Saijo no Osewa Volume 2 - Bab 19

Bab 19
Ojou-sama tidak sadar


Dua minggu sudah berlalu semenjak aku mulai menghabiskan waktuku untuk mengadakan sesi belajar bersama Tennoji-san saat sepulang sekolah. Dan karena sesi belajar ini akan terus kami lakukan hingga ujian berikutnya, jadi bisa dibilang hari ini adalah titik balik dari sesi belajar kami.

“Mulai hari ini, kita akan mulai belajar dansa!”

[Catatan Penerjemah: Setelah gua searching-searching di google, gua menemukan kalau ‘tari’ dan ‘dansa’ itu berbeda. Karena di Jepang ‘tari’ dan ‘dansa’ sama-sama bisa dikatakan sebagai ダンス (Dance), makanya sebelumnya gua menerjemahkan kata ダンスsebagai ‘tari’, tapi rupanya ダンス yang dimaksud di sini adalah ‘dansa’.]

Di hari yang kurang dari dua minggu lagi sebelum dimulainya ujian, aku dan Tennoji-san ketemuan di gedung olahraga.

“Maaf ya karena sampai membuatmu repot-repot meminjam gedung olahraga ini.”

“Tidak apa-apa.”

Aku berterima kasih pada Tennoji-san yang saat ini mengenakan baju olahraga akademi.

Karena pembelajaran dan latihan etiket meja makan sudah selesai, jadi mulai hari ini kami akan berlatih dansa ballroom. Sebelumnya aku pernah menerima pengenalan simpel tentang dansa dari Shizune-san, tapi kalau mau dibandingkan dengan pengetahuan dan pengalamanku dalam etiket, maka pengetahuan dan pengalamanku dalam dansa sangatlah kurang. Jadi jujur saja, aku tidak punya keperycaan diri dalam mempelajari bidang ini.

“Baiklah, kalau begitu kita akan memulai dengan berlatih slow waltz.”

Mengatakan itu, Tennoji-san memutar musik di speaker yang ditempatkan di sudut gedung olahraga, dan dengan begitu lagu waltz pun dimainkan.

“Loh? Ngapain kamu cuman berdiri diam di situ? Ayo, cepat menghadapku.”

“Y-Ya.”

Dansa ballroom adalah dansa yang dilakukan oleh seorang pria dan wanita dengan saling berhadapan dalam jarak dekat. Itu sebabnya, meskipun akhir-akhir ini aku sering menghabiskan waktu bersamanya, saat aku menyadari bahwa tubuh kami saling dekat, tau-tau saja aku menjadi gugup.

“Lebih dekat lagi.”

“L-Lebih dekat lagi, ya...?”

Meskipun jarak antara aku dan Tennoji-san sudah kurang dari 50cm, tapi dia justru menyuruhku untuk mengambil setengah langkah lebih dekat lagi. Dan di sisi lain, Tennoji-san juga mengambil setengah langkah lebih dekat ke arahku.

Pada akhirnya, jarak diantara tubuh kami menjadi sangat dekat, membuatku jadi bisa merasakan sentuhan lembut serta aroma manis dari dirinya.

“Pegang tangan kananku dengan tangan kirimu, lalu geser tubuhmu sekitar setengah langkah...”

Sambil mati-matian menekan kegugupanku, aku menyesuaikan posisiku sesuai dengan arahannya Tennoji-san. Lalu, aku meletakkan tangan kananku di bahunya, dan dia meletakkan tangan kirinya di lengan atasku.

“Ini adalah postur yang disebut hold. ...Baiklah, sambil mempertahankan postur ini, kita akan mulai berdansa dengan perlahan.”

“Eh? Tapi aku masih tidak begitu tahu caranya berdansa...”

“Tidak apa-apa, ada pepatah yang mengatakan bahwa jauh lebih baik membiasakan diri daripada mempelajarinya. Itu sebabnya, aku yang akan memimpin dansanya, dan kau harus mengikutiku dengan fokus.”

Setelah mengatakan itu, Tennoji-san menggerakkan kaki kanannya, dan seolah terseret oleh gerakannya, aku menggerakkan kaki kiriku. Lalu, sambil terus mengulangi pertukaran gerakan yang sama seperti itu, kami bergerak dengan perlahan ke arah berlawanan dari jarum jam di dalam gedung olahraga.

“Mulai dari sini, kita akan melakukan setengah putaran ke arah jarum jam. ...Ya, seperti ini, ayo teruskan dan lakukan setengah putaran lagi...”

Saat aku sadar untuk tidak melepaskan kontak dekat tubuh kami, tau-tau saja, aku mendapati diriku sedang berdansa seolah-olah aku terbawa oleh arus dari gerakannya Tennoji-san.

Beberapa saat kemudian, musiknya sudah selesai, jadi kami pun berhenti berdansa.

“Bagaimana? Secara mengejutkan kau bisa berdansa dengan lebih baik daripada yang kau pikirkan, bukan?”

“Kau benar..., kurang lebih aku cukup mengerti seluruh prosesnya.”

“Meskipun tadi aku yang memimpin dansanya, tapi kau juga mampu beradaptasi dengan cepat..., sepertinya kau memiliki keterampilan motorik yang baik.”

Iya sih, aku memang secara inheren lebih baik dalam aktivitas fisik daripada etiket atau belajar. Selain itu, aku juga tidak membenci olahraga, jadi dansa ballroom ini mungkin memang merupakan bidang yang cocok untukku.

“Baiklah, ayo kita mulai dari postur hold lagi.”

Sama seperti sebelumnya, aku kembali berdansa dengan mengikuti arahan dari Tennoji-san.

Normalnya, dansa ballroom akan dipimpin oleh pria. Dengan demikian, seharusnya Tennoji-san merasa kesulitan dalam memimpin dansa ini, tapi dia tidak menunjukkan adanya ekspresi kesulitan di wajahnya dan terus membimbing tubuhku untuk bergerak.

“...Fuuh~, ini menggunakan lebih banyak kekuatan fisik daripada yang kukira.”

Setelah terus berdansa selama satu jam, aku menyeka keringat yang menetes dari ujung daguku dengan kerah baju olahragaku.

“Kau benar..., tapi yah, biasanya sih dansa ini dilakukan dengan sedikit relaksasi di dalamnya.”

Mengatakan itu, Tennoji-san juga menyeka keringatnya.

“Ayo, kita lanjutkan lagi latihannya. Nishinari-san, hold.”

“Ya.”

Meluruskan punggungnya dan merentangkan tangannya, Tennoji-san mendekatiku.

Saat aku mengingat apa yang telah dia ajarkan kepadaku dan menyesuaikan postur hold-ku..., aku menyadari sesuatu.

——Transparan.

Mungkin karena Tennoji-san terus berdansa di ruangan yang tidak memiliki ventilasi udara, dia jadi banyak berkeringat, membuat pakaian dalam kuningnya bisa terlihat dari balik baju olahraganya yang menjadi transparan.

Sial.., aku tidak boleh melihat langsung ke arahnya, tapi aku harus memberikan respek kepadanya yang sedang mengajariku berdansa. Karenanya, sambil sebisa mungkin mengalihkan pandanganku darinya, aku mempertahankan postur dansaku.

“Hei, kamu lihatnya ke mana sih?”

Menyadari aku berpaling muka darinya, Tennoji-san langsung menegurku.

“Lihatlah ke arahku dengan baik-baik. Berdansa itu bukan hanya tentang caramu menggerakkan tubuhmu, tapi juga tentang tatapan dan eskpresi wajahmu, tau?!”

“Erm..., kau mungkin benar, tapi...”

Masalahnya di sini ada sesuatu yang tidak boleh aku lihat, dan di saat yang sama itu juga sulit bagiku untuk mengatakan soal itu kepadanya.

Saat aku berpikir tentang bagaimanya caranya agar dia bisa menyadari penampilannya—Tennoji-san meraih wajahku dan memaksaku menatapnya.

“Sini, lihat aku dengan benar seperti ini.”

Atas paksaannya, di bagian depan pandanganku terbentang wajahnya Tennoji-san, tapi di di bagian bawah pandanganku terbentang baju olahraganya yang basah karena keringat dan menempel di kulitnya.

“Erm..., Tennoji-san, sangat sulit bagiku untuk mengatakan ini, tapi...”

Karena dalam posisi ini aku tidak boleh terus-terusan melihat bajunya yang transparan, jadi kuputuskan untuk langsung berterus terang saja kepadanya.

“Erm, bajumu basah karena keringat dan jadi transparan...”

“Bajuku? ........~!!”

Mungkin dia akhirnya menyadari penampilannya, jadi dia langsung menutupi dadanya dengan kedua tangannya.

“P-P-P-Pikirmu kamu lagi melihat kemana! Jangan lihat aku!”

“Maaf!”

Astaga, padahal dia sendiri yang memaksau untuk melihat dirinya.



3 Comments

Previous Post Next Post