Seiken Gakuin no Maken Tsukai Volume 3 - Bab 5

Bab 5
Hantu dari Kota yang Hancur


Di dasar lubang yang gelap, dengan lemah, Riselia membuka matanya.

“...Ngh...!”

Dia berusaha untuk berdiri, sambil merasakan rasa sakit yang menusuk-nusuk di kakinya. Melihat ke arah bawah, Riselia tersadar bahwa anggota tubuhnya telah terbanting ke tanah dan membuatnya terkilir pada sudut yang tidak wajar.

Patah, ya? Dengan tenang, Riselia menerima situasinya saat ini.

Normalnya, tubuh manusia rata-rata akan hancur tanpa bisa dikenali setelah jatuh dari ketinggian seperti itu. Namun demikian, Riselia adalah undead—suatu hal yang dia syukuri saat ini.

Seberapa jauh aku telah jatuh...?

Menegangkan lehernya kembali, Riselia melihat-lihat sekeliling. Namun sayang, bahkan dengan mata vampirnya yang dilengkapi dengan penglihatan malam superior, dia hampir tidak bisa melihat apa pun di dalam kegelapan itu. Sungguh, itu adalah tempat yang luas dan sunyi.

Termpat itu harusnya adalah tempat perlindungan yang ditinggalkan. Tapi karena akar raksasa telah menembus sekat logam, membuat itu menjadi tidak berguna.

Dari kejauhan, Riselia bisa mendengar suara pertarungan Leonis. Dia kemudian meletakkan tangannya di tanah, mencoba mendorong dirinya ke atas, tapi saat itu...

“...Hah?!”

Di kegelapan yanag ada di depannya, mata merah Riselia mendeteksi sesuatu yang menggeliat.

---

“Pembelah Sisik Naga, Bilah Es Iblis—Sharianos!” dengan mana yang diperkuat oleh Tongkat Penyegel Dosa, Leonis merapalkan mantra. Sihir elemen air tingkat delapan yang ia gunakan itu membentuk bilah es yang tak terhitung jumlahnya di udara, yang  kemudian bilah-bilah itu menghujani lawannya. Namun, saat bilah-bilah itu akan menyerang Void kelas malaikat, Void itu mengeluarkan suara yang tidak wajar. Sebuah perisai cahaya terbentuk di sekitarnya, menangkis serangan-serangan Leonis.

Oh, jadi makhluk ini mempertahankan kemampuan Perlindungan Sucinya, ya...

Perlindungan Suci, itu adalah anugerah suci yang diberikan kepada malaikat berpangkat tinggi, yang mampu membuat semua mantra dari tingkat kedelapan atau di bawahnya menjadi tidak berdaya. Perlindungan ini tidaklah mudah untuk diterobos. Itulah sebabnya, malaikat yang merupakan rasul para dewa dikatakan setara dengan naga.

Membubarkan mantra kontrol gravitasinya, Leonis mendarat di dekat tepi lubang itu. Karena mengontrol gravitasi butuh banyak konsentrasi untuk mengatur mana, membuat mantra itu tidak cocok untuk digunakan di tengah-tengah pertempuran.

Void yang melayang itu mengeluarkan jeritan disonan lainnya, dan kemudian pedang cahaya terbentuk di tangannya. Itu merupakan mantra sihir suci tingkat enam, Pedang Penghukum—serangan cahaya yang pernah menyiksa Pasukan Penguasa Kegelapan.

“Tsk!”

Malaikat itu melemparkan pedang sihirnya ke arah Leonis, dan Leonis menangkisnya dengan menggunakan Tongkat Penyegel Dosa yang dia penuhi dengan mana.

Bzzzzzzzzzzzzzzzzzzzz!

Pedang cahaya itu menyebar, melepaskan gelombang kejut yang membelah reruntuhan di sekitarnya. Gelombang kejut itu juga mengirimkan awan debu ke udara, hingga membuat penglihatan Leonis menjadi terhalang. Void itu kemudian mulai merapalkan sihir sucinya lagi, membentuk pedang cahaya lain di tangannya.

 

Dalam beberapa saat, enam pedang cahaya melayang di udara. Dengan satu gerakan, Void itu melepaskan semua pedang itu sekaligus.

Bam, bam, bam, bam!

Gemuruh raungan bergema, meriakkan apa pun yang ada di sekitarnya. Void itu kemudian mengepakkan sayapnya yang cacat, menerbangkan debu dan puing-puing di udara. Namun, tidak ada tanda-tanda Leonis di bawahnya.

“Lihatlah ke atas, dasar bodoh.”

Bayangan raksasa bersayap menutupi malaikat itu. Seekor naga tengkorak yang menyaingi Void itu dalam ukuran membumbung di atas. Di atas punggung naga itu, ada Leonis yang sedang merendahkan lawannya.

“Malaikat rendahan, dirimu tidak memiliki hak untuk menengadah pada sang Penguasa Kegelapan.” Leonis kemudian memajukan Tongkat Penyegel Dosa dan meneriakkan mantra: “Hancurkan Segalanya—Beruda Gira!”

Bwoom! Bola bergaya gravitasi yang kental menjatuhkan Void ke tanah. Bentuknya yang besar itu pun tenggelam ke dalam tanah, membentuk sebuah kawah besar.

“Farga! Farga! Farga!”

Secara berturut-turut, Leonis menembakkan mantra penghancur tingkat ketiga yang mengenai Void itu dan meledak. Sang Penguasa Kegelapan itu tidak memberikan waktu kepada musuhnya untuk mengaktifkan Perlindungan Sucinya. Void itu kemudian melebarkan sayap cahayanya dan terbang, melaju ke arah naga tengkorak.

“Oh, kau ini sangat keras kepala, bukan?” Ejek Leonis.

Saat itu, rongga mata naga tengkorak itu berkilau kemerahan.

“Graaaaaaaaaah!”

Naga itu mengeluarkan raungan yang tidak menyenangkan sebelum ia menancapkan taringnya ke lengan Void. Kemudian, ia melepaskan Nafas Kematian, serangan naga undead yang mampu membusukkan tanah dan mencemari jiwa. Uap yang berbahaya itu telah menghancurkan banyak pasukan di medan perang.

Salah satu lengan Void itu hancur, membuat makhluk itu jatuh ke tanah. Menggunakan lengannya yang lain, Void itu mencoba melemparkan Pedang Penghukum ke arah Leonis. Namun...

“Terlalu lambat.”

...Leonis sudah menyelesaikan mantranya.

“Mantra tingkat sembilan—Madia Zolf!”

Boooooooooooom!

Diserang dengan kilatan panas yang mampu melelehkan mithril, wujud raksasa Void itu jatuh lemas ke dalam kawah besar.

“Nah, ini satu lagi supaya kau mengingatku: Rias Gia!”

Tanpa membuang-buang waktu, Leonis dengan cepat merapalkan mantra tingkat sembilan lainnya. Sambaran petir hitam menghujani Void kelas malaikat itu, dan membuatnya benar-benar hancur.

“Untuk makhluk yang lemah seperti itu, tampaknya ini adalah pertunjukan yang terlalu spektakuler.” sembur Leonis. Dia kemudian mengintip ke dalam jurang yang ada di bawah. Naga tengkorak itu menukik ke bawah, turun ke dalam lubang dengan Leonis bertengger di punggungnya.

---

Dengan menggunakan bola cahaya untuk menerangi jalannya, Leonis terus berkelana lebih jauh ke kedalaman. Setelah terbang beberapa ratus meter, dia akhirnya mencapai bagian bawah lubang. Leonis turun dari naga tengkorak dan mengembalikan naga itu ke bayangannya.

Dia kemudian menyalakan api kecil di tongkatnya, lalu memeriksa sekelilingnya, Tempat itu adalah ruangan melingkar yang besar. Di sisi berlawanan ruangan ada beberapa terowongan, mungkin dibuat untuk mengangkut kargo. Anak lelaki itu tidak bisa menemukan Riselia.

Leonis mengerutkan alisnya, merasa curiga, dan mendongak.

Apa dia ditangkap di pertengahan saat dia jatuh? Tidak...

Jika memang demikan, Leonis mestinya akan melihatnya saat dia menunggangi naganya. Dia pun memutuskan untuk mencari-cari di sekelilingnya, hingga akhirnya dia melihat tetesan-tetesan darah di lantai.

“...!” Terlepas dari keinginannya, dia sontak menelan ludahnya dengan gugup.

Tetesan darah itu masih segar. Sudah pasti, itu adalah darah Riselia. Leonis meningkatkan pencahayaan ujung tongkatnya, kemudian melihat jejak darah itu mengarah ke salah satu terowongan.

Perasaan cemas meliputi hati sang Penguasa Kegelapan. Secara alami, mana seorang vampir akan memberi mereka kemampuan regenerasi. Kalau Riselia tetap diam, lukanya akan sembuh dengan sendirinya. Harusnya tidak ada alasan baginya untuk bergerak.

Mungkinkah dia melarikan diri dari sesuatu? Ataukah dia dibawa pergi?

Leonis segera berlari. Dengan tetesan darah itu sebagai pemandu jalannya, dia berlari ke terowongan dengan nyala api di atas kepala untuk menerangi jalannya.

“...lia! Selia!” Suara Leonis bergema di kesunyian.

Saat itulah...

“...Leo! Leo, aku di sini!”

Mendengar suara itu, Leonis langsung mengarahkan cahayanya ke arah sumber suara itu. Terowongan yang terhubung ke ruangan besar tempat Leonis masuki itu sepertinya merupakan ruang penyimpanan yang besar. Di dalam ruangan yang dikelilingi tembok beton itu, Leonis menemukan Riselia sedang duduk di lantai.

“Selia...!”

Tapi begitu dia melangkah ke dalam ruangan, Leonis langsung membeku di tempat. Di sana, ada sekelompok orang lain. Mereka adalah sekelompok besar skeleton, dan mereka sedang mengelilingi Riselia.

“Void?!” Leonis sontak meninggikan suaranya dan menyiapkan Tongkat Penyegel Dosa.

“Tunggu, Leo!” teriak Riselia. “Mereka bukan Void! Mereka adalah—”

“Hah?” Leonis menyipitkan matanya dengan ragu, menurunkan tongkatnya.

Semua skeleton itu kemudian berbalik menghadapnya, dimana rongga mata mereka bersinar dengan cahaya biru. Lalu...

<Kami... adalah hantu dari kota yang hancur ini...> Mereka berbicara, suara khidmat mereka bergema di ruang bawah tanah.

---

“Hahh, hah, hah...”

“Apa kau baik-baik saja, Elfiné?” tanya Regina, saat dia berbalik ke belakang untuk menghadap kakak kelasnya.

Tidak seperti Regina dan Sakuya yang mengikuti pelatihan stamina dasar akademi, Elfiné adalah kakak kelas di departemen ilmu informasi, dan dia tidaklah hebat dalam hal berlari.

“Y-ya... aku baik-baik saja...,” jawab Elfiné, seiring dia berlari dan terengah-engah.

Banyak jalanan kota yang rusak dan hancur, dan beberapa tempat telah sepenuhnya runtuh. Dengan Elfiné yang memimpin mereka, kelompok itu tidak akan tersesat, tapi mereka tidak dapat mengikuti rute yang tercepat dan harus mengambil jalan memutar yang signifikan.

Akhirnya, mereka bertiga tiba di tempat yang dulunya adalah sekolah. Tapi setelah melihat apa yang tersisa di sana, mereka bertiga sontak berdiri diam dan terkejut.

“Apa... yang terjadi disini?”

Void raksasa yang sebelumnya mereka lihat di kejauhan tidak dapat ditemukan di mana pun sekarang. Namun, semua bangunan di sekitar  itu pada runtuh, dan beberapa kawah telah terbentuk di tanah. Akan tetapi, apa yang paling mencolok dari semua itu adalah lubang besar yang mengarah ke terowongan yang terhubung ke fasilitas bawah tanah Assault Garden.

Elfiné menggelengkan kepalanya dalam diam. Awan debu membumbung di udara, membuatnya sulit untuk melihat sesuatu. Di sana, tidak ada tanda-tanda Void ataupun Riselia dan Leonis.

“Tampaknya Void-Void itu dihancurkan. Aku tidak bisa merasakan kehadiran mereka,” kata Sakuya.

“Apa Nona Selia dan Leo mengalahkan mereka?” tanya Regina.

“...Mungkin begitu?” jawab Elfine. Bola yang dia tinggalkan pada Riselia hancur selama pertempuran. Untungnya, rekaman sebelum bola itu hancur disimpan di jaringan bersama semua bola. Rekaman itu bisa diekstraksi, tapi itu akan memakan waktu.

“Selia! Leo! Dimana kalian?!” Reina memanggil mereka. Kemudian, dia membungkuk di atas lubang besar yang menganga.

“Regina, itu bahaya,” dengan tergesa-gesa, Elfiné menegurnya.

“Mereka tidak jatuh ke dalam sana, kan?” tanya Regina, dengan suara yang bergetar.

“...” mendengar itu, Elfiné menelan ludahnya dengan gugup. Kalau Riselia dan Leonis benar-benar jatuh ke dalam lubang itu, kemungkinan mereka untuk bertahan hidup sangat rendah.

“Aku akan turun ke bawah dan mencari mereka,” kata Sakuya, bersiap untuk masuk ke dalam lubang dengan Raikirimaru di tangannya.

“Sakuya, itu terlalu gegabah,” Elfiné menentangnya.

“Aku akan baik-baik saja. Asalkan aku membungkus kakiku dengan energi elektromagnetik, aku harusnya bisa berlari di sepanjang dinding—”

“Kau bisa melakukan itu?” tanya Regina.

“Iya. Cuman yah, aku belum pernah benar-benar melakukan itu, tapi harusnya sih akan berhasil.”

““Maka kau tidak boleh melakukan itu!”“ secara bersamaan, Regina dan Elfiné berteriak saat Sakuya hendak melompat ke dalam jurang.

“Tenanglah. Aku akan mengirim salah satu mataku untuk menyelidiki apa yang ada di bawah sana,” kata Elfiné, membentuk bola cahaya baru di tangannya.

Namun...

“Elfiné!”

Sakuya mendorong gadis yang lebih tua itu menjauh. Saat itu, bilah pedang keperakan menyapu bidang pandang Elfiné.

Krrrrrrrrrr! Logam dan logam berbenturan dengan suara yang mengerikan, menghasilkan percikan bunga api.

Apa?!

Setelah dia jatuh ke tanah, Elfiné mengintip melalui debu yang melayang. Raikirimaru milik Sakuya telah saling berkunci dengan pedang sorang gadis lain. Dia memiliki tubuh yang mungil, dan tidak mungkin usianya lebih dari dua belas atau tiga belas tahun. Rambut ponytail kehijauannya bergoyang-goyang tertiup angin.

Pakaian yang dipakai oleh gadis misterius itu terasa asing bagi anggota peleton ke-18. Dan tangannya yang pucat dan ramping mencengkeram pedang bermata dua yang terlihat terlalu berat untuk dia gunakan secara wajar.

“...Siapa kau?” tanya Sakuya, dengan pedang yang masih terkunci dengan pedang milik gadis muda itu.

“...Kau bisa berbicara, monster?!” Mata gadis itu sedikit melebar.  “Sungguh makhluk busuk yang menakutkan...!”

Sakuya tidak melewatkan celah sesaat yang terbentuk, dan dia langsung menyerang. Namun, sulur listrik yang mengalir di sepanjang pedang Raikirimaru hanya berhasil meluncur di sepanjang alis gadis itu, membuat beberapa poninya terbang.

Dia menghindari pedang Sakuya?!

Akan tetapi, serangan listrik bukanlah kekuatan sesungguhnya dari Pedang Suci milik Sakuya. Petir menyelimuti tubuh Sakuya, membuat gerakannya menjadi lebih cepat. Dia pun dengan cepat membawa senjatanya ke leher lawannya.

“...”

Di saat-saat terakhir, Sakuya menghentikan tebasannya, dan berdiri diam. Pedang dari gadis lain itu juga menempel di tenggorokan Sakuya. Mata yang berwarna biru menatap langsung ke Sakuya.

“Ayo berhenti.” Sakuya adalah orang pertama yang menurunkan pedangnya.

“Apa...?!” lawannya berseru.

“Kau kuat. Aku mungkin akan kalah jika kau berada dalam kondisi kesehatan yang sempurna.“

“...Tsk.” Gadis itu menggigit bibirnya. Kemudian, dengan satu tangannya, dia memegangi perutnya. Tetesan darah menetes keluar dari luka besar yang ada di perutnya. “Siapa... kalian...?” Dia mengeluarkan erangan rasa sakit dan bergumam saat dia jatuh ke tanah.

---

Di bawah sinar cahaya sihir Leonis, skeleton yang terdistorsi menggeliat layaknya mainan setengah rusak, membentuk bayangan-bayangan menakutkan di lantai.

<Kami adalah... Ksatria Crystalia...,> kata skeleton berlengan satu dengan suara yang berderak.

“Ksatria Crystalia?” tanya Leonis. Dia kemudian berlutut, untuk menolong Riselia. Perban dari kain yang bersih melilit kaki kanan gadis itu. Rupanya, para undead ini telah membawanya ke tempat yang aman dan merawat luka-lukanya.

“Itu adalah ordo ksatria yang melayani Keluarga Crystalia,” jelas Riselia. “Bersama ayahku, mereka bertarung untuk mempertahankan kota ini.”

<Enam tahun yang lalu... Kami mempertaruhkan nyawa kami... bertarung melawan Void Stampede...> Skeleton-skeleton itu berbicara di saat yang sama, suara mereka bergema di ruangan yang gelap.

Jadi mereka adalah orang-orang mati yang berkeliaran. Sebagai Raja Undead, Leonis dengan cepat menyadari apa sebenarnya skeleton-skeleton ini. Di tempat-tempat terjadinya peperangan, jiwa-jiwa yang menyimpan penyesalan yang mendalam dan berkepanjangan kadang-kadang bisa tetap berada di alam kehidupan.

Itu bukanlah fenomena yang tidak biasa. Selama pemerintahan Leonis sebagai Penguasa Kegelapan, sejumlah besar undead akan bangkit setelah pertempuran berakhir bahkan tanpa menggunakan sihir Alam Kematian.

Yah, tampaknya orang-orang di masa ini tidak tahu tentang undead...

Sebagian besar negeri di era ini telah kehabisan mana, jadi orang-orang modern belum pernah melihat undead bangkit sendiri.

Tapi, kota yang hancur ini berbeda...

Void telah membawa pembantaian besar-besaran ke tempat ini, yang membuat tempat ini dibiarkan tak tersentuh selama bertahun-tahun sambil dikelilingi oleh miasma. Tidak heran bahwa semua mana negatif yang dibentuk di tempat ini akan menjadi wadah bagi jiwa-jiwa yang berkeliaran.

Seorang Ratu Vampir memerintah atas semua undead. Jiwa-jiwa yang tersesat dari Assault Garden Ketiga telah tertarik pada aura kematian Riselia.

Leonis meletakkan Tongkat Penyegel Dosa-nya di lantai dan memperbaiki posturnya.

Semua undead ini adalah pejuang yang telah bertarung untuk melindungi tempat tinggal mereka. Bahkan Leonis, yang dikenal karena arogansinya, mematuhi martabat Penguasa Kegelapan dan tahu untuk menghormati keberanian mereka.

<Apa kau... tidak... takut pada kami...?> Skeleton-skeleton itu bertanya pada Riselia.

“Aku akui kalau aku agak takut pada hantu, tapi aku sudah terbiasa dengan skeleton,” jawab Riselia, mengulurkan tangan dan meraih tangan tulang salah satu penyelamatnya.

<Oooh... Nona kami... Nona... Riselia...> Para ksatria itu berlutut dengan hormat.

Selama pelatihannya dengan Leonis, Riselia telah melawan banyak prajurit skeleton, jadi ini tidak akan membuatnya merasa takut. Dia pun kemudian menatap rongga mata remang-remang makhluk itu.

“Apa kalian yang mengirim sinyal marabahaya ke Akademi Excalibur?”

<Ya... Tampaknya sinyal itu... berhasil mencapai kalian...>

Riselia dan Leonis bertukar pandang. Mereka tidak menyangka kalau panggilan misterius itu ternyata dikirim oleh sekelompok undead. Namun...

“Mengapa kalian memanggil kami?” tanya Leonis.

Apa yang mungkin diinginkan oleh orang-orang mati?

Kalau mereka ingin agar jiwa mereka yang terperangkap dibebaskan, aku bisa mengabulkan  keinginan itu dengan cukup mudah.

Bagi Leonis yang memerintah atas kematian, itu merupakan hal yang mudah. Namun, dia tidak yakin kalau mereka mengirim sinyal marabahaya ke Akademi Excalibur hanya untuk sesuatu seperti itu.

<...Kami tidak... mencari keselamatan...> Salah satu skeleton menggelengkan kepalanya sebagai penyangkalan. <Kami melakukan itu... untuk memperingatkan kalian...>

“Memperingatkan kami?” tanya Riselia.

<Ya... Kalau hal ini terus dibiarkan berlanjut... Tragedi enam tahun yang lalu... Stampede akan melahap... Assault Garden Ketujuh...>

“Apa...?!” seru Riselia. “Apa maksud kalian? Void Lord yang menghancurkan rumah kita dikatakan telah menghilang...”

<Bukan Void Lord... dari enam tahun lalu...>

<Void Lord yang lebih besar dan lebih kuat dari yang dulu...>

<Void Lord yang baru... telah muncul di reruntuhan ini...>

“Apa...!?”

---

Ksatria-ksatria itu menjelaskan bahwasannya; empat puluh dua hari yang lalu, Void dalam bentuk seorang wanita cantik yang menyatu dengan tungku mana yang besar muncul tertidur di jantung kota, jauh di bawah Central Garden.

“Menyatu dengan tungku mana?” Riselia mengulangi kata-kata skeleton itu dengan tidak percaya.

Aku mengetahui sesuatu yang seperti itu, bisik Leonis pada dirinya sendiri dengan getir.

Saat insiden Stampede di Assault Garden Ketujuh, Arakael Degradios, Archsage dari Enam Pahlawan yang telah berubah menjadi Void, berusaha untuk menyatu dengan tungku mana pemukiman itu.

Namun, ada hal lain tentang apa yang para undead itu katakan yang menarik perhatian Leonis.

Empat puluh dua hari yang lalu?

Itu di sekitar waktu yang sama ketika Leonis terbangun dari hibernasi sihirnya. Itu kesannya terlalu menakutkan untuk disebut hanya sekadar kebetulan. Ketika Leonis merenungkan arti dari semua itu, skeleton-skeleton itu melanjutkan.

<Dan... setelah bergabung dengan... inti kota... Void Lord mulai... menciptakan bawahannya dari ketiadaaan...>

“Ya, kami melihat mereka di permukaan. Void-void humanoid itu muncul dari celah yang terbentuk di ruang kosong.”

“Aku melawan Void raksasa yang seperti malaikat dan menghancurkannya,” tambah Leonis.

<Yang besar... dipanggil dari ketiadaaan, tapi... Void humanoid... berbeda dari yang lain...>

“...Apa maksud kalian?”

<Sama seperti kami... mereka adalah... jiwa-jiwa yang berkeliaran dari para pejuang... Kekuatan Void Lord... mengubah mereka menjadi monster...>

“...Apa?!” Wajah Riselia langsung memucat. “Apa maksud kalian, makhluk-makhluk itu adalah... orang-orang dari kota ini...!?”

“Void menggunakan jiwa orang-orang mati seperti itu... Apakah itu mungkin?” tanya Leonis.

“Aku... aku belum pernah mendengar itu sebelumnya.” Riselia menggelengkan kepalanya, masih merasa terkejut.

<...Kami bisa... mendengar suaranya...>

“Suara?” tanya Riselia pada jiwa-jiwa yang berkeliaran. Jiwa-jiwa itu mulai mengerang dalam penderitaan yang menyedihkan.

<Ya... Panggilan... Suara itu merobek jiwa kami... >

<Suaran seorang wanita... memerintahkan kami untuk... jatuh ke dalam ketiadaan...>

<Suara itu tidak bisa... dilawan...>

<...Mereka yang berada... di dekat pusat... dari tungku mana itu... akan berubah... menjadi Void...>

<Cepat atau lambat, kami juga akan... bergabung dengan barisan monster mengerikan itu...>

<Untuk bertarung selamanya... di bawah pimpinan Wanita Suci para pahlawan...>

“Wanita Suci?” tanya Leonis, terpancing pada kalimat itu.

“Leo?” dengan bingung, Riselia menatap anak lelaki itu.

“Maaf menyela. Apa Wanita Suci itu adalah Void Lord?” tanya Leonis saat dia mencondongkan tubuhnya ke depan. Dia mengetahui gelar itu. Kalau ini bukankah kebetulan, maka orang yang dimaksud adalah...

<Ya... Wanita Suci... Tea...ris...>

<Tearis... Void Lord... Itulah nama monster itu...>

Tearis Resurrectia, sang Wanita Suci. Dia adalah pendeta wanita yang pernah dipuja oleh Sekte Suci, dan juga merupakan anggota dari Enam Pahlawan. Seribu tahun yang lalu, dia adalah salah satu musuh bebuyutan Leonis.

Jadi Tearis telah kembali sebagai Void Lord, ya.

Para dewa memberikan Wanita Suci dari Enam Pahlawan kekuatan Kebangkitan. Dan jika dia mempertahankan kemampuan itu sebagai Void...

Mungkin dia bisa menghidupkan kembali jiwa-jiwa yang mengembara sebagai Void, sambil meletakkan tangan di dagunya, Leonis mulai berasumsi.

Sama seperti Arakael Degradios, tampaknya salah satu dari Enam Pahlawan telah dibawa kembali ke sini setelah seribu tahun. Itu hampir seperti menandai lahirnya kembali Dewi Pemberontak, Roselia. Pahlawan yang dulunya luar biasa telah menjadi Void Lord yang membahayakan kelangsungan hidup umat manusia.

Apa yang sedang terjadi? Meskipun dia telah diberikan lebih banyak potongan puzzle, Leonis masih belum memiliki gambaran yang lengkap.

“Jadi maksud kalian, Void Lord ini mencoba menyebabkan Stampede di Assault Garden Ketujuh?” Pertanyaan gugup Riselia menarik Leonis kembali ke masalah yang ada.

<Ya... Monster itu ingin... menghancurkan umat manusia... Mengembalikannya ke... ketiadaan...>

“Tapi kenapa tujuannya adalah Assault Garden Ketujuh?”

<...Kami tidak... tahu... Itu adalah... perintah dari suara itu...>

Tangan skeleton yang Riselia pegang tiba-tiba mulai runtuh.

“?!”

<Sepertinya... waktu kami telah... habis...>

Cahaya di rongga mata kerangka itu semakin redup. Jiwa-jiwa yang terikat pada tulang-tulang tua itu mulai pergi.

<Kami telah memberitahukan... rekan manusia kami... perihal bahaya yang akan datang...>

<Kami mohon... Bawa informasi ini, dan kembalilah... Tinggalkan tempat ini...>

<Sebelum Void Lord... terbangun...>

<Tragedi enam tahun lalu... tidak boleh... terulang lagi...>

Saat suara mereka bergema di ruangan yang gelap, skeleton-skeleton itu hancur satu per satu.

“Tunggu...!” Riselia memohon.

<Nona Riselia... Anda telah tumbuh menjadi... sangat hebat...> Membuat kata-kata terakhirnya, jiwa yang telah memegang tangan Riselia jatuh berkeping-keping ke tanah.



1 Comments

Previous Post Next Post