Seiken Gakuin no Maken Tsukai Volume 3 - Bab 4

Bab 4
Lubang Yang Bergelora


“—Leo... Leonis...”

Suara itu dengan lembut mengalir masuk ke telinga seorang anak lelaki. Suara itu adalah panggilan yang sebagian besar manusia akan hindari, karena mereka percaya bahwa itu adalah undangan untuk masuk ke dalam kegelapan. Akan tetapi, bagi anak lelaki itu, suara yang ia dengar memiliki kesan yang damai dan amat menenangkan—suatu suara yang akan menyentak hatinya setiap kali dia mendengarkannya.

Orang yang memanggilnya, dia memiliki rambut hitam halus layaknya kegelapan malam telah mencair dan berkelok-kelok. Matanya yang berkilauan tampak seperti cahaya bintang jatuh. Dia adalah Roselia Ishtaris, Dewi Pemberontak, sosok yang memimpin delapan Penguasa Kegelapan dalam perang melawan Kekuatan Cahaya.

Sesekali, Roselia akan membuat anak lelaki itu tidur di pangkuannya. Dan sebagai pengganti cerita pengantar tidur untuk anak itu, Roselia akan menceritakan kisah-kisah tentang waktunya di luar bintang-bintang, tentang mitos-mitos kuno dan hal-hal yang gadis itu lihat di sana.

“Leo. Mungkin aku tidak memiliki banyak waktu lagi untuk bisa terus berada di sisimu.”

“...Roselia?” Anak lelaki itu menanggapi dengan bingung. Dia bertanya-tanya, mengapa gadis itu mengatakan sesuatu seperti itu?

“Aku tidak mau itu terjadi... Jika itu demi dirimu, maka aku akan...”

“Maafkan aku. Tapi inilah takdir yang kumiliki... Tidak. Ini merupakan panggilanku.” Dengan lembut, tangan putih Roselia menutupi mata anak itu. “Sebentar lagi, aku akan pergi. Tapi di masa depan yang akan datang, seribu tahun kemudian, aku akan terlahir kembali.”

“...Masa depan?”

“Iya. Saat masa itu telah tiba, bisakah kau berjanji untuk datang mencariku? Bersumpah bahwa bentuk apa pun yang akan kumiliki di masa itu, engkau akan tetap mencariku.”

“Tentu saja. Aku pasti akan mencarimu. Entah wujud apapun yang kau miliki saat itu.”

---

“...eo... Leo...”

“...Mm...”

Leonis merasakan seseorang sedang mengguncang-guncang tubuhnya. Saat dia mengusap-ngusap matanya yang masih tampak buram, Leonis akhirnya terbangun dari tidurnya.

“Orang yang bodoh... Berani-beraninya kau... menganggu tidurnya Penguasa Kegelapan...”

“Leo?”

“Kau akan membayar harga yang mahal untuk itu... yaitu kematian yang amat menyaktikan...”

“Leo, apa kau sedang mengigau?”

Telapak tangan yang dingin menyentuh pipi anak itu.

“...?!”

Sentuhan itu saja sudah cukup untuk membuat Leonis kembali dari dunia mimpi. “...S-Selia?!” serunya, dan kemudian langsung duduk tegak.

Terhadap Leonis yang bertingkah seperti itu, Riselia menatap anak itu dengan ekspresi bingung. Mata biru es gadis itu terlihat penuh perhatian. Tampaknya, pada saat tertentu, Leonis telah ditidurkan di pangkuannya.

“Maaf karena membangunkanmu. Tapi tadi kau menggeliat saat tertidur.”

“Setelah beberapa saat kau tertidur, aku menyuruh Nona Selia untuk bertukar tempat denganku,” jelas Regina, berusaha menahan diri untuk menguap. “Tapi ngomong-ngomong, kau terlihat sangat imut saat kau sedang tidur, Nak.”

“J-jangan menggodaku...,” Leonis menggerutu, merasa malu saat Regina mencolek-colek pipinya dengan gembira.

“Kau bahkan mengatakan sesuatu tentang mengganggu tidur Penguasa Kegelapan atau semacamnya...”

“Aku, erm... Aku cuman mengigau. Jadi kau tidak usah memikirkan tentang itu!” dengan panik, Leonis melontarkan upaya untuk menghindari topik tersebut.

Tampaknya, dia telah mengatakan sesuatu yang cukup berbahaya saat dirinya tidak sadarkan diri. Itulah salah satu kecerobohan yang dia miliki.

Aku mesti berhati-hati dalam berbicara ketika aku sedang tidur. Berpikir demikian, Leonis kemudian mengalihkan pandangannya ke luar jendela. “Erm, sudah berapa lama aku tertidur?”

Langit tertutup awan kelabu, dan matahari mulai terbit.

“Sekitar delapan jam,” jawab Riselia setelah memeriksa jam.

“Selama itu...?”

“Kurasa itu berkat pembersihan telinga dariku yang terasa sangat menyenangkan. Benar begitu ‘kan, Nak?”

“T-Tidur di pangkuanku juga terasa menyenangkan! Ya ‘kan, Leo?!”

“J-jangan menyeretku ke dalam perdebatan ini lagi!”

“Hmm, sektiar sepuluh menit lagi kita akan mendarat di bandara ketiga Assault Garden Ketiga,” seru Elfiné. “Itulah area di mana sinyal tanda bahaya berasal.”

“Baiklah. Sakuya, bangunlah,” mengatakan itu, Riselia mengguncang satu-satunya anggota timnya yang masih tertidur.

“Mm... Kakak...?”

“Maaf, tapi aku bukan kakakmu.” Riselia mengangkat penutup mata Sakuya, memaksa gadis muda itu untuk berkedip karena cahaya terang.

Dan kemudian, saat pendorong sayap utama pesawat menyemburkan api biru, pesawat tempur taktis itu mulai mendarat. Saat itu, Leonis mengintip ke luar jendela. Dan di bawah lapisan kabut tebal, terdapat struktur buatan besar yang sedang berlayar mengarungi laut.

Jadi itu Assault Garden Ketiga.

Strukturnya sangat besar sehingga akan terasa sulit untuk memahami ukuran penuh dari konstruksinya. Area yang berada di tengah-tengah ditutupi oleh lapisan kabut laut yang tebal, sehingga sangat sulit untuk melihat apa yang ada di baliknya. Pesawat tempur kemudian mengaktifkan pendorong penurunannya, dan memulai urutan pendaratannya.

---

Assault Garden Ketiga merupakan salah satu benteng terakhir umat manusia serta benteng anti-Void. Pulau buatan yang cukup besar itu dibagi menjadi tiga area yang saling terhubung. Dalam hal skala saja, Assault Garden Ketiga hanya berukuran setengah dari Assault Garden Ketujuh, tapi itu karena yang Ketujuh ini didirkan setelah yang Ketiga. Sebelum terjadinya Stampede, Assault Garden Ketiga telah menjadi rumah bagi lebih dari lima ratus ribu populasi.

Area tengahnya disebut sebagai Central Garden. Area itu terhubung ke area perumahan yang luas serta pelabuhan militer tempat peleton ke-18 mendarat. Di sana, reruntuhan bangunan yang dihancurkan oleh Void mengelilingi mereka.

Karena di bandara itu ada kabut tebal yang menggantung, jarak pandang mereka menjadi buruk. Menyentuh puing-puing bangunan, Leonis meregangkan tubuhnya yang terasa kaku. Miasma yang menyesakkan meliputi segalanya.

Tempat ini memiliki aura kematian yang kental. Ini tidak seperti Necrozoa...

Saat itu matahari sudah terbit, akan tetapi langitnya mendung, yang membuat suasana di tempat itu terkesan suram dan melankolis. Aroma-aroma kematian yang tak terhitung jumlahnya masih tercium di udara. Jika ini adalah dunia seribu tahun yang lalu, maka Assault Garden ini akan menjadi tempat di mana para undead akan terbentuk secara alami dan berkeliaran dengan bebas.

Dari belakangnya, Leonis mendengar suara serangkaian langkah kaki. Saat dia berbalik ke belakang, dia melihat Riselia yang berekspresi muram sedang menatapi bangunan hancur. Melihat itu, Leonis hanya berdiri diam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Kemudian, Regina, Sakuya, dan Elfiné turun dari pesawat dan mengunci pintu masuknya.

“Miasma di dalam kota jauh lebih tebal, jadi kita tidak bisa membawa pesawat ke sana.”

Tidak diragukan lagi kalau uap berbahaya akan membuang instrumen magis yang tepat yang digunakan pesawat tempur untuk navigasi. Selain itu, kabut yang menggantung juga membuat pemandangan biasa tidak bisa diandalkan, yang artinya, menerbangkan pesawat di atas kota akan berisiko untuk jatuh.

“Riselia...,” Sakuya memanggil Riselia, mungkin ingin bertanya pada si pemimpin peleton mengenai tindakan mereka selanjutnya.

Mendengar namanya dipanggil, Riselia menggelengkan kepalanya, seolah-olah untuk menghilangkan sentimentalitas yang menguasainya.

“Ayo kita mulai penyelidikan awal di daerah perumahan kota.”

Leonis dan Riselia akan memeriksa bagian perumahan di bagian barat, sementara Regina, Sakuya, dan Elfiné akan memeriksa di timur. Nah, karena Riselia dan Regina akrab dengan kota itu, jadi salah satu dari mereka masuk ke dua kelompok yang dibentuk. Riselia memutuskan untuk pergi bersama Leonis, mungkin karena dia khawatir kalau kekuatan anak itu akan terungkap kalau-kalau terjadi pertarungan.

Dia cerdas. Keputusan bijak yang Riselia ambil membuat Leonis merasa lebih bangga terhadap pengikutnya itu.

“Bawa ini, Selia,” kata Elfiné, saat dia memberikan salah satu bola Mata Penyihir pada Riselia.

Kaerena terminal komunikasi biasa tidak akan bisa berfungsi saat berada di dalam miasma, jadi mereka membutuhkan Pedang Sucinya Elfiné untuk melakukan komunikasi jarak jauh.

“Jangan lupa untuk mengirimkan pembaruan tiap-tiap jamnya, dan ingatlah untuk selalu berhati-hati,” seru Riselia, mengingatkan rekan-rekannya.

“Aku akan meninggalkan Nona Selia dalam perawatanmu, Nak,” bisik Regina ke telinga Leonis sebelum mereka berpisah.

“Kami akan baik-baik saja,” jawab Leonis dengan anggukan percaya diri. Kemudian, anak itu mengarahkan pesan telepati ke dalam bayangannya.

“Shary.”

“Ya, paduka?”

Bayangan Leonis sedikit menggeliat saat sang pembunuh menjawabnya.

“Kawal mereka bertiga.”

“Tapi bagaimana dengan menjaga anda, paduka?” tanya Shary, dengan nada yang terkesan cemas.

Mengingat wujud Leonis saat ini, dia tidak memiliki banyak kekuatan sihir, dan kekuatan fisiknya juga hampir nol, jadi kecemasan yang Shary miliki itu bisa dimengerti.

“Itu tidak perlu. Memangnya siapa dirimu sampai merasa perlu menjagaku?”

“Tapi...”

“Aku tidak akan mengulangi kata-kataku.” dengan tegas, Leonis memelototi bayangannya.

“...Maafkan saya, paduka.” Itu terlihat seolah bayangannya itu pergi dalam ketakutan.

Shary adalah pelayan yang tolol, namun Leonis percaya pada skilnya sebagai seorang pembunuh. Selain itu, pikirannya juga bisa tenang jika dia meninggalkan Regina dan yang lainnya dalam penjagaan gadis itu.

Sang Penguasa Kegelapan sepertiku melindungi manusia, ya... Leonis tertawa terbahak-bahak. Yah, lagipula mereka adalah warga kerajaanku. Bahkan saat dia memikirkan itu, beberapa bagian dari diri Leonis bertanya-tanya, apakah alasannya memang hanya karena itu?

---

Angin bersiul-siul saat berhembus melewati bangunan-bangunan yang setengah hancur. Saat Riselia dan Leonis berjalan di atas tumpukan puing-puing, langkah kaki mereka bergema di sekitar tempat itu.

“Di sinilah Ksatria Crystalia membentuk garis pertahanan terakhir mereka saat melawan Void,” jelas Riselia, saat dia melangkah di depan benteng yang sudah hancur. Dia melihat ke sekeliling, membiarkan rambut peraknya bergoyang-goyang tertiup angin. Di kota yang hancur itu, tidak ada tanda-tanda pergerakan. “Hati-Hati, jalanannya mungkin ambruk.”

“Ya. Ah...!” Leonis kehilangan keseimbangannya saat dia tersandung oleh potongan puing. Melihat itu, Riselia buru-buru menangkap lengannya. “Apa kau baik-baik saja, Leo?” tanya gadis itu.

“..Ya, terima kasih.”

“Jangan terlalu memaksakan dirimu. Kalau kau capek, kita bisa istirahat sebentar.” Riselia berhenti dan mengamati sekelilingnya. “Semuanya benar-benar sudah hilang.”

“...”

Semua jejak-jejak kehidupan telah lenyap. Bahkan tulang-tulang pun tidak ada.

Kalau dipikir-pikir lagi... Void memakan manusia.
                                                                                                    
Saat seseorang dimakan oleh salah satu makhluk itu, mereka akan menghilang tanpa jejak seolah-olah mereka terhapus dari keberadaan.

“Bagaimana dengan bawah tanah? Mungkin di bawah sana ada orang yang selamat.” saran Leonis.

Kalau kota ini sama seperti Assault Garden Ketujuh, maka pasti ada tempat perlindungan bawah tanah.

“Ya. Tempat perlindungan di bawah tanah harusnya memiliki ransum, alat penyaringan air laut, dan generator. Tapi tetap saja, aku masih tidak berpikir kalau ada orang yang masih bisa bertahan hidup di wilayah Void selama enam tahun...”

Riselia dan Leonis melanjutkan lebih jauh ke dalam sisa-sisa tempat kelahiran gadis itu. Setelah berjalan selama sektiaran dua puluh menit, mereka menemukan fasilitas yang sebagian besar masih utuh. Itu adalah kompleks besar yang terdiri dari lapangan atletik dan beberapa bangunan pendek beberapa lantai.

“Ini sekolah,” kata Riselia, dengan suara yang terdengar sedikit bergetar.

“Sekolah? Apa tempat ini seperti Akademi Excalibur yang kita hadiri?” tanya Leonis.

“Tidak. Ini bukanlah tempat untuk melatih Pengguna Pedang Suci. Ini adalah tempat untuk anak-anak biasa...,” jawab Riselia, membuka gerbang luar yang sudah rusak. “Tampaknya bangunannya masih utuh. Ayo masuk ke dalam.”

Mengatakan itu, Riselia memasuki reruntuhan sekolah. Anehnya, area di dalam ruangan itu tidak rusak parah. Riselia maju menyusuri koridor yang penuh debu dan menaiki tangga. Sebenarnya, di ujung koridor ada lift, tapi lift itu tidak aktif.

“Ayo kita ke pergi atap. Mungkin kita bisa melihat sesuatu dari sudut pandang yang lebih tinggi,” saran Riselia.

“...Oke,” jawab Leonis.

Mereka kemudian menaiki tangga, menutupi mulut mereka supaya tidak kemasukan debu.

Tempat kelahirannya, ya...? pikir Leonis, saat dia menatap punggung Riselia.

Bisa dibilang, Leonis tidak menganggap Kerajaan Rognas tempat dimana dirinya dilahirkan sebagai kampung halamannya. Kalau dia memang punya sesuatu seperti itu, maka itu adalah Necrozoa, tapi kota itu telah dijatuhkan, dan semua bawahan Leonis sudah lama pergi. Saat ini, apa yang terasa seperti rumah bagi Leonis—satu-satunya tempat dimana dirinya merasa nyaman—adalah...

Berada di sisi gadis itu.

Riselia dan Leonis sampai ke lantai empat dan mendapati diri mereka terhalang untuk memanjat lebih jauh oleh penutup yang tertutup.

“Hyahhhh!”

Namun, Riselia menggunakan kekuatan Ratu Vampirnya untuk menendang penutup itu.

“Selia, itu terlalu kasar.”

“Mm, maaf. Aku hanya sedikit gelisah...,” mengakui itu, Riselia mengalihkan pandangannya dengan canggung.

“Kau masih belum benar-benar terbiasa dengan kekuatan yang kau miliki, jadi mungkin kau akan melukai kakimu sendiri tanpa kau sadari. Berhati-hatilah.”

Mereka melewati lubang besar di daun jendela dan melangkah keluar. Atap bangunan itu memiliki tangki air yang dilengkapi dengan alat penyaringan dan gudang ransum.

“Kita bisa memiliki sudut pandang yang bagus dari atas sini,” kata Riselia, berdiri di depan pagar rusak yang mengelilingi atap gedung sekolah.

Sambil menahan rambut keperakannya agar tidak tertiup angin, Riselia menatap ke arah bawah pada apa yang tersisa dari kota. “Itu adalah Central Garden. Di situlah tempatku dan Regina dulu tinggal,” Dia menunjuk ke arah area yang terhubung dengan area ini oleh sebuah jembatan. Jika itu adalah Assault Garden Ketujuh, maka itu adalah tempat di sekitar Akademi Excalibur.

“Apa kau bisa melihatnya?” tanya Riselia, saat dia menyipitkan mata biru esnya. Kemudian, secara tiba-tiba, dia meraih ketiak Leonis dan mengangkat anak itu.

“Ah...!” seru anak itu.

“Oh. Badanmu ringan juga, Leo.”

“Selia, t-turunkan aku!” minta Leonis dalam keterkejutan, di saat wajahnya menjadi merah. Tapi saat itu, anak itu melihat sesuatu di kejauhan.

Itu...

“...Ada apa, Leo?” tanya Riselia, sambil meletakkan Leonis kembali ke lantai.

“Selia, apa sebelumnya kau pernah melihat pola yang di sana itu?”

“Yang mana...?” Riselia mengikuti arah jari Leonis menunjuk. Setelah melihat simbol yang di maksud, dia menggelengkan kepalanya dan berkata, “Tidak, aku tidak pernah melihatnya itu. Selain itu..., rasanya itu terlihat agak menakutkan.”

Hmm. Menakutkan, ya...

Seribu tahun yang lalu, manusia mengganggap simbol itu sebagai sesuatu yang sakral. Cuman anehnya, manusia di era ini justru menganggap itu sebagai sesuatu yang mengganggu.

Simbol bintang dan mata yang menyala-nyala.

Seribu tahun yang lalu, desain seperti itu paling banyak ditemukan di wilayah-wilayah manusia. Itu merupakan simbol dari Sekte Suci. Saat ini, Leonis melihat simbol itu di bagian kota yang berbeda dari saat dia melihatnya ketika pertemuan di Assault Garden Ketujuh. Mungkinkah simbol tersebut diukir di tempat-tempat di sekitar kota?

Tapi, siapa yang melakukan itu...?

“...?!” Merasakan sesuatu dari arah belakang, Leonis berbalik.

Krak, krak, krak...!

Hanya beberapa langkah dari tempat Riselia dan Leonis berdiri, ada banyak retakan yang terbentuk di udara.

“...Void!”

“Leo, mundur!” teriak Riselia seiring mengambil posisi bertahan di depan anak lelaki itu.

Retakan-retakan itu dengan cepat membesar, terlihat seperti panel kaca yang mengambang dan hampir pecah. Lalu, dengan suara yang mengerikan, Void menghancurkan retakan dan membuat celah.

“Grrrrrr... Grrr!”

Makhluk keji itu bergerak seolah-olah terhanyut oleh lautan, melangkah maju dengan langkah yang mengerikan. Kulit mereka tampak pucat sampai tembus pandang, dan mereka memancarkan cahaya yang redup. Lengan mereka menjuntai ke tanah, dan cakar mereka yang tajam meneteskan lendir kental yang membahasi jari-jari mereka.

Mereka kelihatan mirip dengan monster Vodyanoy yang merupakan jenis monster yang membuat sarang di rawa-rawa. Tapi mereka jelas bukan jenis monster itu...

“Aktifkan—Pedang Darah!” seru Riselia, saat dia mengangkat tangan kanannya.

Saat itu, partikel cahaya berkumpul di telapak tangan gadis itu, dan kemudian bermanifestasi menjadi Pedang Suci. Beberapa lusin Void muncul di sekitar gadis itu, mengelilingi dia dan Leonis. Akan tetapi, Riselia memelototi mereka semua dengan menantang.

“Mereka ada banyak,” Leonis mengamati dengan serius.

“Ya. Dan juga, aku belum pernah melihat Void jenis ini sebelumnya...!” menganggukkan kepalanya, Riselia mencengkeram Pedang Sucinya dengan erat.

“Raaaaaahhhh!” makhluk humanoid itu meraung. Mulut meraka yang terbuka lebar memperlihatkan deretan taring kecil, dan kemudian mereka menerjang ke depan dengan cakar untuk menyerang. Melihat itu, Lenois dengan cepat memanggil Tongkat Penyegel Dosa.

“Flamis!” anak itu merapalkan mantra tingkat ketiga, Kobaran Gelombang Panas.

Wuuussss!

Dari ujung tongkat Leonis, kobaran api ditembakkan hingga membuat tiga Void menjadi abu, dan sisa-sisa bakaran mereka hancur ke tanah.

“Flamis! Flamis! Flamis!”

Penguasa Kegelapan itu melepaskan lebih banyak mantra secara berurutan, menghancurkan Void-Void saat mereka merayap keluar dari celah. Meskipun udara di sana menjadi kering dan panas, tapi tanpa gentar, Riselia yang diselimuti oleh mana terjun masuk ke dalam kobaran api.

“Hraaaaaah!” Pedang Suci gadis itu bersinar merah dan membelah dua Void sekaligus.

“Leo, untuk sekarang kita mundur dulu...!” seru Riselia dan berbalik.

Akan tetapi, saat dia baru saja melakukan itu....

“Sta... Cry...sta...liaaaaaa...!”

...Dari Void yang gadis itu tebas, keluar erangan yang terdengar seperti kata-kata.

“...Hah?” Mata biru Riselia melebar. “Apa yang baru barusan itu...?!”

Krak, krak, krak, krak!

Naasnya, sebelum pertanyaannya itu bisa terjawab, retakan lain yang cukup besar untuk menelan seluruh bangunan mulai terbentuk.

“...Selia!” Leonis memanggil nama gadis itu untuk memperingatkannya. Karena bagaimanapun juga, anak itu telah melihat fenomena yang serupa di dek Hyperion.

Void yang besar akan datang!

Sepersekian detik kemudian, retakan itu semakin melebar dan meledak membentuk celah!

Booooooooooooooooo! Tidak mampu menahan beban Void yang keluar, reruntuhan sekolah jadi hancur.

“...?!”

Sejak awal, struktur dari bangunan itu memang sudah rapuh, yang membuat bangunan itu runtuh dan tertarik ke dalam lubang yang terbentuk di tanah. Lubang itu begitu dalam sehingga Leonis bahkan tidak bisa melihat dasarnya.

Apa ini?! Munginkah, semacam lubang bawah tanah...?! pikir Leonis di saat dia terjatuh.

Dia kemudian mengingat pertempurannya dengan Arakael Degradios, salah satu dari Enam Pahlawan. Di bawah permukaan Assault Garden Ketujuh, ada lubang besar yang mengarah ke suatu fasilitas bawah tanah. Dan lagi, semua Assault Garden yang diciptakan memiliki struktur dasar yang sama.

Saat lubang itu menelan beberapa lusin Void, Leonis menemukan Riselia di antara puing-puing yang jatuh.

“Selia!” Mengulurkan tangannya di udara, Leonis mencoba menggunakan sihir gravitasi untuk menangkap gadis itu. Tapi pada saat itu, celah lain muncul di udara di antara mereka. Ruang kosong itu terpelintir dan retak ketika sesuatu mulai muncul..., rupanya, itu adalah tangan raksasa, dan jari-jari tangan itu memanjang untuk menangkap dan menghancurkan Leonis.

“Tsk!”

Penguasa Kegelapan kemudian menyebarkan mantra gravitasi yang baru-baru dia rapalkan dan dengan cepat beralih ke serangan lain.

“Farga!”

Brooooom! Ledakan bergemuruh di hadapan Leonis. Gelombang kejut yang kuat mengguncang udara, membuat tubuh anak itu terlempar ke belakang.

“Zoh Fia!” dengan segera, Leonis merapalkan mantra gravitasi untuk menstabilkan dirinya di udara.

“Apa-apaan ini?! Nng, kah!”

Debu bertebaran di udara, membuat Leonis tersedak saat dia menghirup debu. Ketika semuanya mulai jelas lagi, wajah dari makhluk raksasa yang mendorong celah di ruang angkasa menjadi terlihat.

Itu adalah wujud humanoid raksasa yang mengerdilkan bangunan-bangunan yang hancur. Permukaannya tampak seperti marmer terpoles yang bergelora dengan kilatan. Itu tidak punya kepala, dan apa yang mengambang di atas lehernya adalah aura berwarna pelangi.

Void raksasa, ya? Ini adalah yang pertama kalinya Leonis melihat Void sejenis ini, tapi dalam artian yang lain, itu membuatnya merasa familiar.

Mungkinkah..., seorang rasul dari Kekuatan Cahaya..., malaikat?!

Malaikat adalah pelayan para dewa dan musuh pasukan undead. Tinju mereka mampu menghancurkan gunung, dan tombak cahaya suci mereka bisa mengubah lanskap apa pun menjadi lautan api.

“Void dalam citra malaikat, ya?”

Leonis mengangkat Tongkat Penyegel Dosa miliknya. Void itu memberikan rasa tekanan yang lebih besar daripada Void-Void humanoid dari sebelumnya.

Dimana Riselia...?

Memindai jurang yang ada di bawah, Leonis dengan cepat menemukan gadis itu. Seorang Ratu Vampir dapat memanifestasikan sayap mana untuk terbang, hanya saja Riselia masih belum terbiasa menangani kekuatannya, jadi Leonis merasa ragu kalau gadis itu bisa melakukan hal tersebut.

Kekacauan macam apa ini?!

Kemarahan menyelimuti Leonis. Dia percaya kalau tubuh Ratu Vampir Riselia yang kuat mampu menahan dampak saat jatuh, tapi itu mungkin hanya sekedar angan-angan di pihak Penguasa Kegelapan. Jurang ini sangatlah dalam sampai-sampai tampak tak berdasar.

“Selia! Leo! Apa ada sesuatu yang terjadi?!” terdengar suara Elfiné.

Bola Mata Penyihir yang gadis itu berikan pada Leonis dan Riselia berputar di udara, lalu terbang menuju Leonis. Mungkin Elfiné mengaktifkan bola itu setelah dia mendengar suara ledakan.

“Kami sedang melawan Void raksasa! Dan Selia—”

“Leo?!”

“Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii!” Malaikat itu mengeluarkan pekikan yang mengerikan dan tidak harmonis. Aura makhuk itu berputar saat tubuh besarnya mulai memancarkan suatu cahaya.

“...Tsk, Rua Meires!” Leonis secara naluriah mengerahkan penghalang, meniadakan semburan cahaya itu. Akan tetapi, bola Elfiné terjebak dalam serangan itu dan hancur. Penghalang Leonis membelah semburan energi bercahaya, membaginya menjadi dua sinar yang terus membelah gedung-gedung di kejauhan. Dalam hal kekuatan belaka, serangan itu sama dengan mantra tingkat empat.

“...Sungguh menyebalkan...” Leonis mendecakkan lidahnya.

Malaikat memiliki daya tahan tinggi terhadap sihir dari Alam Kematian. Dalam artian umum, mereka adalah musuh alaminya undead. Normalnya, malaikat belaka sama sekali bukan tandingan Raja Undead yang berkekuatan penuh, namun dalam tubuh Leonis saat ini, berseteru dengan makhluk itu akan terbukti menyebalkan.

Leonis menurunkan pandangannya ke lubang yang ada di bawah. Dia ingin mengabaikan Void itu dan bergegas ke sisi pengikutnya. Namun sayangnya, malaikat itu sepertinya sangat bersikukuh untuk untuk menjatuhkan Leonis, karena ia melebarkan sayapnya untuk menyerangnya.

Aku harus segera membereskan ini. Leonis memutar Tongkat Penyegel Dosa di tangannya, mengarahkan ujungnya ke arah musuhnya.

“Untukmu, malaikat yang telah menyerah pada ketiadaan, akan kutunjukkan esensi sejati dari sihir kepadamu!”



2 Comments

Previous Post Next Post