[LN] Saijo no Osewa Volume 2 - Bab 3

Bab 3
Kegundahan Ojou-sama


Keesokan paginya.

Aku bangun pada waktu yang seperti biasa dan segera berganti pakaian ke seragam akademi.

Setelah melakukan beberapa pekerjaan ringan sebagai pelayan, saat aku pergi ke kamarku untuk mengambil tas sekolahku, aku melihat ada Hinako yang berjalan dari sisi lain koridor.

Koridor ini adalah jalan yang mengarah langsung ke ruang makan. Sepertinya, Shizune-san telah membimbingnya sampai setengah jalan ke tempat ini.

“Fuwaa..., selamat pagi, Itsuki...”

“Ya, selamat pagi. Kau mau sarapan?”

“Mm...,” angguknya, dengan raut wajah yang tampak masih mengantuk. “Kuharap kita juga bisa sarapan bareng...”

“Yah, karena aku punya pekerjaan yang harus kukerjakan di pagi hari, jadi aku tidak bisa sarapan bareng sama kamu...”

“...Meskipun di pagi hari kau tidak membangunkanku, kau masih sibuk...?”

“Tentu saja, lagipula ada banyak hal lain yang harus dikerjakan seperti bersih-bersih, mencuci, dan sebagainya. Shizune-san sendiri juga sibuk, bukan?”

Terhadap perkataanku, entah apakah Hinako bisa menerima alasan itu atau tidak, tapi dia hanya menjawab “Mm”. Melihat dia yang seperti itu, aku jadi kepikiran dengan pertanyaan yang ingin kutanyakan kepadanya.

“Ngomong-ngomong, aku penasaran mengapa tiba-tiba kau tidak mau aku bangunkan saat pagi hari?”

“Eh?”

Hinako melontarkan suara aneh, seolah-olah dia habis dipukul di tempat yang menyakitkan.

“T-Tentang itu...”

“Selain itu, dulu kau sering memintaku untuk memangku atau menggendongmu, tapi akhir-akhir ini kau juga tidak ada mengatakan sesuatu seperti itu...”

Sejujurnya, diawal dia menjadi seperti itu aku merasa tertekan. Aku sampai bertanya-tanya apakah aku telah melakukan kesalahan atau semacamnya? Namun demikian, meski dia seperti itu, Hinako masih tampak mempercayaiku. Itu sebabnya, aku penasaran. Aku ingin tahu apa yang menyebabkan dia berubah akhir-akhir ini?

“I-Itu..., aku hanya berpikir aku harus dewasa...”

“Dewasa? Apa ada alasan untuk itu?”

“Ada sih, cuman..., gimana ya bilangnya, aku sendiri juga tidak begitu mengerti...”

Suaranya terdengar bingung seperti apa harus menjawabku, tapi kemudian dia berbicara kembali dengan pelan.

“...Kalau kau mau aku meminta sesuatu seperti itu, maka aku akan memintanya.”

Aku tidak menduga dia akan memberiku tanggapan seperti itu.

Gimana ya aku harus mengatakannya..., jujur saja aku tidak keberatan dengan Hinako yang manja seperti itu. Tapi tetap saja, itu jelas merupakan sesuatu yang tidak bisa kulakukan dengan mudah. Bagaimanapun juga, kontak kulit yang terlalu berlebihan itu berbahaya dalam artian banyak hal.

“Bukannya aku ingin kau meminta itu, tapi..., aku hanya berpikir jika kau tidak manja seperti itu, maka peran pengurus tidaklah ada gunanya.”

“——?!”

Yah, faktanya sih Hinako masih akan tersesat bahkan ketika dia berada di mansion dan akan mencoba untuk tidur kapan pun dia bisa tidur. Selain itu, masih ada banyak juga pekerjaan yang harus dilakukan oleh pengurus, tapi..., saat aku memikirkan sesuatu seperti itu sambil tersenyum masam, kuperhatikan wajah Hinako tampak pucat seolah-olah dia sedang menyaksikan sebuah tragedi.

Dia kemudian mengerutkan alisnya dan menggerakkan bibirnya dalam kegelisahan, hingga akhirnya, dia tampak seolah-olah telah memutuskan sesuatu.

“......Gendong.”

“Hah?”

“Gendong!”

Sudah lama dia tidak meminta sesuatu seperti itu padaku, tapi tidak seperti yang lalu-lalu, nada suaranya terdengar seperti dia sedang menuntut.

Sambil merasa bingung dengan perubahannya, aku mencoba memegang Hinako dengan kedua tanganku. Saat kami sudah cukup dekat untuk kontak kulit, Hinako mengubah posturnya ke samping dan kemudian melingkarkan tangannya di leherku.

Sepertinya, dia ingin digendong seperti tuan putri. Sebenarnya sih aku sedikit malu, tapi..., karena setelah sekian lama dia akhirnya memintaku untuk menggendongnya, aku merasa sedikit bahagia.

Aku pun mengangkat Hinako dengan perlahan.

Di dadaku, kulihat wajah Hinako tampak berwarna merah cerah.

“...Erm, apa ini baik-baik saja?”

“Ini akan baik-baik saja..., jadi bawa aku ke ruang makan seperti ini...”

Saat dia mengatakan itu, Hinako membenamkan wajahnya di dadaku, mungkin karena dia tidak mau aku melihat wajahnya merah cerah. Namun, tetap saja itu tidak bisa menyembunyikan telinganya yang juga tampak merah cerah.

“Untuk kedepannya pun..., aku ingin kau terus mengurusku...,” ucapnya, sambil memegang kerah seragamku.

Melihat dia yang seperti itu, secara tak sadar mulutku jadi mengendur.

“Aku juga, aku tidak berniat untuk berhenti menjadi pengurusmu.”

“...Mm.”

Sepertinya yang kupikirkan, dia berbeda dari biasanya. Tapi, itu bukan berarti dia tidak menyukaiku.

Entah mengapa, ini rasanya seperti dia mulai menganggapku sebagai lawan jenis——

“...Tidak, itu tidak mungkin,” gumamku, dengan suara yang sangat pelan yang Hinako tidak bisa dengar.

Hinako hanya menyukaiku layaknya aku adalah keluarganya yang dapat dia percayai.

Dengan pemikiran untuk meyakinkan diriku seperti itu..., aku membawa Hinako ke ruang makan.

 

Sepulang sekolah di hari Senin.

Saat aku belajar seperti biasanya di kafe yang terletak di samping kantin akademi, kuperhatikan kalau pulpennya Tennoji-san berhenti bergerak.

“Tennoji-san?”

“Eh? ...M-Maaf, aku cuman sedikit kepikiran sama sesuatu.”

Jarang-jarang Tennoji-san terlihat kepikiran sama sesuatu seperti ini. Tapi, hal ini tidak terjadi barusan ini saja, sedari tadi dirinya tampak seperti pemikirannya terfokus pada suatu hal yang lain.

“Kau kenapa? Hari ini kau terlihat seperti sedang sakit.”

“...Tidak, kau tidak perlu cemas kok, aku juga tidak sedang sakit atau semacamnya.”

Setelah mengatakan itu, Tennoji-san mulai menilai lembar jawabanku dengan pulpen merahnya.

“Aku sudah selesai menilai jawabanmu, dan nilainya 98... Sepertinya kau terlalu terfokus dengan pertanyaan penerapan sehingga kau tidak meninjau pertanyaan dasar dengan cukup baik.”

Setelah menilai kuis matematikaku, Tennoji-san segera menjelaskan letak kesalahanku, dan dalam diam, aku mencatat penjelasan dari Tennoji-san.

“Selanjutnya, kita akan latihan etiket meja makan... Tapi sebelum itu, ayo kita istirahat sebentar. Aku juga mau pergi ke toilet dulu.”

Mengatakan itu, Tennoji-san berdiri dari kursinya dan menuju gedung akademi.

Melihat punggungnya menjauh pergi, sekali lagi, aku dibuat merasa bingung dengan sikapnya.

“...Tampaknya Tennoji-san benar-benar tidak baik-baik saja.”

Dia tadi bilang padaku kalau tidak ada apa-apa dengan dirinya, tapi aku yakin kalau dia pasti berbohong.

Kulitnya sih tidak terlihat pucat, dan juga tidak ada yang aneh dari cara dia berjalan. Karenanya, kurasa dia benar soal masalah kesehatannya, tapi dia pasti sedang mengalami masalah pada suatu hal tertentu.

Namun, kalau dia ingin merahasiakan itu, itu akan tidak sopan jika aku bertanya lebih jauh soal masalah yang dia alami. Itu sebabnya, sebisa mungkin, aku ingin membantunya tanpa membuatnya merasa dipaksa untuk menerima bantuanku...

Tapi, saat aku berpikir seperti itu, seorang gadis yang tidak asing lewat di depanku. Gadis itu memiliki rambut hitam yang dia ikat menjadi simpul dan dibentangkan hingga ke pahanya.

“Narika?”

“Hm? ...Oh, bukankah itu Itsuki!”

Saat Narika memperhatikan keberadaanku, dia langsung mendekatiku dengan mata yang tampak berbinar.

Aku tidak menyangka bahwa memanggilnya dengan santai saja akan membuatnya jadi terlihat sangat bahagia seperti ini... Astaga, dia benar-benar sudah seperti seekor anjing yang jinak sampai-sampai aku seperti bisa melihat ada ekor yang bergoyang-goyang di belakangnya.

“Apa kau ada perlu denganku, Itsuki?”

“Tidak, aku cuman sekedar menyapamu saja... Tapi ngomong-ngomong, apa yang kau lakukan di akademi sampai tetap tinggal di sini di jam segini?”

“Yah, itu bukan sesuatu yang merepotkan. Aku hanya bertanya pada pihak akademi apakah produk yang keluarga kami kembangkan bisa digunakan di akademi ini. Kau tahu ‘kan kalau keluarga kami memproduksi barang-barang olahraga? Nah, akademi ini merupakan pelanggan yang baik bagi kami.”

Orang tua Narika, Keluarga Miyakojima, menjalankan pabrik peralatan olahraga. Mereka mungkin mencoba menjual peralatan olahraga yang bisa digunakan di pelajaran olahraga di akademi ini.

“...Jadi itu yang kau lakukan sampai harus tetap tinggal di jam segini.”

“Begitulah, lagipula aku ini adalah putri dari Keluarga Miyakojima. Kau bisa memujiku untuk itu loh?”

“Oooh, hebat, hebat banget.”

“...Bukannya itu justru terdengar seperti ejekan?”

Meskipun dia bilang begitu, namun Narika masih tetap kelihatan senang.

“Ngomong-ngomong, kau sendiri apa yang kau lakukan di sini?”

“Aku lagi belajar bareng dengan Tennoji-san. Kami belajar untuk persiapan menghadapi ujian, dan setelah itu kami akan berlatih etiket.”

“Oh, begitu ya? Meskipun ujian tengah semester baru saja selesai, tapi kau dan Tennoji-san benar-benar sangat serius ya untuk terus belajar.”

“Yah, begitulah... Tapi ngomong-ngomong, nilai kita itu tidak terlalu berbeda, bukan?”

“...Kau benar, mungkin aku juga harus lebih giat belajar lagi.”

Kenyataannya sih, nilainya Narika lebih rendah daripada nilaiku. Dia mungkin memiliki nilai yang mendekati sempurna dalam PJOK dan Sejarah, tapi dalam mapel lainnya, nilainya  berada di bawah rata-rata meskipun nilainya tidak termasuk nilai merah.

Saat kami kehilangan garis singgung topik seperti itu, kami pun terdiam.

Namun, entah mengapa, Narika tampak seperti merasa gelisah.

Oh, sepertinya dia masih punya urusan yang harus dia kerjakan.

“Erm, maaf karena sudah menghentikanmu, sampai jumpa lagi.”

“T-Tunggu dulu!! Bukankah aliran percakapan kita akan mengarah pada kau akan mengundangku ikut belajar bareng?”

“Tidak..., tapi ‘kan kau tidak ada mengatakan apa-apa soal mau ikut.”

“Habisnya ‘kan kupikir kau yang akan mengajakku!” teriak Narika.

Tidak, sekalipun kau bilang begitu...

“Atau apa kau berpikir kalau aku ini adalah orang yang tidak asik untuk diajak belajar bareng?”

“Bukannya begitu......”

“Jujur saja tidak apa-apa... Lagian tempo hari, aku sendiri mendengar teman-teman sekelasku membicarakan rumor seperti itu.”

“...I-Itu pasti berat untukmu.”

“Ya..., sungguh, itu berat sekali.”

Mengatakan itu, Narika tampak seperti akan menangis.

Oh Tuhan, bisakah engkau membuat Narika menjalani kehidupan yang sedikit lebih lembut lagi...?

“Erm... hari ini aku sudah selesai belajar materi akademik, jadi sekarang aku meminta Tennoji-san untuk melatihku dalam etiket meja makan. Kalau kau mau, apa kau mau ikut bergabung dengan kami?”

“G-Gak apa-apa nih? Apa tidak masalah kalau orang yang tidak asik untuk diajak sepertiku bergabung dengan kalian...?”

“Paling tidak menurutku kau itu orang yang asik untuk diajak bergabung dalam melakukan sesuatu, dan kurasa Tennoji-san juga tidak akan keberatan kalau ikut bergabung.”

“I-Itsukiiiiiiii...! Seperti yang kupikirkan, cuman kamu satu-satunya orang yang berada di pihakku...!”

Kalau bisa aku maunya dia secara aktif menjalin pertemanan tanpa harus melalui aku, tapi..., apakah yang kupikirkan itu hanyalah harapan yang mustahil? Namun mengesampingkan soal itu, aku senang hari ini Narika ikut gabung dengan kami.

Karena bagaimanapun juga, aku masih ingin tahu tentang kondisinya Tennoji-san. Kalau misalnya Tennoji-san memiliki masalah yang tidak mau dia ceritakan kepadaku, mungkin dengan adanya Narika yang bergabung dengan kami, Tennoji-san akan mau untuk menceritakan masalah yang dia hadapi.

“Oh, ada Miyakojima-san toh?”

Kembali dari toilet, Tennoji-san menyadari kehadiran Narika.

“Tennoji-san, boleh tidak kalau Narika ikut bergabung dalam latihan etiket meja makan yang akan kita lakukan?”

“Aku tidak keberatan sih, tapi...”

Tennoji-san menatap Narika, dan Narika yang ditatap olehnya langsung membuka mulutnya dengan panik.

“C-Cuman hari ini saja kok!  Akhir-akhir ini aku disibukkan dengan pekerjaan di rumahku, jadi..., erm, kau tahu, aku juga ingin menghabiskan waktuku layaknya anak SMA pada umumnya...”

Singkatnya sih, dia ingin menjadi lebih dekat dengan kami karena dia kesepian.

Melihat Narika yang seperti itu, Tennoji-san mengangguk dan tersenyum lembut kepadanya seolah-olah dia telah memahami kepribadian Narika setelah sesi belajar kelompok dan pesta teh yang kami lakukan sebelumnya.

“Baiklah, yuk gabung sama kami. Nah, kalau begitu, hari ini kita sebut saja latihan ini sebagai makan malam ringan, oke?”

Mendengar itu, ekspresi Narika langsung menjadi cerah.

Aku penasaran, seperti apa kehidupannya Narika sebelum dia bertemu lagi denganku? ...Tapi meskipun aku penasaran, aku sedikit takut untuk menanyakannya, jadi kuputuskan menyegel pertanyaan itu di benakku.

 

“Eh? I-Itsuki..., kau menginap di rumahnya Tennoji-san?”

Sambil menikmati makanan kami di kafe, aku memberi tahu Narika tentang apa-apa saja yang telah terjadi selama sesi belajarku dengan Tennoji-san, membuatnya jadi tampak terkejut.

“Ya, tiba-tiba saja aku jadi harus menginap di rumahnya.”

“I-Itu bukanlah sesuatu yang bisa terjadi secara tiba-tiba, tahu...! A-Aku sudah memikirkan soal ini sejak lama, tapi kok bisa-bisanya sih kau bergaul dengan nama-nama besar seperti Konohana-san dan Tennoji-san?!”

Harusnya, Narika yang merupakan putri dari Keluarga Miyakojima juga termasuk dalam nama-nama besar seperti Hinako dan Tennoji-san. Cuman, dia-nya aja yang merasa kalau dirinya tidak sepantaran dengan kedua orang itu.

“Ngomong-ngomong, Tomonari-san, saat kau tinggal di rumahku, ayahku telah mengakui bahwa etiket meja makanmu sudah cukup baik. Itu sebabnya, kupikir hari ini kita akhiri saja latihan etiket meja makan kita.”

“Baiklah.”

Aku pribadi juga sependapat dengan kata-katanya Tennoji-san.

Bisa dibilang, latihan hari ini adalah semacam konfirmasi akhir. Kalau misalnya di sini aku membuat kesalahan dalam etiket meja makanku, maka aku pasti harus mempelajari etiket meja makan lagi... Tapi, mungkin karena aku pernah makan malam dengan Masatsugu-san, jadi aku merasa bahwa aku mendapatkan keberanian untuk menghilangkan rasa gugupku.

“Tapi ngomong-ngomong...”

Saat kami sementara makan, sesekali aku memperhatikan Narika.

Meskipun tidak sebaik etiketnya Tennoji-san, tapi dia juga bisa beretiket saat dia sedang makan. Dia menggunakan pisau dan garpunya dengan mudah dan tidak membuat suara yang tidak perlu saat dia meminum supnya.

“Narika..., rupanya kau hebat juga ya dalam beretiket.”

“K-Kau berpikir kalau aku ini orangnya tolol ya? Sebelumnya ‘kan aku sudah bilang, gini-gini aku adalah putri dari Keluarga Miyakojima.”

Terhadap kata-kataku, wajah Narika langsung berubah menjadi merah padam.

“Pfft...”

Saat itu, kudengar Tennoji-san tertawa.

“Oh, maaf..., hanya saja kulihat kalian berdua sangat bersenang-senang, jadi tawaku kelepasan.”

Mengatakan itu, Tennoji-san menyeka air mata yang berlinang di sudut matanya.

Baiklah, mungkin ini saat yang tepat untuk menanyakan masalah dia yang alami.

Berpikir begitu, aku menatap Tennoji-san dan bertanya kepadanya.

“Erm, Tennoji-san, apa ada masalah yang sedang kau hadapi? Aku sudah menerima banyak sekali kebaikan darimu, jadi kalau kau mau, kau bisa kok kalau mau curhat sedikit kepadaku.”

Saat aku mengatakan itu padanya, ekspresi Tennoji-san menjadi murung. Tapi kemudian, seolah-olah dia telah mengambil keputusan, dia mulai membuka mulutnya sambil menurunkan pandangannya.

“Sebenarnya, orang tuaku sedang mendiskusikan perjodohan untukku.”

Mendengar satu kalimat itu, aku dan Narika sontak saling memandang.

Mungkin karena aku tumbuh sebagai orang biasa, jadi aku tidak terbiasa dengan cerita semacam itu. Tapi, melalui situasi yang dihadapi Hinako—atau lebih tepatnya situasi yang dihadapi Keluarga Konohana—kurang lebih aku bisa sedikit mengerti.

Pada dasarnya, perjodohan tidak bisa dikatakan sebagai sesuatu yang buruk. Namun, melihat dari fakta bahwa ekspresinya Tennoji-san tampak murung seperti ini, itu artinya...

“Apa kau keberatan kalau kau dijodohkan?”

“Tidak, bukan begitu maksudku.” Sangkal Tennoji-san, bertentangan dengan dugaanku. “Aku adalah putri Keluarga Tennoji, jadi semenjak aku masih kecil aku sudah siap untuk dijodohkan. Hanya saja, karena ini diungkit secara tiba-tiba, jadi aku terkejut..., atau seperti aku merasa gundah dengan situasi seperti ini.”

Sungguh suatu hal yang tidak biasa bagi seorang seperti Tennoji-san akan merasa gundah seperti ini.

“Yah..., meskipun bisa dibilang hal semacam ini sudah menjadi takdir bagi orang-orang seperti kita, tapi tetap saja tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa hal ini merupakan sesuatu yang tidak menyenangkan,” kata Narika, menampilkan ekspresi rumit di wajahnya.

“Apa keluargamu juga sedang membicarakan soal perjodohan untukmu, Narika?”

“Tidak, tapi aku pernah mendengar bahwa nantinya perihal itu pasti akan dibicarakan kepadaku... E-Eh, tunggu dulu, jangan salah paham, oke?! Aku pribadi maunya menikah karena cinta..., j-jadi intinya, aku tidak akan mau kalau aku dijodohkan.”

“B-Begitu ya...”

Aku dibuat bingung saat Narika tiba-tiba memberikan pernyataan yang begitu antusias.

“Selain itu, dalam kasusku, orang tuaku tidak terlalu antusias dengan masalah perjodohan. Dulu aku pernah menanyakan soal itu kepada ayah dan ibuku, tapi mereka langsung mengakhiri topik itu dengan satu kalimat ‘Itu masih terlalu dini untukmu’.”

“...Sepertinya orang tuamu sangat mengerti dirimu, ya.”

“Apa maksudmu?”

Narika tampak bingung, tapi aku mengabaikannya. Karena bagaimanapun juga, saat aku mencoba membayangkan ketika Narika dijodohkan..., aku hanya bisa membayangkan kalau dia akan merasa gugup sepanjang waktu sampai dia tidak akan bertukar sepatah kata apa pun dengan lawan bicaranya.

“Kalau kamu, Tomonari-san..., apa pendapatmu tentang masalah perjodohanku?” tanya Tennoji-san, sambil menatapku.

Mendengar pertanyaan itu, aku berpikir sejenak, dan kemudian menjawabnya.

“Di keluargaku kami tidak pernah membicarakan soal perjodohan atau semacamnya..., jadi sejujurnya, aku tidak begitu tahu soal masalah ini. Tapi, kalau bagimu perjodohan itu adalah hal yang baik, maka aku akan mendukungmu.”

Aku benar-benar serius dalam mengatakan itu. Lagian, aku telah berhutang banyak pada Tennoji-san, jadi sebisa mungkin aku ingin agar aku bisa membantunya.

“Makasih ya..., berkat kalian, aku jadi merasa lebih baik.” Ucap Tennoji-san, mengangkat pandangannya. “Kalau dipikirkan dengan tenang, menerima perjodohan itu bukan berarti bahwa hubungan yang telah kujalin sampai saat ini akan berubah sepenuhnya... Kupikir, aku mungkin terlalu overthinking yang tidak-tidak.”

Melihat Tennoji-san telah semangat kembali, aku menganggukkan kepalaku kepadanya.

“Aku juga..., aku menikmati waktu yang kuhabiskan bersamamu seperti ini, Tennoji-san. Karenanya, sekalipun nanti perjodohanmu sudah diputuskan, aku ingin agar hubungan kita terus berlanjut.”

“A-Aku juga!” kata Narika, sepemikiran denganku.

Dan dengan begitu, kami menyelesaikan makan malam kami dengan Tennoji-san yang telah kembali bersemangat, kemudian kami berpisah.

---

Setelah berpisah dengan Itsuki dan Narika, Mirei menghampiri mobil Keluarga Tennoji yang telah menunggu di depan akdemi.

“Kerja bagus untuk hari ini, Mirei-ojousama.”

“Ya.”

Pelayan membukakan pintu kursi belakang, dan kemudian Mirei masuk ke dalam mobil.

Lalu, di dalam mobil yang mulai melaju, Mirei melihat pemandangan yang berganti-ganti dan mengingat percakapan yang baru saja dia lakukan.

Sungguh..., dia benar-benar orang yang tidak berpikir panjang.

Tanpa ada yang memperhatikan, Mirei menghela napas kecil.

Setelah perjodohanku diputuskan nanti, kita tidak akan bisa lagi menghabiskan waktu bersama-sama saat sepulang sekolah seperti ini...

Jika Mirei sudah memiliki tunangan, maka dia akan ragu untuk bertemu pria lain selain tunangannya kecuali ada keperluan.

Mungkin acara-acara yang ada di akademi bisa membuat mereka menghabiskan waktu bersama-sama, tapi kesempatan bagi mereka untuk menghabiskan waktu bersama secara pribadi pasti akan berkurang. Paling tidak, mereka tidak akan bisa bertemu setiap hari seperti yang mereka lakukan akhir-akhir ini.

Tapi..., Tomonari-san rupanya orang yang lebih acuh tak acuh daripada yang kupikirkan... Dia ‘kan harusnya bisa mengatakan sesuatu yang lebih baik daripada yang dia katakan tadi....

Tadi, Itsuki mengatakan bahwa jika Mirei merasa perjodohan itu adalah hal yang baik, maka dia akan mendukungnya. Apa yang dia ucapkan itu mungkin memang terdengar tulus..., tapi dari sudut pandang lain, itu juga bisa disebut acuh tak acuh.

Padahal tempo hari dia mengatakan sesuatu seperti itu kepadaku...

[Kupikir bekerja bersamamu akan terasa menyenangkan, Tennoji-san.] ——Itulah apa yang tempo hari Itsuki katakan kepada Mirei.

Kata-kata itu—bukankah itu artinya dia ingin terus bisa bersama dengan Mirei bahkan setelah mereka lulus dari akademi?

Berpikir sejauh itu, Mirei tiba-tiba merasakan perasaan yang aneh di dadanya.

“...Ini aneh.”

Mirei telah memutuskan bahwa dia akan hidup untuk Keluarga Tennoji..., dia berpikir bahwa dengan berkontribusi pada Keluarga Tennoji, itu akan menjadi kebahagian terbesar bagi dirinya, tapi... Apa sih sebenarnya perasaan aneh yang kurasakan ini...? Anehnya, Mirei berpikir bahwa dirinya tidak akan merasa bahagia melalui perjodohan ini.

---

Dua minggu sudah berlalu semenjak aku mulai menghabiskan waktuku untuk mengadakan sesi belajar bersama Tennoji-san saat sepulang sekolah. Dan karena sesi belajar ini akan terus kami lakukan hingga ujian berikutnya, jadi bisa dibilang hari ini adalah titik balik dari sesi belajar kami.

“Mulai hari ini, kita akan mulai belajar dansa!”

Di hari yang kurang dari dua minggu lagi sebelum dimulainya ujian, aku dan Tennoji-san ketemuan di gedung olahraga.

“Maaf ya karena sampai membuatmu repot-repot meminjam gedung olahraga ini.”

“Tidak apa-apa.”

Aku berterima kasih pada Tennoji-san yang saat ini mengenakan baju olahraga akademi.

Karena pembelajaran dan latihan etiket meja makan sudah selesai, jadi mulai hari ini kami akan berlatih dansa ballroom. Sebelumnya aku pernah menerima pengenalan simpel tentang dansa dari Shizune-san, tapi kalau mau dibandingkan dengan pengetahuan dan pengalamanku dalam etiket, maka pengetahuan dan pengalamanku dalam dansa sangatlah kurang. Jadi jujur saja, aku tidak punya keperycaan diri dalam mempelajari bidang ini.

“Baiklah, kalau begitu kita akan memulai dengan berlatih slow waltz.”

Mengatakan itu, Tennoji-san memutar musik di speaker yang ditempatkan di sudut gedung olahraga, dan dengan begitu lagu waltz pun dimainkan.

“Loh? Kamu ngapain cuman berdiri diam di situ? Ayo, cepat menghadapku.”

“Y-Ya.”

Dansa ballroom adalah dansa yang dilakukan oleh seorang pria dan wanita dengan saling berhadapan dalam jarak dekat. Itu sebabnya, meskipun akhir-akhir ini aku sering menghabiskan waktu bersamanya, saat aku menyadari bahwa tubuh kami saling dekat, tau-tau saja aku menjadi gugup.

“Lebih dekat lagi.”

“L-Lebih dekat lagi, ya...?”

Meskipun jarak antara aku dan Tennoji-san sudah kurang dari 50cm, tapi dia justru menyuruhku untuk mengambil setengah langkah lebih dekat lagi. Dan di sisi lain, Tennoji-san juga mengambil setengah langkah lebih dekat ke arahku.

Pada akhirnya, jarak diantara tubuh kami menjadi sangat dekat, membuatku jadi bisa merasakan sentuhan lembut serta aroma manis dari dirinya.

“Pegang tangan kananku dengan tangan kirimu, lalu geser tubuhmu sekitar setengah langkah...”

Sambil mati-matian menekan kegugupanku, aku menyesuaikan posisiku sesuai dengan arahannya Tennoji-san. Lalu, aku meletakkan tangan kananku di bahunya, dan dia meletakkan tangan kirinya di lengan atasku.

“Ini adalah postur yang disebut hold. ...Baiklah, sambil mempertahankan postur ini, kita akan mulai berdansa dengan perlahan.”

“Eh? Tapi aku masih tidak begitu tahu caranya berdansa...”

“Tidak apa-apa, ada pepatah yang mengatakan bahwa jauh lebih baik membiasakan diri daripada mempelajarinya. Itu sebabnya, aku yang akan memimpin dansanya, dan kau harus mengikutiku dengan fokus.”

Setelah mengatakan itu, Tennoji-san menggerakkan kaki kanannya, dan seolah terseret oleh gerakannya, aku menggerakkan kaki kiriku. Lalu, sambil terus mengulangi pertukaran gerakan yang sama seperti itu, kami bergerak dengan perlahan ke arah berlawanan dari jarum jam di dalam gedung olahraga.

“Mulai dari sini, kita akan melakukan setengah putaran ke arah jarum jam. ...Ya, seperti ini, ayo teruskan dan lakukan setengah putaran lagi...”

Saat aku sadar untuk tidak melepaskan kontak dekat tubuh kami, tau-tau saja, aku mendapati diriku sedang berdansa seolah-olah aku terbawa oleh arus dari gerakannya Tennoji-san.

Beberapa saat kemudian, musiknya sudah selesai, jadi kami pun berhenti berdansa.

“Bagaimana? Secara mengejutkan kau bisa berdansa dengan lebih baik daripada yang kau pikirkan, bukan?”

“Kau benar..., kurang lebih aku cukup mengerti seluruh prosesnya.”

“Meskipun tadi aku yang memimpin dansanya, tapi kau juga mampu beradaptasi dengan cepat..., sepertinya kau memiliki keterampilan motorik yang baik.”

Iya sih, aku memang secara inheren lebih baik dalam aktivitas fisik daripada etiket atau belajar. Selain itu, aku juga tidak membenci olahraga, jadi dansa ballroom ini mungkin memang merupakan bidang yang cocok untukku.

“Baiklah, ayo kita mulai dari postur hold lagi.”

Sama seperti sebelumnya, aku kembali berdansa dengan mengikuti arahan dari Tennoji-san.

Normalnya, dansa ballroom akan dipimpin oleh pria. Dengan demikian, seharusnya Tennoji-san merasa kesulitan dalam memimpin dansa ini, tapi dia tidak menunjukkan adanya ekspresi kesulitan di wajahnya dan terus membimbing tubuhku untuk bergerak.

“...Fuuh~, ini menggunakan lebih banyak kekuatan fisik daripada yang kukira.”

Setelah terus berdansa selama satu jam, aku menyeka keringat yang menetes dari ujung daguku dengan kerah baju olahragaku.

“Kau benar..., tapi yah, biasanya sih dansa ini dilakukan dengan sedikit relaksasi di dalamnya.”
Mengatakan itu, Tennoji-san juga menyeka keringatnya.

“Ayo, kita lanjutkan lagi latihannya. Tomonari-san, hold.”

“Ya.”

Meluruskan punggungnya dan merentangkan tangannya, Tennoji-san mendekatiku.

Saat aku mengingat apa yang telah dia ajarkan kepadaku dan menyesuaikan postur hold-ku..., aku menyadari sesuatu.

——Transparan.

Mungkin karena Tennoji-san terus berdansa di ruangan yang tidak diterpa angin, dia jadi banyak berkeringat, membuat pakaian dalam kuningnya bisa terlihat dari balik baju olahraga putihnya yang menjadi transparan.

Sial.., aku tidak boleh melihat langsung ke arahnya, tapi aku harus memberikan respek kepadanya yang sedang mengajariku berdansa. Karenanya, sambil sebisa mungkin mengalihkan pandanganku darinya, aku mempertahankan postur dansaku.

“Hei, kamu lihatnya ke mana sih?”

Menyadari aku berpaling muka darinya, Tennoji-san langsung menegurku.

“Lihatlah ke arahku dengan baik. Berdansa itu bukan hanya tentang caramu menggerakkan tubuhmu, tapi juga tentang tatapan dan eskpresi wajahmu, tau?!”

“Erm..., kau mungkin benar, tapi...”

Masalahnya di sini ada sesuatu yang tidak boleh aku lihat, dan di saat yang sama itu juga sulit bagiku untuk mengatakan soal itu kepadanya.

Saat aku berpikir tentang bagaimanya caranya agar dia bisa menyadari penampilannya saat ini—Tennoji-san meraih wajahku dan memaksaku menatapnya.

“Sini, lihat aku dengan benar seperti ini.”

Atas paksaannya, di bagian depan pandanganku terbentang wajahnya Tennoji-san, tapi di di bagian bawah pandanganku terbentang baju olahraganya yang basah karena keringat dan menempel di kulitnya.

“Erm..., Tennoji-san, sangat sulit bagiku untuk mengatakan ini, tapi...”

Karena dalam posisi ini aku tidak boleh terus-terusan melihat bajunya yang transparan, jadi kuputuskan untuk langsung berterus terang saja kepadanya.

“Erm, bajumu basah karena keringat dan jadi transparan...”

“Bajuku? ........~!!”

Mungkin dia akhirnya menyadari penampilannya, jadi dia langsung menutupi dadanya dengan kedua tangannya.

“P-P-P-Pikirmu kamu lagi melihat kemana! Jangan lihat aku!”

“Maaf!”

Astaga, padahal dia sendiri yang memaksau untuk melihat dirinya.

 

Setelah Tennoji-san mengganti baju olahraganya yang basah karena keringat ke baju olahraga cadangannya, kami melanjutkan latihan dansa kami dengan berdansa waltz selama hampir satu jam.

“...Gerakanmu sudah menjadi lebih baik lagi.”

“Terima kasih."

Setelah berputar ke arah kanan, kami kemudian berputar dengan natural ke arah kiri. Timing ketika kapan kami harus membuka kaki dan kapan harus menutup kaki haruslah tepat, karena jika timing-nya buruk, maka dansanya akan menjadi berantakan.

Alasan mengapa aku bisa berdansa dengan nyaman lebih daripada yang kupikirkan ini dikarenakan Tennoji-san menyesuaikan gerakannya dengan gerakanku. Ketika ada saat dimana kakiku terbuka terlalu lebar, Tennoji-san akan langsung meresponnya dengan gerakan yang fleksibel. Aku yakin, dia pasti memiliki tubuh yang lentur, jadi ketika aku mengikuti gerakannya yang sangat lembut itu, aku merasa seperti kekakuan tubuhku jadi melentur juga sepertinya.

“Hari ini kita sudahi latihannya sampai sini saja. Sepertinya karena ini adalah pertama kalinya kita memulai latihan dansa, kita menjadi sedikit terlalu bersemangat.”

“Kau benar..., kekuatan fisikku juga sudah diujung tanduk.”

Selain itu, mungkin karena aku menggunakan otot yang biasanya tidak kugunakan, jadi aku juga merasa sangat lelah.

“N-Ngomong-ngomong...”

Saat aku mengemasi barang-barangku, Tennoji-san memanggilku dengan suara yang kedengarannya seperti ragu-ragu mau mengatakan sesuatu.

“...Untuk kedepannya, kalau-kalau kau mendapati pakaianku jadi transparan lagi, tolong langsung beritahukan itu kepadaku... Maksudku, erm, aku akan malu jika aku terlambat menyadarinya,” ucap Tennoji-san, dengan ekspresi malu-malu.

“Tidak, tapi ‘kan..., bukankah akan lebih baik jika kau sendiri yang menyadarinya terlebih dahulu... Maksudku, jika aku yang memberitahumu soal itu, maka itu berarti aku sudah sempat melihatnya...”

“T-Tidak apa-apa kok, lagipula aku percaya kalau kamu bukan tipe orang yang aneh-aneh...”

Astaga, bagaimana bisa dia mempercayaiku seperti ini? Memang sih, karena aku telah banyak berhubungan dengan Hinako, jadinya aku telah mengembangkan sedikit  toleransi terhadap sesuatu seperti itu, tapi bahkan aku pun juga punya batasan untuk apa yang dapat kutoleransi.

Tapi yah, bisa dibilang ini juga merupakan bukti bahwa Tennoji-san mempercayaiku. Karenanya, aku menganggukkan kepalaku kepadanya sebagai balasan atas kepercayaannya.

Saat aku berjalan keluar dari gedung olahraga setelah membereskan peralatan yang digunakan untuk berdansa, sinar jingga Matahari sore langsung menerpa wajahku. Rupanya, Matahari sudah mau terbenam.

“Aku sudah terbiasa melakukan dansa ballroom seperti ini, tapi mungkin ini adalah pertama kalinya aku berdansa dalam jangka waktu yang lama,” gumam Tennoji-san, sambil mengelus rambutnya yang berkeringat.

“Apa keluarga yang sekelas dengan keluargamu memiliki banyak kesempatan untuk melakukan dansa ballroom?”

“Tidak, kurasa itu tergantung pada orangnya.” Saat kami berjalan, Tennoji-san memberiku penjelasan. “Tidak seperti acara jamuan makan biasa, pesta dansa adalah acara yang hanya bisa dihadiri dengan persiapan yang matang. Dalam kebanyakan kasus, biasanya kau akan menerima undangan terlebih dahulu dan setelah itu menginformasikan apakah kau ingin hadir atau tidak. Orang-orang yang tidak mahir dalam berdansa ballroom biasanya akan memilih untuk tidak hadir.”

“Begitu ya... Jadi tidak seperti undangan jamuan makan, dalam hal pesta dansa mudah untuk menolak undangan karena ada perbedaan antara orang yang suka dan tidak suka berdansa?”

“Ya. Tapi jika kau memutuskan untuk menghadiri pesta dansa, selain akan memalukan jika diketahui kalau kau buruk dalam berdansa, menjadi wall flower pun juga sama memalukannya. Makanya, karena ini adalah semacam kebudayaan, jadi dansa ballroom adalah hal yang baik untuk dipelajari.”

Terhadap kata-kata itu, aku menganggukkan kepalaku.

[Catatan Penerjemah: Maksudnya wall flower itu orang yang hanya akan menonton di dekat dinding ketika orang lain sedang berdansa.]

“Aku pribadi jarang diundang datang ke pesta dansa, jadi aku tidak tahu kapan aku akan mendapatkan kesempatan untuk melakukan dansa ballroom..., tapi kalau nantinya aku mendapatkan kesempatan itu, aku ingin aku bisa berdansa dengan baik di depan banyak orang.”

Asalkan aku bisa menguasai tekniknya, maka aku yakin aku akan bisa berdansa dengan baik. Karena kalau misalnya nanti akan ada pesta dansa yang diikuti Hinako, maka bisa jadi itu juga akan menjadi debut dari dansa ballroom-ku.

“...Tapi kurasa, kita tidak akan bisa berlatih bersama seperti ini untuk waktu yang lama.” Sambil mengalihkan pandangannya, Tennoji-san berseru. “Karena jika perjodohanku telah diputuskan, maka kita tidak akan bisa lagi menghabiskan waktu bersama-sama saat sepulang sekolah seperti ini.”

“...B-Begitu ya?”

“...Ya, karena bagaimanapun juga aku akan memiliki pria yang di masa depan nanti akan menikahiku, jadi aku harus menghabiskan waktu luangku sebanyak mungkin untuknya.”

Kalau kupikir-pikir lagi, dia memang benar. Jika dia sudah punya tunangan, maka dia akan segan untuk bertemu dengan pria lain secara pribadi sesering yang dia mau.

“...Kurasa itu akan membuatku kesepian.”

Saat aku menggumamkan itu, mata Tennoji-san membelalak dan langsung menatapku.

“Kesepian?”

“Ya... Sebelumnya aku juga sudah bilang, ‘kan? Aku sangat menikmati apa pun yang  kulakukan bersamamu. Jadi jujur saja, aku pasti akan merasa sepi dan merindukan waktu-waktu seperti ini.”

Saat aku mengatakan apa yang benar-benar kurasakan, pipinya Tennoji-san jadi memerah dan dia langsung memalingkan wajahnya dariku.

“B-Begitu ya...”

Karena aku mendapatkan reaksi yang aneh darinya, sontak saja aku jadi merasa kebingungan. Mungkinkah, apa yang kukatakan tadi itu terdengar terlalu sok akrab?

“...Fufu~”

Memunggungiku, Tennoji-san tertawa kecil.

“Ada apa, Tennoji-san?”

“T-Tidak ada apa-apa.”

Tennoji-san menggelengkan kepalanya, dan entah kenapa dia terlihat panik.

“Kalau begitu, sampai jumpa besok, Tomonari-san.”

“Ya, sampai jumpa besok.”

Sesampainya di gerbang kami, aku dan Tennoji-san langsung berpisah.

Dari belakang, kulihat dia tampak lebih bahagia daripada biasanya.

---

“Fufu~”

Setelah berpisah dengan Itsuki dan kembali ke mansion, Mirei secara natural tersenyum saat dia menuju ke kamarnya.

“...Fufufu~”

Meskipun beberapa waktu yang lalu dia melatih Itsuki berdansa hingga dia lelah dan berkeringat, tapi anehnya perasaan lelah itu hilang entah kemana sampai-sampai membuat langkah kakinya menjadi sangat ringan.

[Aku sangat menikmati apa pun yang kulakukan bersamamu. Jadi jujur saja, aku pasti akan merasa sepi dan merindukan waktu-waktu seperti ini.]

Semenjak dia berpisah dengan Itsuki tadi, kata-kata yang Itsuki katakan kepadanya terus terngiang-ngiang di benaknya, dan setiap kali kata-kata itu terngiang, dia merasakan suatu perasaan yang hangat di hatinya.

Merasa sepi... Menempatkan tangannya di dadanya, Mirei bergumam di dalam hati. Merasa bersenang-senang dan menikmati apa yang kami lakukan..., sepertinya bukan hanya aku saja yang merasakan perasaan itu.

Bukan hanya dirinya yang merasakan perasaan bercahaya tersebut. Apa yang Itsuki ucapkan kepadanya membuat pemikiran yang dia miliki di alam bawah sadarnya itu telah terbukti benar. Dan tentunya, itu bukanlah kesalahpahaman ataupun ilusi, tapi itu adalah fakta bahwa dia mempunyai perasaan yang sama dengan Itsuki.

Gimana ya supaya hari-hari seperti ini bisa terus berlanjut... tiba-tiba, dia mendapati dirinya memikirkan itu.

Bagaimanapun juga, jika perjodohannya sudah diputuskan, maka kesempatannya untuk bisa bertemu dengan Itsuki akan berkurang.

Oh iya, bagaimana kalau aku mengundangnya saja sebagai tamu dari Keluarga Tennoji...

Dengan mengundang Itsuki sebagai tamu, dia masih akan tetap bisa bertemu dengan Itsuki sekalipun perjodohannya telah diputuskan. Dan sama seperti sebelumnya, mereka akan bisa mengadakan pesta teh, belajar bareng, dan berlatih berdansa.

Mata Mirei tampak berbinar saat pemikiran tersebut terbesit di benaknya, tapi...

“...Astaga, bisa-bisanya aku berpikir bodoh seperti itu!?”

Ketika dia kembali berpikir dengan tenang, dia sadar bahwa tidak mungkin dia bisa melakukan itu. Karena bagaimanapun juga, bagi Keluarga Tennoji, Itsuki bukanlah apa-apa selain hanya seorang siswa SMA. Itu sebabnya, tidak ada alasan yang penting untuk membuat Itsuki menjadi tamu Keluarga Tennoji.

“Mirei?”

Pada saat itu, dari belakang Mirei, terdengar seseorang memanggil namanya.

Saat dia berbalik, dia melihat bahwa orang yang memanggilnya adalah ibunya, Hanami Tennoji.

“Ada apa, Ibu?”

“Harusnya aku yang bilang begitu~. Tadi kulihat kau bersenandung senang pas di lorong, jadi aku ingin tahu apa ada sesuatu yang terjadi padamu...”

“Tidak ada apa-apa, aku hanya sedang memikirkan sesuatu...,” kata Mirei, mencoba untuk menyembunyikan perasaannya.

“Mirei, akhir-akhir ini..., kau kelihatan sangat bersenang-senang.”

“Maksudnya?”

“Apa kau tidak sadar? Semenjak kau mulai menghabiskan waktumu bersama Tomonari-san ketika kalian pulang sekolah, setiap harinya kau jadi tampak sangat bersenang-senang.”

Mirei tidak pernah menyangka bahwa sudah sejak awal dirinya merasa bersenang-senang. Karena bagaimanapun juga, baru beberapa saat yang lalu dia menyadari bahwa dirinya merasa seperti itu.

“Mirei, bagimu, Tomonari-san itu orang yang seperti apa?”

“Mengapa Ibu ingin tahu soal Tomonari-san?”

“Loh~? Bagaimanapun juga dia adalah orang mempengaruhi putriku, jadi wajar saja ‘kan kalau aku ingin tahu soal dia~?” ucap Hanami, terdengar merasa bahagia.

“Yah..., bagiku, Tomonari-san adalah orang yang sangat berdedikasi.” Jawab Mirei, saat dia mengingat hari-hari yang telah dia habiskan bersama Itsuki. “Awalnya, kupikir dia adalah orang yang biasa saja dan tidak memiliki kepercayaan diri..., tapi rupanya dia adalah orang yang memiliki aspirasi. Dia adalah seorang yang memiliki tekad kuat untuk mengubah dirinya sendiri, dan dia sangat menghargai hari-harinya yang dia habiskan di akademi.”

Saat mereka pertama kali bertemu, Itsuki menampilkan postur yang buruk dan sikap yang tidak berpendirian pada Mirei. Tapi kemudian, apa yang membalikkan kesan itu adalah semangat jujur yang Itsuki tunjukkan di pesta teh dan sesi belajar sebulan yang lalu, serta semua yang telah dia dan Mirei lakukan akhir-akhir ini saat mereka pulang sekolah.

“Etiket meja makannya yang awalnya tampak seperti kaku-kaku, kini menjadi sangat terbiasa. Tentunya, tidak diragukan lagi bahwa itu adalah berkat pengajaranku yang baik, tapi lebih daripada itu, Tomonari-san mempelajarinya dengan sikap yang serius sehingga dia bisa menguasainya dengan cepat.”

Kenyataannya, Mirei tidak menyangka kalau Itsuki akan bisa mempelajari etiket meja makan secepat ini. Dan hal ini membuat Mirei yakin bahwa Itsuki tidak hanya akan mempelajari itu saat sesi belajar mereka, tapi juga saat dia sudah pulang kerumah. Itu sebabnya, Mirei menghormati sikap Itsuki yang seperti itu.

“Bahkan dalam latihan dansa hari ini, dia berusaha sangat keras untuk bisa menguasainya..., jadi aku dibuat tidak sabar untuk melihat akan sampai seberapa jauh dia berkembang.”

Mirei bahkan sampai kepikiran apakah saat ini Itsuki sudah sampai dirumah dan melakukan peninjauan tentang apa yang telah dia pelajari hari ini? Dan saat dia berpikir seperti itu, entah mengapa pemikiran itu menimbulkan perasaan bahagia di hatinya.

“Sepertinya kau telah bertemu dengan teman yang baik.”

“Ya. Selain itu, dari melihat diri Tomonari-san, aku jadi mendapatkan banyak inspirasi. Karenanya, untuk kedepannya aku ingin agar aku bisa terus bersamanya——”

Saat Mirei mengatakan itu, kepalanya dengan cepat menjadi dingin. Dia mendapati bahwa dirinya sangat menghargai hari-hari yang mereka habiskan akhir-akhir ini lebih daripada yang dia pikirkan, sampai-sampai membuat dia melontarkan keinginan itu dari mulutnya.

Tapi, hari-hari seperti itu akan berakhir.

Mulau kedepannya, dia harus menghabiskan waktunya bersama dengan jodoh yang disiapkan oleh ayah dan ibunya.

“.....Kuharap, orang yang ditunangkanku denganku adalah orang yang sama seperti dirinya,” gumam Mirei, dengan suara yang terdengar sedih.

Pada dasarnya, Mirei tidak ingin ibunya tahu apa yang dia rasakan. Dia mengerti bahwa dia tidak boleh mengatakan pada ibunya bahwa meskipun hanya sedikit, dia masih tetap merasa kecewa dengan perjodohan ini.

“Mirei, aku sudah mengatakan ini berkali-kali padamu, tapi kamu tidak perlu memaksakan dirimu untuk menerima perjodohan ini kok? Kuperhatikan kau punya kebiasaan untuk memaksakan diri dalam beberapa hal, tapi aku maunya kamu hidup dengan lebih bebas...”

“...Tidak perlu khawatir soal itu, Ibu...,” menyela kata-kata ibunya, Mirei berseru, “Aku hidup dengan bebas.”

“......Begitu ya.”

Seperti biasanya, Mirei mengatakan itu dengan bermartabat dan dibarengi senyuman indah yang akan membuat siapa pun yang melihatnya jadi terpana. Namun di sisi lain, sang Ibu hanya bisa menganggukkan kepalanya dengan ekspresi agak sedih di terhadap apa yang putrinya katakan.

“Mengenai perjodohanmu, tidak lama lagi kita akan bertemu dengan pihak keluarga pria. Jadi..., bisakah kau segera meluangkan waktumu untuk itu?”

“Tentu saja.” Membunuh perasaan yang bergejolak di dalam hatinya, Mirei menganggukkan kepalanya.

Sebagai putri dari Keluarga Tennoji, dia tahu bahwa dirinya tidak boleh menyadari perasaan ini.

Tapi meski begitu....

Jika dia diizinkan untuk mengatakan satu unek-uneknya..., maka dia ingin agar masalah perjodohan ini seharusnya diberitahukan kepadanya sebelum dia bertemu dengan Itsuki.

---

Sekarang, aku sudah mulai terbiasa dengan latihan dansa dari Tennoji-san.

Dansa ballroom yang kami lakukan ini adalah dansa yang dilakukan oleh pria dan wanita dalam kontak dekat satu sama lain. Jadi pada awalnya, aku merasa minder bahwa aku akan menunjukkan penampilan yang memalukan, tapi ketika aku melihat sikap serius Tennoji-san dalam mengajariku, perasaan minder itu langsung menghilang begitu saja.

“Baiklah, hari ini kita akhiri sampai di sini saja,” kata Tennoji-san, lalu dia menyeka keringatnya dengan ringan.

Saat aku melihat jam, kulihat bahwa hari ini kami baru berlatih selama satu jam.

“Hari ini latihannya lebih cepat daripada biasanya.”

“Ya. Sebenarnya aku pribadi ingin melanjutkannya sebentar lagi..., tapi hari ini aku punya urusan.”

“Urusan?”

Saat aku bertanya balik dengan santai, entah mengapa ekspresinya Tennoji-san langsung menjadi mendung.

“...Sebelumnya aku sudah mengatakan padamu kalau aku akan dijodohkan, bukan? Hari ini rencananya aku akan bertemu dengan calon tunanganku.”

Saat dia memberitahuku hal tersebut, ekspresinya masih tetap tampak mendung.

“Erm..., apa kau tidak mau menerima perjodohan itu, Tennoji-san?”

“Mengapa kau berpikir begitu?”

“Soalnya kau tidak terlihat antusias dengan masalah perjodohanmu ini.”

Sampai saat ini, aku berniat untuk mendukung Tennoji-san dalam perjodohannya karena kupikir baginya ini merupakan hal yang baik. Dan juga, sebelumnya Tennoji-san mengatakan bahwa dia hanya merasa terkejut dengan perjodohannya yang tiba-tiba ini, dan bukannya dia merasa tidak nyaman dengan perjodohan itu sendiri.

Tapi, kebenarannya mungkin tidaklah demikian.

Karenanya, sekali lagi, aku mau bertanya kepada Tennoji-san tentang apa yang sebenarnya dia rasakan, tapi——

“Kau tidak perlu mencemaskan itu, aku sangat positif kok mengenai perjodohan ini.” Jawab Tennoji-san, dengan senyum yang menipu. “Selain itu..., mengingat posisi yang kumiliki, jadi aku harus menerima perjodohan ini.”

“Posisi...?”

“Ya, dan mumpung kita lagi ngomongin soal ini, jadi ada yang ingin kukatakan kepadamu, Tomonari-san.” Dengan ekspresi yang tidak seperti sebelumnya, Tennoji-san menatapku. “Sebenarnya..., aku adalah anak angkat.”

Kelopak mataku langsung melebar ketika mendengar pernyataan itu. Tapi kemudian, Tennoji-san melanjutkan ceritanya dengan tenang.

“Tapi meskipun aku adalah anak angkat, karena aku diasuh oleh Keluarga Tennoji sejak aku masih bayi, jadi aku tidak benar-benar merasa kalau aku ini adalah anak angkat..., tapi tetap saja, pada dasarnya aku bukanlah putri kandung Keluarga Tennoji.”

Raut wajahnya sedih, tapi dia masih terus berbicara.

“Baik ayah dan ibuku memperlakukanku layaknya aku adalah putri kandung mereka sendiri. Namun demikian, itu tetaplah fakta yang tak bisa disangkal bahwa di nadiku tidak ada darah Keluarga Tennoji yang mengalir... Itu sebabnya, aku harus berperilaku dengan lebih pantas sebagai putri dari Keluarga Tennoji, sehingga sekalipun aku tidak meneruskan garis darah mereka, tapi setidaknya aku harus meneruskan prestasi mereka. Dan itu sudah menjadi tugas yang wajib untuk kulakukan.”

Entah bagaimana aku berhasil membuat otakku yang kebingungan bekerja dan memilah apa yang barusan dikatakan oleh Tennoji-san.

Dengan kata lain, Tennoji-san berpikir bahwa dia tidak boleh mengecewakan harapan Keluarga Tennoji karena posisinya sebagai anak angkat. Dan dia juga berpikir bahwa ini adalah tugas yang wajib dia lakukan.

“T-Tunggu sebentar...”

Saat aku memilah-milah apa yang dia katakan, aku merasa bahwa ada salah satu asumsi yang kumiliki sampai sekarang jadi runtuh.

“Tennoji-san..., apa kau bertunangan karena itu adalah kewajibanmu?”

Menanggapi pertanyaanku, Tennoji-san tersenyum tipis dan menganggukkan kepalanya.

“Ya. Tapi bagi orang-orang kelas atas seperti kita, persoalan semacam ini adalah hal yang lumrah.”

Dia mungkin benar, tapi...

Apa ini tidak apa-apa?

Apa benar-benar tidak apa-apa untuk membiarkan semuanya berjalan seperti ini?

Saat aku mendengarkan permasalahan ini, yang langsung terlintas di pikiranku adalah Hinako. Berkat hubungan yang telah kujalin dengan Hinako, aku jadi sangat mengetahui bahwa jika kau melakukan apa yang orang tuamu katakan kepadamu, bukan berarti dengan begitu kau akan bahagia.

Namun dalam masalah kali ini, Tennoji-san sendiri merasa tidak masalah dengan situasinya saat ini. Jadi sebagai orang luar, aku harusnya tidak mengatakan apa-apa, tapi sekalipun aku tahu akan hal itu, tetap saja ini masih menggangguku.

“Kasusku mungkin memang agak tidak biasa..., tapi aku yakin kalau kau akan bisa mengerti situasiku...”

“Apa maksudmu...?”

“Karena..., kau juga adalah anak angkat, ‘kan?”

Kata-kata itu dilontarkan secara tak terduga kepadaku, membuatku menjadi tercengang dengan mulut yang ternganga.

“Apa kau masih ingat tentang apa yang kukatakan di sesi belajar kelompok yang dulu diikuti Konohana-san dan teman-teman lainnya?”

Aku langsung teringat.

Di waktu istirahat sesi belajar kelompok kami saat itu, Tennoji-san bertanya padaku, [Apa kau benar-benar putra pewaris dari sebuah perusahaan menengah?]

“...Seingatku, saat itu kau mengatakan kalau etiket yang kutunjukkan bukanlah etiket dari seseorang yang dididik sebagai pewaris perusahaan.”

“Ya. Pada saat itu, aku menebak identitasmu... Aku berpikir bahwa kau itu sama denganku..., kau mencoba memenuhi kewajibanmu untuk melindungi nama keluargamu.”

Tampaknya, dengan pemikiran yang dia miliki itu, dia jadi mendapatkan kesimpulan bahwa aku adalah anak angkat dari keluargaku, tapi sayangnya——dia salah.

Dia mungkin benar dalam poin yang mengatakan bahwa aku sama sepertinya yang mencoba memenuhi kewajibanku untuk melindung nama keluarga. Namun, nama keluarga yang kulindungi di sini adalah Keluarga Konohana. Selain itu, aku tidak diadopsi oleh mereka, melainkan aku hanyalah seorang pelayan yang dipekerjakan oleh mereka.

Tentunya, aku tidak bisa menjelaskan hal tersebut kepada Tennoji-san karena itu akan melanggar kontrak antara aku dan Keluarga Konohana.

Selain itu, bukannya aku ini orang yang mahir dalam berpikiran mendalam atau semacamnya, tapi tetap saja aku masih bisa membayangkan akan seberapa banyak masalah yang akan dihadapi oleh Keluarga Konohana jika aku mengungkapkan identitasku di sini.

“...Tolong rahasiakan soal itu.”

“Tentu saja... Fufufu, sepertinya mataku ini memang tidak salah.”

Tennoji-san tersenyum, dan saat aku melihatnya senyumannya itu, kurasakan perasaan yang sakit mencuat di dadaku. Perasaan itu..., itu merupakan suatu perasaan sakit yang sampai saat ini belum pernah kurasakan... Rasa Bersalah.

---

“...Itsuki?”

Beberapa saat setelah aku pulang ke mansion Keluarga Konohana.

Di ruang makan, dengan perasaan bingung Hinak memanggilku yang berhenti makan malam.

“O-Oh, maaf, kita lagi bicara’in apa tadi?”

“...Soal mau bolos akademi...”

“Kupikir kau tidak boleh melakukan itu. Selain itu, kurasa yang kita bicarakan tadi bukanlah itu.”

Terhadap kata-kataku, Hinako menampilkan ekspresi yang imut dan mengatakan “Te~-he”.

Oh iya, seingatku tadi kami lagi berbicara tentang pembelajaran di akademi. Karena kami sama-sama harus melakukan persiapan ataupun ulasan materi, meskipun nilai kami berbeda, tapi ada banyak poin yang bisa kami diskusikan.

“Itsuki..., selanjutnya aku ingin makan yang ini...”

“...Kau ‘kan bisa makan sendiri?”

“...Gak bisa.”

Inginku berkata [Pembohong], tapi karena itu akan tidak sopan, jadi aku hanya menjawab “Ya, ya” sambil menyendok tumis daging babi di piring dan menyuapkannya ke mulut Hinako.

Sementara Hinako sedang mengunyah, aku juga mengambil satu gigitan dan memakannya... Oh, ini enak. Saus krim yang dicampur dengan mustard memberikan tekstur rasa yang lembut.

“Ngomong-ngomong, kapan kau belajar saat sedang berada di mansion, Hinako?”

“Saat setelah pulang ke mansion dari akademi sampai waktu makan malam. Kadang-kadang, setelah itu aku juga disuruh belajar lagi...”

Mendengar dia mengatakan kata ‘disuruh’ terdengar benar-benar khas dari dirinya.

“Jika di malam hari kau juga belajar..., itu artinya cukup lama juga waktu yang kau habiskan untuk belajar.”

“Tapi itu bukan hanya tentang mempelajari materi akademi... Aku harus mengetahui pencapaian Grup Konohana agar bisa mengikuti topik pembicarakan ketika berada di jamuan makan... Aku juga belajar agar ketika aku mengikuti rapat, aku mengetahui apa yang sedang didiskusikan dalam rapat tersebut...”

Kalau kupikir-pikir lagi, meski aku dan Hinako tinggal di mansion yang sama, tapi kami tidak selalu melakukan sesuatu bersama. Terutama antara sepulang sekolah dan makan malam, aku menerima pelajaran dari Shizune-san dan Tennoji-san. Selama waktu-waktu itu, Hinako sendiri juga pasti belajar dengan keras.

Tennoji-san bukanlah satu-satunya orang yang mengemban kewajiban keluarga. Hinako pun juga demi keluarganya belajar hari demi hari——

“...Tidakkan kau merasa tidak senang dengan kewajiban seperti itu?”

Hampir secara tidak sadara aku mengucapkan pertanyaan itu—dan segera aku langsung sadar sepenuhnya. Harusnya aku tahu betul tentang kesulitan yang Hinako hadapi, tapi aku justru mengajukan pertanyaan itu seolah aku tidak tahu apa-apa.

“Maaf, bukannya bermaksud menyepelekan, tapi..., aku hanya ingin tahu bagaimana perasaanmu sebagai putri dari Keluarga Konohana dalam menghadapi kewajibanmu.”

Saat aku mengatakan itu, Hinako mengerang “Hmm” seolah bingung harus menjawabku seperti apa.

“Untuk belajar sih..., itu merepotkan.”

Yah, itu mungkin benar, atau lebih tepatnya jelas merepotkan.

“Tapi..., aku tidak suka jika ada seseorang yang sedih karena aku..., jadi kadang-kadang aku merasa bahwa aku harus melakukan yang terbaik..., dan tentu saja kadang-kadang aku juga merasa tercekik dengan hal-hal yang menyangkut kewajiban keluarga.”

Jadi begitu, ya. Seperti yang kupikirkan, ada kalanya Hinako merasa tercekik dengan lingkungan keluarganya sendiri.

Yah itu wajar, karena dia bahkan bisa menjadi sangat kelelahan sampai-sampai dia mengalami demam. Hanya saja, ini adalah pertama kalinya aku mendengar itu dari mulutnya sendiri, jadi sekali aku dibuat sadar dengan pentingnya fakta tersebut.

“Itu sebabnya..., aku sangat senang ketika saat itu kau datang menyelamatkanku...,” ucap Hinako, tersenyum bahagia.

“Aku jadi belajar bahwa Keluarga Konohana bukanlah satu-satunya dunia yang kumiliki...”

Lebih daripada melihat bintang jatuh, mataku sangat terpana saat melihat senyuman indah di wajahnya itu.

Tapi, ada wajah gadis di dalam pikiranku.

Tennoji-san bilang bahwa perjodohan adalah hal yang lumrah bagi orang-orang sekelasnya.

Aku ingin tahu..., apa dia tahu tentang dunia di luar Keluarga Tennoji?

---

Di hari itu, Mirei bertemu dengan calon tunangannya.

Tempat pertemuannya adalah rumah tempat Mirei tinggal saat ini, yaitu mansion Keluarga Tennoji. Kebanyakan orang yang pertama kali mengunjungi mansion ini biasanya akan tampak tercengang, tapi tidak ada tanda-tanda seperti itu yang terlihat dari pihak keluarga pria.

Perilaku dari calon tunangannya pun sangat khas dari seorang yang berada di kalangan kelas atas, dan kata-kata serta perbuatannya pun penuh dengan budi pekerti dan luhur. Dalam hal ini, Mirei mengerti bahwa pria itu memang layak untuk dipilih oleh ayah dan ibunya untuk menjadi calon tunangannya.

Tapi sekalipun begitu..., hati Mirei masih tetap mendung.

“Baiklah, hari ini pertemuannya kita akhiri sampai di sini saja.”

Hanami, ibunya Mirei, menyerukan akhir dari jamuan makan malam. Dan dengan begitu, si calon tunangan dan ibunya menyapa mereka dengan sopan sebelum mereka meninggalkan mansion.

“Kerja bagus untuk hari ini, Mirei~”

“Ya, ibu.”

“Bagaimana pendapatmu tentang pria tadi~? Dari kelihatannya, percakapan diantara kalian cukup baik~?”

“Yah, kurasa dia adalah orang yang baik dan cerdas.” Mengatakan itu, Mirei mengingat kembali percakapannya dengan pria yang duduk di seberangnya saat jamuan makan tadi. “Dia sangat teliti dalam berpenampilan, dan etiketnya juga baik. ...Dia yang menjadi pewaris dari perusahaan besar itu juga sepertinya bukanlah sekadar isapan jempol belaka. Intinya, pria yang ayah dan ibu pilihkan itu memang benar-benar hebat.”

“Bagaimanapun juga kami ingin agar kau bahagia~” kata Hanami, sambil menunjukkan senyuman lembut.

“Tapi..., aku masih harus mengatakan bahwa orang itu sangat bijaksana..., atau dia sangat bermartabat dan bisa dipercaya...”

“Hm? Memangnya apanya yang salah dengan itu?”

“Bukannya ada yang salah dengan itu atau semacamnya... Maksudku, jika dia sempurna dalam berbagai hal, maka tidak akan ada yang bisa kuajarkan kepadanya, dan tidak ada apa pun yang harus kukhawatirkan dari dirinya...”

“.......Memangnya apanya salah dengan itu?”

Ibunya bingung, dan Mirei sendiri pun juga bingung. Bahkan ekspresi rumit yang seolah-olah bertanya, “Apa sih yang sebenarnya kukatakan?”, tampak dengan jelas di wajah Mirei.

“Ngomong-ngomong, tentang pria yang mau ditunangkan denganmu itu~... Aku ingin tahu apa pendapatmu kalau Tomonari-san dibandingkan dengan dia~?”

“M-Mengapa Ibu malah membawa-bawa Tomonari-san?”

“Yah~, Ibu cuman ingin tahu saja, tidak ada niat lain kok~?”

Sekalipun Hanami bilang bilang begitu, tapi sikap yang dia tunjukkan itu adalah sikap yang memiliki niatan lain. Menghadapi ibunya yang seperti itu, Mirei hanya bisa bergumam, “Ibu benar-benar merepotkan”, dan kemudian menjawabnya.

“Bisa dibilang, ada perbedaan layaknya langit dan bumi kalau Tomonari-san mau dibandingkan dengan putra pewaris perusahaan besar. Tomonari-san masih memiliki banyak poin-poin yang buruk..., dan masih ada banyak hal yang harus kuajarkan kepadanya. Selain itu, jika kami menghadiri jamuan makan seperti ini, aku yakin kalau aku pasti akan memiliki banyak kekhawatiran terhadapnya.”

“Ara~, berarti dia sangat ideal ya~”

Ibunya mengatakan sesuatu, tapi karena Mirei tidak mengerti maksud perkataan ibunya, jadi dia memutuskan untuk mengabaikan itu.

“Ngomong-ngomong, ibu belum pernah mendengarnya sebelumnya..., tapi apa pekerjaan orang tuanya Tomonari-san?”

“Kudengar orang tuanya menjalankan Perusahaan IT di bawah Grup Konohana..., tapi aku belum pernah mendengar nama perusahaannya.”

Setelah Mirei pikir-pikir lagi, dia menyadari bahwa dia belum pernah membicarakan topik tentang perusahaan dengan Itsuki. Biasanya, di antara siswa-siswi Akademi Kekaisaran, topik semacam ini akan dibahas dalam waktu seminggu setelah menjalin hubungan. Tentu saja, topik itu dibicarakan tidak dengan maksud untuk membanding-bandingkan, tapi hanya karena minat murni ingin membicarakannya.

Dalam kasusnya Tomonari-san..., itu saja sudah menjadi salah satu hal yang menarik dari dirinya.

Baik atau buruk, Itsuki bukan seorang yang bisa leluasa untuk membicarakan latar belakang keluarganya, dan di saat yang sama juga tidak bisa leluasa dalam membicarakan hal lain. Bagi Mirei, hal tersebut entah mengapa terasa menyegarkan dan nyaman.

“Jadi orang tuanya menjalankan perusahaan IT, ya? Tapi sebagai seorang putra pewaris perusahaan, dalam artian yang baik dia itu seperti orang biasa yang sederhana dan ramah, ya~,” kata Hanami, sambil menempatkan tangannya di pipinya.

Sekalipun itu hanyalah perusahaan kelas menengah, Itsuki masihlah seorang pewaris perusahaan. Jadi dengan alasan itu, wajar saja kalau Hanami akan berpikiran seperti itu.

Akan tetapi, Mirei tahu alasan Itsuki bersikap seperti itu.

Dia tahu bahwa dia harusnya menyimpan rahasia ini untuk dirinya sendiri..., tapi ibunya tampaknya sangat menyukai Itsuki. Jadi dalam hal ini, Mirei berpikir bahwa tidak akan masalah kalau mulutnya menjadi sedikit ringan.

“...Sebenarnya ini rahasia, tapi sama sepertiku, Tomonari-san juga adalah anak angkat. Makanya, wajar saja kalau perilakunya mirip seperti orang biasa.”

Karena Mirei juga merupakan anak angkat, maka dia yakin kalau ibunya pasti bisa memahami hal tersebut. Namun bertentangan dengan apa yang dia pikirkan, entah mengapa, ibunya langsung menunjukkan ekspresi yang lebih serius daripada biasanya.

“Mirei, apa itu artinya..., orang tuanya Tomonari-san mengadopsinya karena mereka menginginkan putra pewaris?”

“Ya..., harusnya sih begitu.”

Menerima pertanyaan yang tak bisa dia pahami maksudnya, Mirei menjawab ibunya dengan rasa bingung.

“Ini aneh~? Ibu belum pernah mendengar kalau ada perusahaan IT di Grup Konohana yang kesulitan dalam menemukan ahli waris~...”

“...Eh?”

---

Hari Senin, tiga hari setelah aku mendengar bahwa Tennoji-san akan bertemu dengan calon tunangannya.

Hari ini, sepeti biasanya, aku akan pergi ke akademi bersama Hinako.

“Itsuki...”

“Ada apa, Hinako?”

“...Bagaimana perkembangan sesi belajarmu dengan Tennoji-san?”

Saat kami berjalan keluar dari mansion dan menuju ke gerbang di bawah sinar matahari pagi, Hinako menanyakan itu kepadaku.

“Sesi belajarnya berjalan dengan baik, jadi aku yakin dengan melalui sesi belajar ini, nilaiku pasti akan meningkat... Selain itu, berinteraksi dengan seseorang seperti Tennoji-san juga telah memberiku banyak keberanian dalam banyak hal.”

Tennoji-san adalah seorang dengan atmosfir yang unik, tapi dia merupakan murid kelas atas yang menjadi contoh sempurna dari murid Akademi Kekaisaran. Berkat terbiasa berinteraksi dengan seorang seperti dirinya, aku jadi sedikit lebih santai untuk berinteraksi dengan orang-orang kelas atas lainnya. Dan dengan begini, kalau-kalau kedepannya akan ada pertemuan sosial lagi, aku pasti akan dapat berperilaku dengan lebih baik daripada di pertemuan sosial sebelumnya.

“Tennoji-san pribadi tampaknya juga mengalami peningkatan dalam nilainya... Bahkan mungkin saja dia akan bisa mengalahkanmu dalam ujian berikutnya loh?”

“...Isshh~”

Hinako menggerutu, tapi entah apakah karena dia masih mengantuk, jadi dia tidak mengeluhkan apa-apa secara khusus.

“Ngobrol-ngobrol sih boleh saja, tapi kalian berdua juga mesti berjalan dengan benar.”

“Maaf.”

Ditegur oleh Shizune-san, kami kemudian mengambil langkah yang lebih cepat menuju ke mobil.

Saat kami sudah mendekati mobil hitam, supir yang telah menunggu langsung membungkuk dengan hormat, dan aku juga balas membungkuk kepadanya.

Pada saat itu, kuperhatikan Shizune-san menatap ke suatu tempat dengan sudut mata yang tajam dan——

“——Penyusup!!”

“Eh?!”

Aku dibuat terkejut oleh Shizune-san yang tiba-tiba menunjukkan jarinya ke arah luar mansion.

Segera, penjaga keamanan Keluarga Konohana langsung bergegas ke tampat yang ditunjuk oleh Shizune-san.

Semenit kemudian, salah satu penjaga mendekati Shizune-san dan mengatakan kepadanya bahwa tidak ada sesuatu yang mencurigakan.

“...Apa yang tadi itu hanya perasaanku saja?” Gumam Shizune-san, dengan ekspresi bingung di wajahnya. “Maaf, tadi aku merasa seperti ada tatapan yang menatap kita.”

“B-Begitu ya...”

Aku tidak menyangka kalau aku akan mendengarkan kata ‘penyusup’ di Jepang modern ini.

“Tapi ini aneh, biasanya perasaanku yang seperti ini cenderung benar, tapi..., kalau ini memang bukan hanya sekedar perasaanku saja, maka beberapa hal mungkin akan menjadi merepotkan.”

Aku sontak menelan ludahku terhadap kata-kata yang terdengar gawat dari Shizune-san. Mungkinkah, aku akan terlibat di dalam hal ini?

 

Turun dari mobil, aku kemudian menuju ke akademi.

“Tomonari-san.”

Saat aku lagi mengganti sepatuku di tempat loker sepatu, Tennoji-san memanggilku.

“Selamat pagi, Tennoji-san.”

“Ya, selamat pagi.”

Jarang-jarang kami bertemu di tempat seperti ini. Saat aku menatap Tennoji-san dengan pemikiran seperti itu, kuperhatikan kalau wajahnya menunjukkan ekspresi yang serius. Apa dia punya sesuatu yang ingin dia bicarakan denganku?

“Tomonari-san, aku akan bertanya langsung ke intinya padamu. ——Apa kau telah berbohong tentang sesuatu kepadaku?”

Mendengar pertanyaan itu, tubuhku langsung tersentak seolah-olah jantungku sedang dicengkram. Hal ini membuatku merasa bingung dan bertanya-tanya mengapa dia menanyaiku seperti itu, tapi aku tidak boleh membiarkan ekspresi bingung itu muncul di wajahku.

Ada dua kebohongan yang kukatakan pada Tennoji-san. Pertama, aku menghadiri Akademi Kekaisaran ini dengan menggunakan identitas palsu. Dan yang kedua, sebenarnya aku berada di bawah asuhan Keluarga Konohana.

Kedua hal itu benar-benar tidak boleh sampai kubiarkan jadi terkuak.

“...Tidak ada.”

“Jadi begit, ya,” Tennoji-san menganggukkan kepalanya, terlihat sedikit kecewa. “Baiklah, maaf ya karena sudah menanyakan sesuatu yang begitu aneh.”

“T-Tidak apa-apa...”

Mengapa dia tiba-tiba menanyakan hal seperti itu kepadaku? Aku penasaran tentang itu, tapi aku tidak berani menanyakan itu kepadanya karena aku merasa seperti hal-hal yang tidak diingkan bisa terjadi jika aku ngotot ingin tahu.

“Oh iya, karena hari ini aku punya keperluan mendesak yang harus kulakukan, jadi latihan kita untuk hari ini akan libur.”

“Baiklah..., apa ini terkait dengan perjodohanmu lagi?”

“Tidak, kali ini bukan karena itu.” Dengan mata yang entah mengapa memancarkan emosi kemaharan, Tennoji-san berseru. “Ini adalah sesuatu yang jauh lebih penting daripada itu.”

 

Masih di hari yang sama, sepulang sekolah.

Aku membuka loker sepatuku dan melihat ada sesuatu yang sangat tidak terduga.

Di dalam loker, ada sepucuk surat.

Di permukaan surat itu, tertulis suatu kata-kata yang ditulis dengan tulisan tangan yang indah, yaitu:

——Surat tantangan.



4 Comments

  1. Bjir ganteng banget MCnya di sini, btw min rabukome kapan... Saya sangat menunggu rabukome

    ReplyDelete
  2. Tim haremπŸ‘πŸ˜€ πŸ‘πŸ™πŸ˜πŸ”₯πŸ”₯πŸ”₯😍❤🀝

    ReplyDelete
  3. Makin seru aja, gak sabar bagaimana denger alasan MC ke tennoji atau mau mengakui kebenarannya 😏

    ReplyDelete
Previous Post Next Post