalau kau memakannya. Teruslah bekerja keras.”

“Apa maksudmu, 'teruslah bekerja keras'? Jangan memaksaku untuk tumbuh dewasa atau semacamnya. Lagipula, apa-apaan dengan tatapan mata itu?”

Uh oh, kami sama sekali tidak bisa melakukan pembicaran. Selain itu, apa yang harusnya kami bicarakan di sini?

“Tentang Hanako, kan?”

“Ahh, ya..., tapi tambahkanlah 'san' di belakangnya. Jangan menyapa Hanako-san layaknya makhluk itu adalah teman.”

“Terus? Apa Hanako-san di SMP-mu itu bertambah banyak?” Menanyakan itu, Siesta meraih pizza lagi.
 
“Ya. Mereka bilang bahwa siswa yang bertemu dengan Hanako-san akhirnya menjadi Hanako-san itu sendiri.”

“Hmm, jadi itu mirip seperti orang yang digigit zombie kemudian menjadi zombie itu sendiri, ya.”

“Ya, pada dasarnya rumor langsung dari film B.”

“Tapi kalau itu cuman sekedar rumor, kau tidak akan mengangkat pembicaraan ini sekarang, kan?”

...Yah, begitulah. Mau tak mau aku harus mengakuinya.

“Saat ini, jumlah siswa yang bergabung dalam klub lintasan yang berhenti menghadiri sekolah meningkat pesat. Para guru tidak mau memberikan rincian tentang itu..., tapi, beberapa siswa juga tidak ada di rumahnya.”

Di kelasku ada satu orang yang seperti itu, dan ada sekitaran dua puluh siswa yang absen dari kelas. Beberapa dari mereka dianggap sebagai anak-anak yang melarikan diri, dan tampaknya polisi telah dikerahkan.

“Apa di klub lintasan itu terdapat perpecahan?”

“Entahlah? Tapi dari yang kudengar, tidak ada masalah di antara para anggotanya.”

“Begitu ya..., tampaknya ada alasan eksternal mengenai ini. Aku menduga kalau ada reaksi berantai besar yang disebabkan oleh suatu organisasi.”

Sambil mengunyah pizzanya, Siesta menunjukkan ekspresi yang sangat serius.

“Tapi di sekolahmu itu, rumor mengatakan kalau Hanako-san lah yang menjadi alasan dari kejadian tersebut, kan? Mereka berasumsi bahwa semua siswa itu diseret oleh Hanako-san.”

“Ya, selain itu, ada peningkatan besar juga dalam jumlah siswa yang kabur dari rumah. Karenanya, ada dugaan apakah ada peningkatan pada Hanako-san.”

Itulah alasan rumor bahwa 'ada banyak kemunculan Hanako-san' di sekolah.

“Apa kau mempercayai rumor itu?”

“Tidak “

Aku mendengus, kemudian meminum cola untuk menelan pizza dengan acar.

“Kau sungguh terlihat serba tahu, Anak SMP.”

“Jangan membuatnya terdengar sangat memalukan bagiku.”

Kayaknya seumur hidupku pun, aku tidak akan bisa menang dalam percakapan melawan detektif ini.

“...Tapi tetap saja, tidak menghadiri sekolah dan menghilang, ya?”

Sambil menatap TV, Siesta tiba-tiba mengatakan itu. Di sana ditayangkan drama asing yang berlatar di sekolah, dan dalam adegan ini, semua teman sekelas datang ke tempat seorang siswa yang tidak menghadiri sekolah, dengan maksud untuk mengajaknya kembali bersekolah. Tapi, bukankah itu malah akan berdampak sebaliknya pada anak itu?

“Kau orang yang baik.” Siesta berbalik, dan mengatakan itu padaku.

“Meskipun aku akan meminta ganti uang pizza-nya nanti?”

“Maksudku bukan tentang itu.”

Tapi aku juga tidak akan membayar pizza itu, Siesta menimpali.

Tidak, kau harus bayar.

“Tentunya, aku yakin kalau para siswa yang tidak lagi datang ke sekolah itu bukanlah temanmu, kan? Tapi kau sangat mengkhawatirkan mereka, dan ingin menyelesaikan masalah ini juga.”

“Jangan membuatnya terdengar seperti sudah bisa dibayangkan dariku untuk tidak memiliki teman.”

“Mungkin itu karena 'kecenderungan terlibat dalam masalah’ yang kau bicarakan. Pada saat yang sama, kau memang orang yang memiliki 'sifat menolong' orang lain.”

...Aku tidak menginginkan DNA ini. Tapi yah,

“Sebenarnya, selama aku ada dan melihatnya, aku ingin melindungi kehidupan sehariku-hari yang damai.”

Lagipula, ini adalah kehidupan yang selalu kumiliki, aku melihat sekeliling rumah, dan tersenyum masam.

“Tanpa kusadari, orang tuaku sudah pergi meninggalkanku, jadinya aku pergi ke berbagai rumah dan fasilitas, hidup sampai hari ini, seorang diri. Wajar saja kalau aku menginginkan lingkungan yang damai, biasa, dan stabil, kan?”

Yah, mengingat kecenderungan terkutukku ini, aku tahu kalau tidak mungkin aku bisa dengan mudah memenuhi keinginan tersebut. Tapi, tidak dapat disangkal juga bahwa aku ingin menyelesaikan semua masalah sebaik mungkin, berdoa untuk hari-hari biasa yang akan datang.

“Begitu ya, jadi itu—” Tampaknya Siesta memikirkan sesuatu saat dia meletakkan ujung jarinya di dagunya. “Hm, aku mengerti semuanya.”

“Kesannya menakutkan dirimu dapat mengerti segala sesuatunya dari percakapan barusan.”

“Memang benar, kau pasti akan merasa kesepian jika tidak punya keluarga atau teman.”

“Memangnya tadi aku bilang kalau aku tidak punya teman? Bisa tidak sih jangan menyimpulkan sesuatu seenaknya sendiri seperti itu?”

Memang jumlahnya tidak banyak, dan aku tidak ingat kapan terakhir kali aku berbicara dengan teman sekelasku, tapi setidaknya, aku punya teman.

“Ayo kita ke sana pada akhir pekan ini.”

Sieste menunjuk ke layar TV yang menampilkan heroine yang membawa anak lelaki yang membolos ke festival sekolah.

“...Tidak, bagaimana dengan Hanako-san-nya?”



2 Comments

  1. at 3am, on the third floor, the third ladies' toilet, if someone knocked three times, a girl in a red spotted skirt would appear to drag someone into the toilet

    ReplyDelete
Previous Post Next Post