Saijo no Osewa Volume 2 - Bab 16

Bab 16
Ojou-sama marah


"Selamat datang kembali."

Saat aku tiba di mansion Keluarga Konohana, aku disambut oleh Shizune-san.

“Aku pulang... Maaf karena kemarin aku tiba-tiba harus menginap di rumahnya Tennoji-san.”

“Soal itu tidak apa-apa, yang lebih penting lagi, kita punya masalah saat ini.”

Ada masalah?

Saat aku merasa bingung terhadap kata-kata itu, Shizune-san kemudian kembali berbicara dengan kesan yang seolah-olah dihadapkan dengan masalah besar.

“Tolong segera perbaiki suasana hatinya Ojou-sama..., saat ini, dia benar-benar marah.”

“...Eh? Marah?”

Sontak saja aku dibuat kebingungan ketika Shizune-san memberitahuku itu dengan ekspresi yang sangat bermasalah.

Pada dasarnya aku sudah menduga kalau aku yang menginap di rumahnya Tennoji-san akan membuat suasana hati Hinako jadi memburuk, cuman aku tidak menyangka kalau dia akan sampai marah. Tapi meski begitu, sulit bagiku untuk membayangkan Hinako yang lagi marah. Dan juga, karena itu adalah dirinya, aku tidak berpikir dia yang marah itu akan sampai mengamuk atau semacamnya, tapi...

Untuk saat ini, aku menuju kamar Hinako dan mengambil napas dalam sesampainya aku di depan pintu kamarnya.

Lalu, saat aku mengetuk pintu...

“Hinako, boleh aku masuk?”

“...Mm.”

Suara yang terdengar murung datang dari balik pintu.

Dari kedengarannya, tampaknya dia memang benar-benar marah.

Dengan takut-takut, aku pun membuka pintu kamarnya.

Saat ini, Hinako sedang berbaring di ranjangnya dan terbungkus dengan selimut.

Saat aku melangkah masuk ke dalam kamarnya, dengan perlahan, Hinako mengeluarkan tubuhnya dari dalam selimut.

“...Selamat datang kembali, Itsuki.”

“Y-Ya, aku pula—”

“Dasar pembohong.” serunya, menyela kata-kataku.

Melihat penampilan Hinako yang lagi marah untuk pertama kalinya ini membuatku menegang dengan mulut yang ternganga.

“Padahal kau bilang kalau kau tidak akan menginap....”

“Niatku memang begitu... tapi situasinya tidak memungkinkan.”

“...Pergi pulang pagi.”

Hineko memelototiku.

“...Pergi pulang pagi!”

“Erm, yah, memang benar aku perginya pulang pagi, tapi....”

Cara dia mengatakannya itu mungkin bisa memberikan kesalahpahaman yang aneh, jadi jika bisa aku ingin agar dia tidak mengatakan itu.

[Catatan Penerjemah: 朝帰り (Asagaeri / Pergi pulang pagi) bisa dimaksudkan untuk menyinggung seseorang yang pergi ke tempat prostitusi dan baru pulang saat pagi hari.]

Sepertinya aku harus menjelaskan situasinya lagi kepadanya untuk menunjukkan kalau aku benar-benar tulus meminta maaf soal masalah ini.

“Erm, dengarkan aku. Awalnya kemarin itu aku benar-benar berencana untuk pulang setelah sesi belajarnya selesai. Tapi tadi malam cuacanya tiba-tiba jadi tidak bersahabat... dan kau sendiri pasti dengar petir-petir yang bergemuruh, kan? Makanya aku tidak punya pilihan selain harus menginap di rumahnya Tennoji-san...”

Saat aku memberinya penjelasan dengan merasakan cucuran keringat dingin di tubuhku, Hinako hanya menatapku dalam diam.

Astaga, ekspresi wajahnya saat ini benar-benar sulit untuk dibaca daripada sebelum-sebelumnya.

“A-Apa kau bisa memakluminya...?”

“...Enggak.” Hinako menggelengkan kepalanya. “Kau terlalu bertele-tele...”

Buset dah, dia seriusan marah kepadaku.

“...Ke sini.”

“Hah?”

“...Cepat ke sini.”

Dengan raut wajah tidak senang, Hinako menunjukkan jarinya ke tempat tidurnya. Sepertinya dia menyuruhku untuk duduk di sebelahnya.

Saat aku kemudian duduk di tempat tidur, tiba-tiba Hinako membenamkan wajahnya di dadaku.

“E-Eh? Hinako?”

“Baumu...” gumamnya “Aku tidak bisa tenang..., baumu tidak seperti baumu yang biasanya.”

Hah? Apa sih yang dia maksud dengan bauku...?

Oh, kalau kuingat-ingat lagi, saat aku pertama kali bertemu Hinako, dia bilang padaku bahwa aku berbau harum. ...Mungkinkah Hinako sebenarnya memiliki indera penciuman yang tajam?

“Kau makan malam bersama Tennoji-san, ya...?”

“...Ya, aku makan malam bersamanya.”

“Kau  mandi di rumahnya Tennoji-san, ya...?’

“...Ya, aku mandi di rumahnya.”

Karena aku menginap di sana, jadi tentu saja kalau aku akan mandi dan makan di sana.

“Kau mandi bareng dengan Tennoji-san, ya...?”

“Hah? Tidak mungkin ‘kan aku akan mandi bersamanya——”

Perkataanku terpotong di tengah-tengah ketika bayangan dari Tennoji-san yang hanya mengenakan handuk mandi terlintas di pikiranku.

“——Aah!”

Sontak saja, aku secara tidak sadar melontarkan suara itu,

“......Aah?”

“Tidak, erm...”

“Apa-apaan dengan ‘Aah!’ yang barusan itu?”

Sial, kalau sudah begini sepertinya aku tidak bisa memberikan alasan.

Tapi di tempat pertama, apa itu bisa diartikan kalau aku dan Tennoji-san mandi bareng? Meski aku meragukan itu, tapi karena kecil kemungkinan aku bisa lolos dari pengejaran Hinako jika aku mencoba memberikan alasan, jadi dengan jujur aku mengakui tentang apa yang terjadi di kamar mandi.

“Muuu~...! Muuu~.......!”

Pada akhirnya, seperti yang kuduga, wajah Hinako menjadi merah penuh amarah.

“Padahal ‘kan kau sudah bilang padaku kalau kau tidak akan mandi bersamanya!!!”

“Itu kecelakaan! Dan lagi itu tidak seperti kami benar-benar mandi bareng seperti yang kau pikirkan, kami hanya secara tidak sengaja berada di tempat yang sama!”

Aku yakin aku telah memberinya penjelasan dengan benar, tapi Hinako tampak masih tidak terima dengan penjelasanku.

“Kau makan malam dengan Tennoji-san, bahkan sampai mandi bareng sama dia... Semua itu sama dengan apa yang kau lakukan bersamaku...! Itsuki... memangnya kau ini pengurusnya Tennoji-san apa?”

“Ya enggak lah! Kan sudah jelas kalau aku pengurusmu!”

Lagian pada dasarnya, aku tidak melakukan hal yang sama pada Tennoji-san seperti apa yang kulakukan pada Hinako.

Kami memang makan bersama, tapi aku tidak menyuapinya seperti yang kulakukan pada Hinako. Kami mandi bareng, tapi aku tidak mencucikan rambutnya seperti yang kulakukan pada Hinako.

“Kalau memang begitu...”

Meraih lengan bajuku, Hinako menarikku agar lebih dekat dengan dirinya.

“Kalau memang begitu... Kau harusnya lebih sering berada di dekatku daripada di dekat orang lain!”

Aku dibuat kewalahan dengan Hinako yang tiba-tiba menunjukkan sikap memonopoli. Sepertinya, aku telah membuat dia jadi merasa gelisah. Apa dia berpikir bahwa aku akan meninggalkannya dan bekerja untuk Tennoji-san? Padahal harusnya dia tahu kalau aku tidak akan melakukan itu.

“Jangan khawatir. Kalau itu aku sendiri juga tahu kok.”

“Issh... kau tidak tahu soal itu, makanya aku kasih tahu kamu.”

“Tidak, aku benar-benar tahu kok.”

Tepat saat aku mengatakan itu, pintu kamar terbuka.

“Permisi. Ojou-sama, makan siangnya sudah siap.”

Orang yang datang itu adalah Shizune-san.

“...Mm.”

Nah, sekalipun Hinako sedang berada dalam suasana hati yang buruk, tapi tetap saja dia tidak bisa mengalahkan rasa laparnya. Jadi, dengan gerakan yang malas, dia turun dari tempat tidur dan menuju ke ruang makan.

Sesampainya di ruang makan, seorang pelayan langsung menarikkan kursi untuknya.

Hinako kemudian duduk di kursi itu dengan perilaku yang sudah terbiasa, lalu meletakkan serbet di pangkuannya.

Melihat adegan itu—aku kemudian menarik kursi yang ada di samping Hinako.

“Boleh aku duduk di sampingmu?”

“...Itsuki?”

Mata Hinako membelalak saat dia melihatku ikut datang ke ruang makan. Sampai saat ini, Hinako akan makan sendirian saat dia berada di mansion. Itu sebabnya, dia mungkin terkejut melihatku ada di ruangan ini meskipun harusnya dia pikir aku juga akan makan siang di tempat lain.

“Mulai hari ini, Itsuki-san juga akan makan bersama anda.”

Mendengar kata-kata Shizune-san, mata Hinako menjadi semakin membelalak.

Shizune-san lalu menatapku, menyiratkan bahwa aku sendiri yang harus memberikan penjelasan untuk hal ini.

“Aku tidak dibolehin makan sama kamu sampai aku paling tidak sedikit menguasai etiket meja makan. Itulah sebabnya aku meminta agar Tennoji-san berfokus mengajariku etiket meja makan terlebih dahulu. Dan kemudian, aku akhirnya berhasil mencapai hasil yang bisa dibilang bagus, jadi mulai hari ini kita bisa makan sama-sama.”

Hinako masih kelihatan terkejut, tapi aku terus melanjutkan kata-kataku.

“Jadi, kalau kau tidak keberatan, mulai hari ini aku akan mencoba untuk sesering mungkin makan bersamamu...?”

Meskipun aneh untuk mengatakan ini, tapi entah mengapa aku merasa malu saat aku mengatakan itu. Kalau dalam hal ini Hinako menolak untuk makan bersamaku, ini pasti akan menjadi sejarah hitam yang terbesar dalam hidupku.

Namun rupanya..., ketakutanku itu tidaklah berdasar.

“...Ya!”

Senyuman cerah muncul di wajah Hinako.

Sepertinya, sekarang suasana hatinya sudah membaik.

Tapi tetap saja, aku yang bisa melihat senyuman ini dari Hinako adalah berkat Tennoji-san. Karenanya, di hari Senin nanti, aku mesti mengucapkan terima kasih kepadanya.



15 Comments

Previous Post Next Post