Tantei wa Mou, Shindeiru Volume 3 - Bab 1 Bagian 5

Bab 1 Bagian 5
Seribu Malam Mereka Berdua


“Ini tempatnya.”

Aku menuntun Natsunagi melewati pagar larangan masuk den menaiki tangga pendek. Setelahnya, kami menemui pintu pesi yang dikunci dengan gembok.

“Apa kau punya kuncinya, Kimizuka?”

“Aku nggak punya, tapi tidak ada kunci yang tidak bisa kubobol.”

“Kedengarannya keren.”

“Aku terlalu sering diculik dan dikurung sampai-sampai aku secara naluriah bisa memiliki keterampilan ini.”

“Biar kuulangi kata-kataku, kedengarannya mengerikan.”

“Lihat, itu terbuka.”

Aku butuh beberapa detik untuk memutar kunci dengan menggunakan pin khususku, lalu, dibarengi dengan suara yang tajam, gembok tersebut akhirnya terbuka.

Setelah mendorong pintu, aku melangkah keluar—sontak saja, angin langsung datang membelaiku.

“Wow.”

Orang yang berada di belakangku dan merasa kagum adalah Natsunagi.

Tempat yang kami datangi ini adalah—atap sekolah.

Matahari sudah terbenam, dan kini bintang-bintang gemerlapan di langit yang tak berawan.

“Bagaiamana? Ini tempat yang bagus sekalipun hanya didatangi seorang diri saja, kan? Makan siang pun juga akan terasa enak kalau disantap di sini.”

Bersandar di pagar yang cukup tinggi, aku kemudian duduk.

“Tidak, kau tidak mesti sendirian untuk melakukan itu.”

Dengan tampillan yang sedikit tercengang, Natsunagi ikut duduk di sampingku.

“Bagaimana kalau kau menjalin beberapa pertemanan?”

“Yah, bukannya aku tidak mau punya teman. Akunya saja yang tidak bisa memiliki teman.”

“Selamat ya, karena bisa mengucapkan satu kalimat yang sama sekali tidak ingin dikatakan oleh siapa pun.”

Aku menerima penghargaan terburuk.

“Nah, kau bisa loh menganggapku sebagai salah seorang di antara teman-temanmu, Kimizuka.”

Mengatakan itu, Natsunagi menegakkan kakinya, lalu menepuk-nepuk roknya yang menutupi setengah pahanya.

“…Dan yah, sebenarnya tidak mesti tentang persahabatan juga sih. Lagian kan, ada pilihan lain mengenai hubungan itu.”

“Seperti bawahan?”

“Hei Kimizuka, apa sebenarnya hubunganmu dengan Siesta-san…?”

Entah kenapa, topik pembicaraan kami jadi berubah drastis..., dan untuk beberapa alasan, bahu Natsunagi tampak kuyu.

“Tapi yah, rasanya menyenangkan bukan memiliki teman yang bisa diajak ngobrol tanpa harus menahan diri?”

Dan dia juga sangat imut, kata Natsunagi, saat dia mengarahkan jari telunjuknya ke pipinya.

“Entahlah, lagipula aku tidak pernah memiliki teman.”

“Kau sungguh keras kepala.”

Tercengang dengan tanggapanku, Natsunagi mencibir bibirnya.

“Aku tidak menyangka dirimu bisa rukun dengan Siesta-san seperti itu.”

“…Aku tidak ingat kalau kami hidup rukun.”

Aku teringat akan tiga tahun yang telah aku dan Siesta habiskan bersama-sama.

“Ini lebih seperti setiap tiga hari sekali, kami akan berdebat.”

“Terus, kau yang akan selalu meminta maaf lebih dulu?”

“Pada dasarnya sih, iya. Cuman kadang-kadang, aku akan menjadi terlalu keras kepala dan mengabaikannya selama seminggu atau lebih.”

“Terus?”

“Dia menjadi agak gelisah.”

“Siesta-san imut banget ya.”

“Dan setelah beberapa waktu, ketika aku berbicara dengannya lagi, tiba-tiba ekspresi wajahnya jadi senang. Dan kemudian...,”

“Dia akan menunjukkan ekspresi kesal dan mengatakan, ‘Kau ini tolol apa?’”

“Oh, kau benar. Selamat, kau memperoleh sertifikasi tingkat 1 dari Ujian Siesta.”

Seperti itu, kami bersenda gurau dan tertawa kecil.

“Tapi, karena kami sering sekali berdebat, suatu hari, kami menerapkan suatu aturan.”

“Maksudmu aturan yang akan membuat kalian jadi tidak berdebat lagi?”

“Ya. Aturannya adalah sehari setelah kami berdebat, kami berdua harus pergi ke taman hiburan bersama-sama.”

“A-apa coba artinya itu…?”

“Yah, begini..., kami mesti pergi ke taman hiburan di saat suasana di antara kami terasa canggung. Bukankah itu akan terasa seperti di neraka?”

“Ah—dan karena kalian tidak menyukai suasana itu, maka secara alami jumlah argumen akan berkurang, kan? Apa itu efektif?”

“Iya, dan berkat itu juga, kami jadi memiliki kebiasaan ngopi bersama setiap tiga hari sekali.”

“Itu benar-benar khas lelucon Amerika yang lucu.”

Natsunagi sama sekali terlihat tidak senang dan mengangkat tangannya ke udara. Lelucon Amerika memang lucu.

“Ngomong-ngomong...,”

Dan kali ini, saat dia menatapku dengan tampilan yang ragu-ragu....

“Kau kelihatannya bahagia saat sedang membicarakan Siesta-san, Kimizuka?”

Dia menanyakan pertanyaan yang seolah-olah menyiratkan sesuatu,

“…Sama sekali tidak. Dan kalau boleh jujur, aku tidak benar-benar ingin membicarakan perihal Siesta, dan saat ini, aku tidak tertarik padanya.”

“Tidak, siapapun tidak akan mempercayai itu.”

Dengan tampilan yang serius, Natsunagi mulai melambaikan tangannya. Astaga, kau bercanda, kan? Itu tidak masuk akal.

“Tapi...,”

Kemudian, Natsunagi melihat ke samping, dan berkata...,

 

“Seperti yang kupikirkan..., Kimizuka, kau akan lebih bahagia jika Siesta-san ada di sini.”

 

Akhirnya, Natsunagi menyebutkan inti dari permasalahan yang sepanjang waktu ini tanpa disadari telah kami berdua hindari.

Wajah sampingnya terlihat kecewa.

“Sesuatu seperti itu tidak perlu kau pikirkan.”

Menggunakan kata-kata lugas seperti itu, aku menepis semua kalimat yang mungkin akan Natsunagi ucapkan.

“Lagipula, bahkan sebelum aku bertemu dengan Siesta, aku memang sendirian.”

Karenanya, Natsunagi tidak bersalah. Siapapun tidak akan akan berpikir seperti itu. Natsunagi mengambil segalanya. Pokoknya, aku tidak akan membiarkan siapa pun mengatakan itu.

“Kau orang yang baik, Kimizuka.”

Kudengar, Natsunagi menggumamkan itu.

Lalu, sebelum aku menyadarinya, dia sudah membenamkan wajahnya ke lututnya.

“Tapi tetap saja, ini percuma. Entah seberapa sering aku berbicara dengan teman-temanku, entah seberapa besar kau mencoba menyemangatiku...., pemandangan itu tidak kunjung hilang dari benakku. Akulah, akulah orang yang mengambil jantung Siesta-san─”

Pada titik ini, dia berhenti berbicara.

Tidak ada orang lain selain kami di atap ini, dan angin malam yang sejuk mulai berdesir.

Tangan Natsunagi telah mengambil nyawa Siesta.

Fakta ini tidak dapat dia hindari ataupun sembunyikan. Meski kenyataannya, pelaku sebenarnya adalah kepribadian lainnya…, dan ini merupakan hasi dari apa yang memang diinginkan oleh Siesta. Tatpi, meski demikian, itu tidaklah bisa menghilangkan rasa bersalah yang dimiliki Natsunagi, atau itu adalah apa yang Natsunagi rasakan sendiri.

“Selain itu, bukan hanya Siesta-san. Dulu, saat di London, aku mengambil nyawa orang-orang tak berdosa lainnya—”

Itu merupakan kutukan yang selamanya mengikat Natsunagi pada rasa bersalahnya. Meskipun orang lain menghiburnya, Natsunagi tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri untuk ini.

Dan dalam situasi ini, satu-satunya hal yang dapat kulakukan adalah...,

“Gelapnya.”

Aku membelaikan jari telunjukku di punggung Natsunagi yang saat ini mengenakan seragam pelaut.

“Hya!”

Sedikit jeritan terlontar dari mulut Natsunagi, dan dengan panik, dia menutupi mulutnya dengan tangan kanannya.

“Ap-apapapaapapapapapaapapapapap!”

Setelahnya, meskipun di sini gelap, aku dengan jelas bisa mengetahui bahwa wajah Natsunagi menjadi benar-benar merah. Bibirnya bergetar, terbuka dan tertup, lalu dia memelototiku.

“Haa, dengarkkan aku Natsunagi.”

“Bukankah harusnya sekarang adalah giliranku jadi marah?”

“Eh, bukannya kau memiliki fetish yang seperti itu?”

“Ma-ma-ma-ma-ma-ma-ma-matilah dua kali!”

“Sip, kelihatannya kau sudah kembali jadi dirimu yang biasanya.”

“Jangan menggunakan tic verbal* untuk menentukan suasana hati seseorang!”

Mengatakan itu, Natsunagi mulai memukuliku dari samping. Ya, dia sudah baikan.

“Dulu...,”

Mengingat kembali akan ingatanku setahun lalu yang baru saja terungkap kemarin, aku mulai berbicara,

“Dulu aku sesuram dirimu, merasa sangat putus asa..., dan saat itulah, Siesta langsung memukul punggungku.”

“…Itu.”

Natsunagi berhenti memukulku.

Ya. Setahun yang lalu saat Alicia…, atau lebih tepatnya, Natsunagi diculik oleh Chameleon dan dibawa ke tempat persembunyian 《SPES》. Aku jatuh dalam keputusasaan, dan terhadapku yang seperti itu, Siesta memukul punggungku dengan keras. Dia membuatku sekali lagi tersadar akan apa yang harus kulakukan.

“Karenanya, aku akan terus memukul punggungmu, dan terus memegang tanganmu.”

“…Tapi barusan kau menggelitik punggungku dengan jarimu, kan?”

…Yah, paling tidak, itu kurang lebih sama.

“Untuk sekarang, jadilah semuram yang kau inginkan.”

Perhalan-lahan, aku membungkuk ke belakang dan berbaring.

Apa yang memasuki pandanganku hanyalah butiran-butiran bintang yang bersinar.

“Kita bisa memesan makanan dan makan semau kita, atau kita juga bisa melihat beberapa orang yang saling bercumbu dan meneriaki mereka keras-keras. Sesekali, kau bisa menghina dan mengutuk hal-hal tidak masuk akal yang tidak berjalan sesuai rencana, atau kalau kau ingin melampiaskan depresimu dengan berkaraoke, aku akan menemanimu untuk satu malam. Jika setelah itu, kau masih tidak bisa menghilangkan perasaan bersalahmu, aku akan menanggung setengahnya. Dirimu bukanlah satu-satunya yang bersalah. Saat itu aku juga tidak bisa menyelamatkan Siesta. Karenanya, setidaknya..., setidaknya, aku akan menanggung sedikit dari rasa sakit yang kau rasakan, Natsunagi.”

“Kimizuka……”

Natsunagi menatapku dengan tercengang.

…Tunggu, bukannya barusan aku terlalu kerena? Kemudian...,

“Yah, kau tahu, jika aku berkata begitu, kurasa aku tidak memiliki tempat untuk melarikan diri...”

Aku ragu-ragu apakah aku harus mengucapkan kata-kata ini, tapi segera, aku mengambil keputusan,

“…Aku sudah terbiasa dianiaya oleh gadis-gadis.”

Jadi begitulah, meskipun aku harus menanggung rasa sakit yang yang dirasakan Natsunagi, itu sama sekali tidak masalah bagiku.

“…Pfft.”

Saat itu, aku mendengar alunan angin yang berhembus.

“Haha, ahahahaha!”

“! Apa itu lucu!?”

“Eh, yah, lagian, sejak kapan ini menjadi pesta pengungkapan fetish?”

“…! Aku! Tadi! Mencoba! Menghiburmu!”

Grrr, kok bisa sih malah jadi seperti ini? Sungguh, ini tidak masuk akal….

“Caramu menyemangatiku itu sama saja dengan dirimu mengakui bahwa kau orang yang masokis..., itu mengerikan, ternyata kau jauh lebih buruk dari yang kupikirkan, Kimizuka.”

“Hei…! Jangan tertawa! Dari pada itu, kau sendiri juga sama, kan!?”

“Tidak, definisiku perihal kata itu jelas berbeda darimu, Kimizuka.”

“! Haa, harusnya tadi aku tidak mengatakan apa-apa…, tidak, bukan begitu. Barusan itu aku cuman ingin menyemangatimu, jadi untuk bisa melakukannya, aku ingin membuat lelucon. Seriusan deh, aku benar-benar tidak memiliki fetish seperti itu…”

Segera, aku duduk tegak dan merangkai kata-kataku saat aku menyangkalnya,

 

“Sungguh, kau seperti orang tolol.”

 

Buk, Natsunagi membenamkan wajahnya di dadaku.

 

“Seperti orang tolol, ya.”

Aku mengatakan itu, dan tersenyum…, dan sebelum aku menyadarinya, Natsunagi menangis.

Dia menggigit bibirnya dan merintih; air matanya membasahi bajuku.

“Jadi, apa yang kau rasakan?”

Aku bertanya seperti itu, tapi pada dasaranya aku sudah sangat mengetahuinya.

Dia selalu marah, bahagia, tersenyum, menangis.

Itulah sifat sebenarnya dari Nagisa Natsunagi—seorang dengan emosi yang sangat kuat.

“Kau telah melakukan yang terbaik untuk menahannya.”

Melihat ke arah bintang-bintang yang jauh, aku menepuk kepala yang bersandar di dadaku. Aku menepuk kepala Natsunagi, yang rambutnya mengenakan pita merah yang diberikan oleh Siesta.

“……uu, ......uu!”

Di malam hari ini, hujan emosi yang deras turun ke atas atap.

Ngomong-ngomong, malam ini terdapat langit tak berawaran berhiaskan bintang-bintang yang luar biasa indah,



6 Comments

Previous Post Next Post