Saijo no Osewa Volume 2 - Bab 29

Bab 29
Diam


“Gerakanmu terlalu lambat di bagian ini!”

Satu jam sudah berlalu sejak latihan dansaku dimulai. Setiap kali aku ada membuat gerakan yang salah, Tennoji-san dengan cepat langsung menegurku.

“K-Kok hari ini latihannya lebih berat daripada biasanya sih?”

“Soalnya aku tidak akan menahan diri dalam melatih seorang scammer sepertimu!”

“Astaga..., kalau kau bilang begitu aku jadi tidak punya apa-apa untuk menyangkal.”

Dalam latihan hari ini, aku menyadari bahwa kakiku sudah merasa kelelahan. Harusnya sih, dalam hal kekuatan fisik dan stamina aku masih jauh lebih kuat daripada Tennoji-san, tapi staminaku yang sangat terkuras ini pasti karena aku kebanyakan membuat gerakan yang percuma.

Dan dengan kondisi seperti itu, setelah satu jam kemudian, kami berhenti berdansa.

“Hari ini kita akhiri latihannya sampai di sini.”

“T-Terima kasih bimbingannya...”

Aku menundukkan kepalaku dan kemudian menyeka keringat yang mengalir di wajahku menggunakan punggung tanganku. Di sisi lain, Tennoji-san juga menyeka keringat di wajahnya menggunakan kerah bajunya yang ia regangkan, membuatku langsung mengalihkan pandanganku darinya saat aku bisa melihat pinggangnya yang ramping dan putih terekspos karena bajunya yang terangkat.

“Seperti biasanya, kau mempelajari apa yang diajarkan padamu dengan cepat.”

“...Yah, tapi aku tidak benar-benar merasakan adanya perbedaan dari diriku setelah berlatih beberapa kali.”

“Aku tidak bermaksud untuk memujimu loh. Lagian faktanya kau memang begitu, ketika ada sesuatu yang seharusnya akan memakan waktu dua hari untuk dipelajari, tapi hanya dalam waktu setengah hari kau sudah bisa mempelajarinya... Tampaknya, memang dengan memiliki ambisi yang kuatlah seseorang akan bisa tumbuh dengan cepat.”

Setelah mengatakan itu, Tennoji-san kemudian tiba-tiba tampak seperti sedang memikirkan sesuatu.

“Ada apa?”

“Tidak, cuman sepertinya aku baru saja menyadari apa yang kuminati... Tampaknya, aku ini suka dengan orang yang bekerja keras.”

Gak ada angin gak ada hujan, tiba-tiba Tennoji-san mengatakan itu. Sepertinya, dia mengatakan itu hampir secara tidak sadar. Namun kalau dia sudah mengatakan sesuatu seperti itu, tentunya topik itu jadi agak sulit untuk kuabaikan.

“E-Erm..., kalau kau bilang suka, itu artinya...”

“J-Jangan salah paham! Maksudku, aku hanya menghormati seorang yang bekerja keras!”

“J-jadi begitu ya...”

“Tentu saja! Karena kalau tidak begitu——” Seolah-olah telah kembali tenang, dia kemudian berbicara dengan ekspresi serius yang khusyuk. “....Karena kalau tidak begitu, tidaklah boleh.”

Akhir-akhir ini, Tennoji-san sering sekali menunjukkan ekspresi seperti ini. Dan karena aku tidak tahu harus menanggapinya seperti apa, jadi untuk saat ini kuputuskan untuk mengubah topik pembicaraan.

“Ngomong-ngomong, kau bilang kalau kamu adalah anak angkat, tapi kau tidak punya kesan-kesan seperti itu, ya? Maksudku, tidak sepertiku, kau tidak memiliki kesan orang biasa...”

“Begitulah, bagaimanapun juga sejauh apa yang bisa kuingat adalah aku dibesarkan oleh Keluarga Tennoji. Dalam hal itu, tidak sepertimu, aku tidak perlu merubah perilaku sehari-hariku, jadi aku tidak perlu menaruh banyak upaya dalam perilaku-ku yang selayaknya kaum kelas atas.”

Karena aku sudah terbiasa dengan perilaku orang biasa, jadi aku harus menaruh upaya yang keras untuk beralih ke perilaku yang selayaknya kaum kelas ketas agar dapat menyesuaikan diri di Akademi Kekaisaran ini. Makanya, sekalipun Tennoji-san adalah anak angkat, karena dia dibesarkan oleh Keluarga Tennoji sejak dia masih bayi, jadi tidak sepertiku, dia tidak mengalami peralihan perilaku.

Namun demikian, itu tidak berarti bahwa Tennoji-san tidak menaruh banyak upaya yang keras. Dia hidup sebagai putri dari Keluarga Tennoji..., dengan demikian, dia memiliki tanggung jawab yang besar atas nama yang dia miliki, dimana itu merupakan suatu tekanan yang tidak kumiliki.

“Itu artinya, kau tidak tahu banyak tentang gaya hidup orang biasa, ya.”

“Kau benar, dan itu adalah kebohongan kalau aku bilang aku tidak merasa penasaran dengan itu.”

Bahkan di Akademi Kekaisaran ini pun, ada beberapa murid yang mengetahui gaya hidup orang biasa. Contohnya, Narika, dia sering pergi ke toko jajanan pinggir jalan dan semacamnya.

“Tapi..., saat ini, aku harus fokus pada studiku agar aku bisa mengalahkan Hinako Konohana.” kata Tennoji-san, menampilkan ekspresi penuh tekad.

“...Sebenarnya aku sudah memikirkan ini sejak lama, tapi kau ini orangnya menyukai hal-hal yang berbau persaingan, ya?”

“Ya. Awalnya, aku cuman berusaha untuk menjadi yang terbaik dalam segala hal untuk Keluarga Tennoji..., tapi tau-tau aja, itu sudah menjadi bagian dari sifatku.”

Yah, tentunya, itu memang terdengar sangat khas darinya.

“Apalagi, saat ini... tergantung pada hasil perjodohanku, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku kedepannya. Makanya, selagi masih sempat, aku harus menyelesaikan pertarunganku dengan Hinako Konohana.” katanya, mengepalkan tinjunya yang kecil.

Saat dia menunjukkan tekadnya itu, aku sontak memiliki suatu pertanyaan di benakku.

“Apa yang akan terjadi padamu kedepannya? ...Memangnya akan ada sesuatu yang berubah kalau perjodohanmu sudah ditetapkan?”

“Skenario terburuknya, mungkin aku akan keluar dari akademi ini.”

“...Hah?”

Mataku langsung membelalak terhadap kata-katanya yang sangat tak terduga itu.

“Pria yang mau dijodohkan denganku tinggal agak jauh dari sini... Dan dia ingin agar sesegera mungkin aku tinggal bersamanya setelah perjodohan kami ditetapkan, jadi aku mungkin akan keluar dari akademi ini.”

“T-Tunggu dulu, kok tiba-tiba situasinya jadi begitu...”

“Yah, mungkin ini memang cukup tiba-tiba, toh aku sendiri juga baru mendengar tentang ini tadi malam.” kata Tennoji-san, masih berpikiran rasional. “Tapi bagaimanapun juga, inilah artinya perjodohan... Aku akan mengikuti keinginan keluarga dan mengabdikan diriku pada hubungan antara kedua keluarga. Intinya..., aku berada dalam posisi dimana aku tidak lagi memiliki kebebasan.”

Setelah mengatakan itu, dia langsung terdiam. Kepercayaan diri yang biasanya tampak di dirinya kini tidak terlihat, membuatku yang melihatnya seperti ini memutuskan untuk bertanya kepadanya.

“...Erm, hey? Apa kau benar-benar berpikiran positif mengenai perjodohanmu ini?”

Mendengar pertanyaanku, dia tampak sedih sejenak. Tapi segera, dia menutup matanya, dan kemudian dia mulai tersenyum elegan dan..., menjawabku.

“Aku memilih untuk diam soal itu.”

Jawaban itu—sudah seperti dia mengatakan padaku jawabannya yang sesungguhnya.



2 Comments

Previous Post Next Post