[LN] Saijo no Osewa Volume 2 - Bab 4

Bab 4
Tidak Boleh Ada Kebohongan


Kupikir, rutinitasku hari ini berjalan sama seperti biasanya.

Aku mengikuti sesi pelajaran dengan serius, makan siang bareng Hinako saat jam istirahat, dan kemudian akan belajar bareng dengan Tennoji-san saat sepulang sekolah.

Dalam rutinitas itu, sepulang sekolah, saat aku akan mengganti sepatuku di loker sepatu, aku melihat ada sesuatu yang harusnya tidak berada di dalam loker sepatuku.

Itu adalah sepucuk surat.

Saat aku melihat surat berwarna putih itu, aku secara refleks segera menutup pintu loker sepatuku.

“Seriusan nih...?”

Itu surat cinta.

...ITU SURAT CINTA!!!

Tidak, tidak, tidak... Itu tidak mungkin.

Apakah mungkin ada siswi di Akademi Kekaisaran ini yang akan jatuh cinta dengan pria sepertiku?

Memang sih, sebagai seorang pengurus, aku menjaga penampilanku sebaik mungkin. Tapi ‘kan masih ada banyak siswa di Akademi Kekaisaran ini yang lebih tampan dan good-looking daripadaku. Jadi, harusnya tidak mungkin aku akan disukai oleh seseorang karena penampilan yang kumiliki.

Bahkan stasus sosial yang diatur untukku hanyalah seorang putra pewaris perusahaan menengah. Tentunya, jika aku berada di SMA normal, statusku ini mungkin memang bisa dikagumi, tapi di Akademi Kekaisaran ini, ada banyak calon pemimpin dari sebuah perusahaan besar. Karenanya, aku tidak mengerti alasan mengapa aku jadi disukai.

“A-Aku harus gimana nih...? Kayaknya aku harus mengkonsultasikan ini pada Shizune-san...”

Kepalaku dibuat jadi berantakan dan ingin segera mengkonsultasikan ini kepada seseorang. Bagaimanapun juga, jika akademi ini adalah sekolah biasa, hal pertama yang langsung kupikirkan ketika melihat surat seperti itu adalah itu pasti sebuah lelucon, tapi aku yakin tidak ada murid di akademi ini yang akan melakukan hal seperti itu.

Aku menarik napas dalam-dalam, dan kemudian membuka loker sepatuku lagi.

Lalu, dengan ragu-ragu, aku mengambil surat itu.

——Surat tantangan.

Di permukaan surat, tertulis kata-kata yang tak terduga.

“...Hah?”

Aku menegang selama satu menit, dan kemudian dengan perlahan menggelengkan kepalaku.

...Apa ini lelucon? Paling tidak, kemungkinan kalau surat ini adalah surat cinta telah menghilang. Fakta itu membuatku merasa senang dan juga sedih..., tidak, sejak awal aku tidak mengharapkan kalau surat ini adalah surat cinta, jadi aku tidak harus merasakan emosi apa-apa tentang itu.

Saat aku membaca isi surat tantangan itu, dengan tulisan tangan yang indah, di situ hanya dituliskan tentang waktu dan tempat untuk bertemu. Tanpa adanya salam atau semacamnya, surat itu hanya menuliskan [Saat pulang sekolah, datanglah ke dojo.]

“...Hm?”

Aku memiringkan kepalaku saat melihat huruf-huruf yang ditulis dengan tulisan tangan yang indah di surat itu.

“Ini..., bukankah ini adalah tulisannya Tennoji-san?”

Karena kami sering belajar bareng, aku jadi tau ciri khas dari tulisannya Tennoji-san. Kaligrafi yang dituliskan seolah-olah sang penulis menulisnya dengan kemauan keras ini mencerminkan sosok Tennoji-san yang memiliki pendirian yang kuat.

Di Akademi Kekaisaran ini, dojo berada di samping gedung olahraga, jadi untuk saat ini aku memutuskan untuk pergi ke dojo mengikuti arahan dari surat itu.

Saat aku membuka pintu dojo dan masuk ke dalam... Di tengah-tengah dojo, dalam sosok yang berbalutkan hakama, Tennoji-san sedang duduk di lantai (Seiza).

“Kau sudah datang, ya,” ucap Tennoji-san, saat dia membuka matanya dengan perlahan.

“Erm, Tennoji-san, apa tujuanmu mengirimiku surang tantangan ini...”

“Sebelum itu, pergilah ke ruang ganti dan ganti pakaianmu ke seragam kendo.”

Merasakan adanya tekanan dari kata-katanya, aku mengikuti instruksinya meskipun aku merasa bingung.

Di ruang ganti pria, ada satu seragam kendo disiakan. Karena aku mempelajari bela diri di Keluarga Konohana, jadi aku tahu cara memakai seragam ini.

Setelah aku berganti pakaian, saat aku mencoba meninggalkan ruang ganti, kuperhatikan di samping pintu ada pedang bambu. Apa aku harus membawa ini juga? Tidak mengerti apa tujuannya Tennoji-san, jadi kuputuskan untuk membawa saja pedang bambu itu sambil masih merasa bingung.

“Tennoji-san, aku sudah mengganti pakaianku seperti yang kau inginkan, tapi apa tujuanmu menyuruhku melakukan ini—”

“—Tomonari-san.”

Tennoji-san berdiri dari posisi seiza-nya dan kemudian memasukkan tangannya ke dalam hakama-nya.

“Apa maksudnya ini?”

Apa yang dia keluarkan dari hakama-nya adalah tiga foto.

Dia kemudian memperlihatkan foto-foto itu kepadaku, dan saat aku melihatnya—mataku langsung membelalak.

“I-Ini?!”

Foto itu adalah foto ketika aku meninggalkan mansion Keluarga Konohana bersama Hinako tadi pagi.

Foto itu dipotret dengan teliti dari tiga sudut yang berbeda, menunjukkan bahwa orang-orang yang berada di dalam foto itu benar-benar adalah aku dan Hinako.

“Aku menyuruh bawahanku untuk mengambil foto ini tadi pagi... Sepertinya, kau dan Hinako Konohana tinggal di tempat yang sama.”

Aku jadi teringat ketika tadi pagi Shizune-san berteriak, “Penyusup!”.  Pada saat itu, diputuskan bahwa itu hanyalah perasaannya Shizune-san saja..., tapi rupanya memang benar-benar ada penyusup.

“Mengenai foto itu..., aku punya urusan dengan Keluraga Konohana karena hubungan keluarga diantara kami...”

“...Kalau begitu aku akan mengubah pertanyaanku. Di mana dan dengan siapa kau makan siang hari ini?”

Aku sontak dibuat bungkam oleh pertanyaan itu.

Kalau yang dia permasalahkan adalah foto yang diambil tadi pagi, maka kecurigaannya hanya akan menjadi konklusif belaka. Itulah sebabnya, Tennoji-san pasti mengamatiku dan Hinako sepanjang hari ini. Kupikitr aku telah bertindak dengan waspada terhadap bayangan-bayangan di sekitarku..., tapi pihak lain dalam hal ini adalah Keluarga Tennoji yang sekelas dengan Keluarga Konohana. Karenanya, sekali mereka merasa curiga, maka tidaklah mudah untuk menyembunyikan sesuatu dari mereka.

“Aku akan menganggap diam-mu itu sebagai peng-iya’an.” Dia menurunkan pandangannya saat  dia mengucapkan itu, tapi kemudian dia memelototiku dengan tajam. “Jadi, ini artinya—kau mengkhianatiku, kan?”

“Aku tidak mengkhianatimu atau semacamnya...”

“Ambil kuda-kudamu.” Mengarahkan ujung pedang bambu ke arahku, Tennoji-san berseru, “Aku akan menghajar habis-habisan sifatmu yang licik itu.”

Tennoji-san mengayunkan pedang bambunya ke bawah, dengan ayunan kuat yang tampak seperti bukan dilakukan oleh wanita.

“Ughh?!”

Sontak saja, aku langsung menghindari pedang bambunya itu dengan jarak yang amat tipis, tepat di depan hidungku.

“T-Tunggu dulu, Tennoji-san.”

“Aku tidak akan menunggu!”

Serangan yang mengarah ke kepalaku datang lagi.

Dalam kondisi dimana saat ini kami hanya mengenakan hakama tanpa alat pelindung, bisa-bisa kami akan berakhir melukai satu sama lain.

Dengan panik, aku memegang pedang bambuku secara horizontal dan mencoba bertahan, tapi Tennoji-san memutar pergelangan tangannya dan mengubah lintasan pedang bambunya.

“Haaaah....!”

“Ugh...?!”

Rasa sakit yang tajam mencuat di pergelangan tanganku.

Tennoji-san benar-benar serius dalam menyerangku... Tapi sekalipun dia serius, aku tidak boleh melawan balik. Bagaimanapun juga, dia adalah putri dari Keluarga Tennoji, jadi akan jadi masalah besar kalau dia sampai terluka.

“Kau......!” Masih terus mengayunkan pedang bambunya, Tennoji-san berseru. “K-Kau......! Kau pasti mengolok-ngolokku, ‘kan...!”

Di sudut matanya, ada tampak air mata yang berlinang.

“Di saat aku sedang bersaing dengan Hinako Konohana..., kau berpura-pura bekerja sama denganku..., tapi kenyataannya kau selalu menertawakanku di belakangku...!!”

Saat aku mendengar dia mengatakan itu dengan suara yang bergetar—aku jadi sadar.

Rupanya, Tennoji-san salah paham.

“K-Kau salah paham!” Seruku, saat menahan serangan pedang bambunya. “Memang benar kalau aku berada di bawah asuhan Keluarga Konohana! Dan aku minta maaf karena tidak memberitahumu soal itu! Tapi satu-satunya alasan mengapa aku mau menghabiskan waktuku bersamamu karena itu memang keinginanku sendiri!! Hinako sama sekali tidak ada hubungannya dengan itu!”

“Jangan banyak alasan...! Aku tidak akan percaya pada apa pun yang kau katakan! Dasar pengkhianat!”

Menyangkal kata-kataku, Tennoji-san mendorong pedang bambunya.

Gila, bagaimana bisa lengannya yang ramping itu sampai sekuat ini? Aku bahkan sampai dibuat bercucuran keringat dingin.

Tapi, aku memang telah berbohong pada Tennoji-san..., karenanya, dia benar kalau itu bisa disebut sebagai pengkhianatan. Aku memalsukan identitasku, memalsukan karirku, dan menyembunyikan niatku yang sebenarnya darinya. Di sisi lain, Tennoji-san mempercayaiku dan bahkan sampai memberitahuku bahwa dirinya sebenarnya adalah anak angkat, akan tetapi..., aku telah mengkhianati kepercayaannya yang tulus itu.

“Tennoji-san..., kau salah paham. Aku benar-benar tidak menertawakanmu.”

“Tidak ada gunanya kau beralasan sekarang!!”

Dia benar, semua yang dilontarkan oleh mulutku hanyalah alasan.

Aku bisa mengerti mengapa Tennoji-san sangat marah kepadaku, dan kemarahannya itu saja sudah bisa menunjukkan seberapa besar dia telah mempercayaiku sebelumnya.

Tapi di sisi lain, bagaimaan dengan diriku? Aku bersikeras mengatakan bahwa aku tidak mengkhianatinya dan bahwa Hinako tidak ada hubungannya..., tapi pada akhirnya, dalam keadaan dimana aku telah berbohong kepadanya, itu sama artinya bahwa aku tidak percaya kepadanya.

Apa Tennoji-san adalah seorang yang tidak bisa dipercaya? Itu tidaklah mungkin. Kenyataannya, hanya ada sedikit orang yang bisa dipercaya seperti Tennoji-san. Aku yakin tidak peduli apa pun yang kukatakan kepadanya, dia pasti akan selalu mengambil sikap yang sesuai kepadaku.

“Aku akui kalau aku telah berbohong.” Kataku, sambil menepis pedang bambunya Tennoji-san. “Aku akui aku juga telah menyembunyikan sesuatu darimu... Tapi aku melakukan itu bukan dengan maksud untuk menyakitimu, Tennoji-san.”

“Aku sudah bilang jangan banyak alasan!!”

Saat ini Tennoji-san sedang berada dalam kondisi pikiran kacau, itulah sebabnya kata-kataku tidak dapat menjangkaunya.

Aku yakin Tennoji-san akan bisa mengerti situasiku jika dia berpikiran tenang. Mungkin memang wajar jika dia curiga kalau aku menertawakannya di belakangnya..., tapi apakah ada orang yang mau menggunakan hari-harinya saat sepulang sekolah untuk menghabiskan waktu bersamanya dan mengambil pelajaran yang sulit hanya untuk tujuan seperti itu?

“...Aku serius.”

“Sudah kubilang, aku tidak akan percaya padamu——”

Tennoji-san mencoba mengayunkan pedang bambunya, tapi sebelum dia bisa melakukan itu, aku mengulurkan tangan kananku ke depan dan meraih pedang bambunya untuk menghentikannya.

“Aku serius.”

Dengan diriku yang sebenarnya, aku menyerukan itu.

[Catatan Penerjemah: Semenjak bekerja di Keluarga Konohana, sikap dan perilaku Itsuki sangat santun dan formal, termasuk dalam logat atau nada berbicara. Jadi maksud dari ‘diriku yang sebenarnya’ di sini adalah sikap dan perilaku ketika Itsuki masih miskin, dengan kata lain dirinya yang sebenarnya.]

Lalu, sambil masih mencengkram pedang bambunya, aku mengambil keputusan.

Aku akan memberitahukannya semuanya.

Sama seperti dia yang percaya kepadaku—aku juga akan percaya kepadanya.

---

“Baiklah, biar kudengar alasanmu.”

Mendapatkan kembali ketenangannya, Tennoji-san menatap lurus ke arahku, membuat area di tengah-tengah dojo memiliki suasana yang menegangkan saat kami duduk saling berhadapan.

“Sebenarnya——”

Dengan jujur, aku memberitahukannya situasiku; bahwasannya aku bukanlah putra pewaris dari perusahaan menengah, aku adalah seorang yang bekerja sebagai pelayan di Keluarga Konohana, dan hal-hal lainnya.

Namun, aku tidak mengatakan apa-apa tentang kepribadian asli Hinako. Bagaimanapun juga, itu adalah situasi yang sangat terkait dengan seluruh Keluarga Konohana. Selain itu, jika itu hanya menyangkut tentangku kurasa tidak masalah, tapi aku tidak boleh seenaknya mengungkap rahasia yang Hinako miliki.

“Hmm..., aku mengerti, aku mengerti, aku mengerti...”

Setelah mendengarkan penjelasanku, Tennoji-san menganggukkan kepalanya beberapa kali.

“Kau sebenarnya bukanlah putra pewaris perusahaan menengah, tapi anak tunggal dari keluarga miskin, dan sekarang kamu bekerja sebagai pelayan Keluarga Konohana, dan sebagai bagian dari pekerjaanmu itu, kau juga menjadi murid Akademi Kekaisaran. ...Kedengarannya itu sulit untuk dipercaya, tapi itu masuk akal,” gumam Tennoji-san, tampak merasa teryakinkan.

Dan kemudian, dengan mata yang tenang, dia menatapku kembali.

“Penipu.” Dengan lugas, dia mengatakan itu kepadaku. “Kau adalah penipu...”

“...Kupikir kau benar.”

Tidak memiliki kata-kata untuk menyangkal, aku hanya bisa menundukkan kepalaku.

“...Kau adalah penipu dalam caramu berbicara.”

“Eh?”

“Bukankah cara berbicaramu itu juga adalah akting? Saat kau menghentikan pedang bambuku tadi, kudengar cara berbicaramu berubah.”

“...Yah, kau benar.”

Meskipun tidak benar-benar bisa disebut sebagai akting, tapi memang benar kalau cara bicara yang kugunakan saat berbicara di akademi ini bukanlah cara berbicaraku yang asli.  Sebenarnya sih, sekalipun kau adalah murid dari Akademi Kekaisaran, pada dasarnya kau tidak perlu untuk selalu menggunakan cara berbicara yang formal. Buktinya, teman sekelasku, Taisho dan Asahi-san, mereka berbicara dengan cara bicara yang informal pada siswa-siswi lain.

“Kembalilah ke cara berbicaramu yang sebenarnya.”

“Tapi...”

“Kubilang cepat kembali ke cara berbicaramu yang sebenarnya!”

Tekanan darinya benar-benar kuat, tapi yah, bagaimanapun juga situasinya sudah menjadi seperti ini, jadi tidak ada gunanya mencoba menggunakan cara berbicara yang formal.

“...Oke.”

[Catatan Penerjemah: Mulai dari sini cara berbicara Itsuki jadi informal, tapi karena pada dasarnya artinya sama dengan cara bicara formal, jadi dalam Bahasa Indonesia perbedaannya gak bakal jelas.]

Saat aku kembali ke cara berbicara asliku, mata Tennoji-san sontak membelalak.

“Jadi cara berbicaramu memang benar-benar seperti itu, ya...”

Setelah mengatakan itu dengan ekspresi terkejut, kemudian Tennoji-san menatapku lagi dengan tatapan tajam.

“Bersumpahlah, mulai sekarang kau tidak akan pernah berbohong lagi padaku, tidak hanya dalam kata-kata, tapi juga dalam sikap.”  Setelah jeda sesaat, Tennoji-san lanjut berbicara. “Selama kau memenuhi sumpahmu itu, aku berjanji padamu bahwa hubungan kita akan menjadi seperti sebelumnya lagi.”

“...A-Apa kau tidak keberatan kalau hubungan kita menjadi seperti sebelumnya lagi...?”

“Aku sudah pernah bilang padamu, aku ini percaya diri dengan kemampuanku dalam menilai orang lain... Pada dasarnya kau itu lebih menghormati keinginan Keluarga Konohana daripada keinginanmu sendiri dan mencoba untuk menjaga kebohongan, dan kau tidak bisa menyangkal hal itu.”

Bahkan dalam situasi seperti ini, Tennoji-san masih menjadi seorang dengan karakter yang berterus terang. Kenyataannya, aku yakin tidak tidak akan mengatakan atau melakukan apapun yang akan merugikan orang lain. Dan tergantung pada situasinya, dia bisa mengerti dan membedakan tentang apa yang memang bisa dan tidak bisa untuk dikatakan.

“Karenanya, mulai sekarang, daripada berbohong kepadaku, tolong langsung bilang saja kalau ada sesuatu yang tidak bisa kau kau katakan. Itu arti dari tidak boleh berbohong.”

“...Oke, aku tidak akan berbohong lagi padamu, Tennoji-san.”

Saat aku mengatakan itu, tiba-tiba Tennoji-san jadi tampak seperti sedang memikirkan sesuatu.

“Bagaimana kalau kita mengubah cara kita memanggil satu sama lain juga? ...Ketika kita cuman berduaan saja, kau harus memanggilku ‘Mirei’.”

“Eh?”

“...Hm? Ada apa dengan ekspresi terkejut itu? Kau harusnya merasa lebih terhormat,” ucap Tennoji-sa, bibirnya berkedut kesal. “

“Aku juga akan memanggilmu ‘Itsuki-san’... Dan ayo kita buat ini menjadi isyarat bagimu untuk berbicara dengan cara bicaramu yang sebenarnya.”

Gitu toh, tentunya, akan lebih nyaman jika kami memiliki isyarat seperti itu. Kami akan memanggil satu sama lain dengan sebutan yang sama seperti yang selalu kami pakai ketika berada di sekitar publik, dan kami akan mengubah cara kami memanggil satu sama lain ketika kami hanya berduaan saja... Secara kebetulan, aku dan Hinako sudah memiliki hubungan yang seperti itu, jadi aku tidak merasakan ketidaknyamanan dalam hal ini.

“Baiklah... Mirei.”

Aku mencoba memanggil Tennoji-san dengan menggunakan nama depannya, tapi kemudian, wajahnya jadi memerah.

Dia hanya diam, dan dia tampak seperti sedang matia-matian menekan kegelisahannya.

“Mirei?

“...K-Kayaknya kau tidak usah memanggilku ‘Mirei’ aja deh.”

“Lah?”

Tennoji-san memalingkan wajahnya dariku, dan sambil memain-mainkan rambut emasnya dengan jari-jemarinya, dia kembali berbicara.

“H-Habisnya aku tidak akan bisa berpikiran tenang kalau kau memanggilku begitu. Kau bisa memanggilku seperti sebelumnya saja... Tapi aku akan tetap memanggilmu ‘Itsuki-san’.”

Yah, jika Tennoji-san maunya begitu, maka aku tidak keberatan.

“Pokoknya, mulai hari ini kau tidak boleh lagi berbohong padaku. Dan biar adil, aku juga tidak akan berbohong padamu... Jadi kalau kau punya sesuatu yang mau kau tanyakan padaku, jangan segan untuk menanyakannya.”

“Sekalipun kau bilang begitu...”

Disuruh bertanya secara tiba-tiba seperti ini, tentu aja aku bingung harus nanya apa. Tapi saat aku berpikir seperti itu, kuingat kalau ada satu hal tentang Tennoji-san yang membuatku kepikiran selama beberapa waktu. Tapi..., kurasa itu bukan pertanyaan yang harus kutanyakan kepadanya searang.

“...Kurasa saat ini aku tidak punya sesuatu yang ingin kutanyakan padamu.”

“Barusan kau mengalihkan tatapan matamu, kan?”

Buset dah, dia bahkan tidak melewatkan keraguan sesaat yang kumiliki.

“Mengapa kau malah jadi segan begitu?”

“Tidak..., hanya saja setelah kupikir-pikir lagi, itu bukanlah sesuatu yang sangat membuatku penasaran...”

“Kan aku sudah bilang jangan berbohong padaku! Selain itu, jika sudah seperti ini kau memutuskan untuk menahan diri dalam bertanya, justru aku yang menjadi penasaran nantinya... Makanya, kalau ada sesuatu yang kamu ingin tahu, apapun itu langsung saja tanyakan padaku.”

“...Okelah kalau begitu.”

Kalau dia memang tidak keberatan, maka aku akan bertanya padanya dengan jujur.

“Rambumu itu..., kau mewarnainya, ‘kan?”

“——!”

Saat aku menyebutkan pertanyaanku, desahan aneh keluar dari mulut Tennoji-san.

“K-K-Kok kamu malah nanya sesuatu yang bikin rusak suasana aja sih!!”

“...Habisnya sudah sejak lama aku penasaran soal itu.”

“A-A-Aku tidak menyangka apa yang kukatakan justru menjadi senjata makan tuan secepat ini... Sepertinya kau ini memang benar-benar seorang scammer...!!”

[Catatan Penerjemah: Sebelumnya Tennoji menyebut Itsuki sebagai ‘penipu’, dan kanjinya adalah ini 詐欺師. Dan dalam hal ini, 詐欺師 juga bisa diartikan sebagai ‘scammer’ dalam artian ‘memangsa niat baik orang’.  Gua gak tau Bahasa Indonesia yang pas untuk kata ‘scammer’ ini, jadi gua tulis aja sesuai apa yang biasa orang Indonesia sebut.]

Aku tidak berpikir aku harus disalahkan dalam hal ini.

“...Iya.”

“Kau bilang apa?”

“Iya rambutku ini aku warnain! Apa kau punya masalah dengan itu?” kata Tennoji-san, dengan wajah yang merah padam.

Nah, karena aku tidak punya masalah dengan dia yang mewarnai rambutnya, jadi aku langsung menggelengkan kepalaku. Kemudian, Tennoji-san mendapatkan kembali ketenangannya, dan rona merah di wajahnya memudar.

“...Rambutku ini sudah kuwarnai menjadi warna emas sejak aku masih kecil supaya aku terlihat lebih cocok sebagai putri dari Keluarga Tennoji... Cara bicaraku pun juga kuubah.”

“Oh... jadi kau juga merubah cara berbicaramu, ya.”

“Tentu saja... tapi sekarang, aku tidak bisa mengembalikannya seperti dulu lagi,” kata Tennoji-san, dengan ekspresi wajah yang rumit.

Iya sih, bagi mereka yang mengenal Tennoji-san yang biasanya, mungkin akan sulit untuk membayangkan Tennoji-san memiliki rambut hitam dan cara bicara yang normal. Malahan, mereka justru menjadi khawatir padanya dengan pemikiran apakah dia habis memakan sesuatu yang aneh.

“...Aku punya satu hal lagi yang mau kutanyakan.” Aku menyadari ada satu hal lagi yang perlu kutanyakan kepadanya. “Apa ada orang lain selain kamu yang tahu kalau aku berada di bawah asuhan Keluarga Konohana?”

“Tidak ada, cuman aku saja yang tahu, dan semua penyelidikannya pun aku sendiri yang menugaskan... Yang pertama kali mencurigai identiasmu sih sebenarnya ibuku, tapi aku akan memastikan untuk membuat ibuku hanya merasa salah paham.”

“...Baguslah kalau begitu...”

Secara refleks aku hendak mau mengatakan terima kasih padanya, tapi..., tiba-tiba aku langsung tediam.

“Ada apa?”

“Tidak ada apa-apa... hanya saja, setelah kupikir-pikir lagi, di situasi dimana identitasku sudah terbongkar seperti ini, aku mungkin tidak akan bisa menghadiri akademi ini lagi.”

“......”

Aku tidak bisa merahasiakan masalah ini dari Hinako dan Shizune-san. Dan sekalipun aku percaya pada Tennoji-san dan yakin kalau dia tidak akan membeberkan semua ini kepada siapa pun... Tapi..., aku yakin Kagen-san tidak akan menerima keputusanku ini.

Saat aku berpikir seperti itu, kuperhatikan kalau Tennoji-san menampilkan ekspresi sedih.

“...M-Maaf, aku tidak memikirkan kalau dampaknya akan sampai sejauh itu.”

“Ini bukan salahmu kok, Tennoji-san.”

Tennoji-san salah paham, jadi aku segera mengkoreksinya. Bagaimanapun juga, dia sama sekali tidak bertanggung jawab atas masalah ini, karena——

“...Bagaimanapun juga, aku memang tidak ingin untuk terus berbohong kepadamu.”

Saat ini, aku tidak punya kepercayaan diri untuk bisa tersenyum. Entah apakah iblis atau ular yang keluar? Apa yang akan terjadi padaku akan kuketahui setelah aku kembali ke mansion nanti.

---

“Itsuki-san, kerja bagus untuk sesi belajarmu dengan Tennoji-sama hari ini.”

Sesampainya di mansion, Shizune-san menyapaku.

Mulai sekarang, aku wajib untuk memberitahukannya tentang apa yang terjadi hari ini. Jadi itu sebabnya, dengan tangan yang terkepal karena gugup, aku menarik napas dalam-dalam dan mulai membuka mulutku.

“Erm... Shizune-san, ada sesuatu yang mau kubicarakan denganmu.”

“Oh kebetulan, aku juga punya sesuatu yang mau kubicarakan denganmu.”

“Eh?”

Sepertinya Shizune-san juga punya keperluan denganku.

Aku tidak tahu apa itu, tapi..., aku yakin apa yang ingin kubicarakan dengannya pasti jauh lebih penting.

“Kalau gitu, kau duluan yang bicara, Itsuki-san.”

“...Ya.”

Aku menjelaskan padanya tentang semua yang terjadi hari ini. Mulai dari Tennoji-san yang mengetahui identitasku asliku, dan kenyaataannya—itu juga merupakan keinginanku sendiri yang ingin memberitahukannya.

Aku merasa gugup, tapi aku memberi penjelasan secara rinci seolah-olah aku sedang mengakui dosa-dosaku.

“Aku tidak memberitahukan tentang kepribadian asli Hinako kepada Tennoji-san, tapi selain itu..., sebagian besarnya aku sudah beritahukan kepadanya.”

“...Jadi begitu, ya,” Shizune-san mengangguk, menunjukkan ekspresi tenang. “Aku senang kamu jujur.”

“...Eh?”

Jujur saja, aku takut dengan bagaimana aku akan diperlakukan atas hal ini, tapi Shizune-san menunjukkan ekspresi seolah-olah dia merasa terkesan padaku. Dan karena aku tidak mengerti apa maksud dari ekspresi dan kata-katanya itu, sontak saja kelopak mataku jadi melebar.

“Barusan aku menerima telepon dari Tennoji-sama. Dia bilang kalau dia mohon supaya kamu tidak dikeluarkan dari akademi.”

Aku dibuat tercengang oleh kata-kata itu.

“Kurang lebih aku sudah tahu sebagian besar situasinya... Mirei-sama menyesali bahwa dia telah salah paham terhadapmu lebih dari yang seharusnya karena ketidakmampuannya untuk tetap berpikiran tenang. Dan dia bersikeras mengatakan kalau dia yang bertanggung jawab dalam masalah kali ini.”

“Itu......”

Mungkin... Tennoji-san segera menghubungi Shizune-san tepat setelah kami berpisah tadi. Yah, bagaimanapun juga dia memang orang yang seperti itu. Kadang kala aku dibuat bingung oleh tindakannya, tapi kadang juga aku merasa seperti bisa paham akan apa yang dia lakukan.

“Putri dari Keluarga Tennoji-san memang hebat. Mengetahui bahwa aku tahu tentang statusmu, dia sampai repot-repot menghubungiku secara langsung. ...Kurasa dia pasti tahu bahwa jika dia langsung menghubungi Kagen-sama, itu bisa akan membahayakan posisimu... Karenanya, biar aku saja yang memberitahukan soal ini pada Kagen-sama. Normalnya, ini adalah kesalahan yang harusnya akan membuatmu langsung dipecat... Tapi jika putri dari Keluarga Tennoji-san sampai membuat permohonan seperti itu, maka Kagen-sama tidak akan bisa menolak permohonannya. Artinya, dengan situasi yang sudah menjadi seperti ini, memecatmu mungkin akan menimbulkan perseturuan dengan Keluarga Tennoji.”

Kalau Tennoji-san tidak menghubungi Shizune-san, aku mungkin akan dipecat sebagai hukuman untuk diriku sendiri karena telah berbohong pada Tennoji-san. Tapi, berkat Tennoji-san yang terlebih dahulu memberikan pembelaan terhadapku, Keluarga Konohana menjadi sampai pada kesimpulan bahwa memecatku akan bisa menyebabkan mereka berseteru dengan Keluarga Tennoji.

“Kau sudah diselamatkan olehnya.”

“...Ya.”

“Aku juga merasa bertanggung jawab atas masalah ini... Sepertinya, ketika kita berurusan dengan keluarga sekelas Keluarga Tennoji, ada batasan untuk bisa memanipulasi informasi. Mungkin kita harusnya perlu mengambil lebih banyak tindakan lagi.” kata Shizune-san, dengan ekspresi wajah serius.

Saat itu, kuperhatikan dari arah seberang lorong, ada Hinako yang sedang menatap kami.

“Hinako?”

Saat aku memanggilnya, Hinako berjalan menghampiri kami dengan langkah kecil.

“Kalian lagi ngomongin apa?”

“Sebenarnya, identitas aslinya Itsuki-san telah diketahui oleh Tennoji-sama.”

“...Eh?!”

Mata Hinako yang mengantuk sontak terbuka lebar.

“Terus, apa yang akan terjadi pada Itsuki? Jangan-jangan..., dia akan dipecat...”

“Saya rasa anda tidak perlu khawatir kalau dia akan dipecat.”

Shizune-san memberitahunya dengan lugas, lalu, Hinako berjalan ke tepat di sampingku, dan kemudian menendang area tulang kakiku dengan ringan.

“Aduh!”

“...Jangan buat aku khawatir.”

“...Maaf.”

Terhadap Hinako yang mengerutkan bibirnya, aku meminta maaf.

“Tapi..., bagaimana dia bisa menegtahui identitas aslimu...?”    

“...Aku hanya tidak mau terus-terusan berbohong kepada Tennoji-san. Dan karena Tennoji-san bukanlah tipe orang yang akan melakukan apa saja untuk merugikan orang lain..., jadi kuputuskan untuk percaya kepadanya dan memberitahukan identitasku padanya.”

“...Muu~!”

Tiba-tiba, Hinako mengeluarkan erangan kesal.

“Sepertinya..., kau sangat percaya kepadanya.”

“Ya. Tapi kau sendiri juga tahu ‘kan kalau Tennoji-san adalah orang yang bisa dipercaya?”

“...Iya sih, tapi...”

Muu~, Hinako menampilkan raut wajah yang rumit, tapi kemudian, bibir kecilnya itu terbuka, dan——

“...Dasar Itsuki tolol.”

“Lah?!”

Hinako berbalik memunggungiku dan berjalan pergi.

Di sisi lain, aku hanya bisa melihatnya dari belakang dengan ekspresi bingung di wajahku.

“S-S-Shizune-san..., apa aku telah membuat Hinako jadi membenciku...?”

“Tidak, kurasa tidak seperti itu, tapi...” Meletakkan tangannya di dahinya, Shizune-san menghela napas. “Haah..., apa yang harus kulakukan dalam hal ini?”

---

Masih di hari yang sama, malam hari.

Setelah selesai belajar sebelum tidur seperti biasanya, aku meregangkan punggungku denagn ringan.

Saat aku mencoba memeriksa jawaban dari soal-soal yang telah kujawab, kuperhatikan kalau persentase dari jawaban yang benar lebih rendah daripadabia biasanya.

Hari ini, aku tidak bisa berkonsentrasi dengan benar.

“...Aku sudah membuat mereka khawatir.”

Hinako dan Shizune-san. Aku merasa bertanggung jawab karena sudah membuat mereka berdua merasa khawatir. Tentunya, ini sama sekali bukanlah salanya Tennoji-san. Lagipula, fakta bahwa aku berbohong, dan fakta bahwa Tennoji-san mengetahuinya, semua itu adalah kesalahanku.

Yah, untuk saat ini lebih baik mencoba mengerjakan soal lain lagi..., berpikir seperti itu, aku membuka kembali buku yang tadinya aku tutp, tapi kemudian, pintu kamarku diketuk.

“...? Masuk.”

Jarang-jarang ada yang berkunjung di jam seperti ini.

Ketika pintu kamarku terbuka, dari balik pintu muncul Hinako dan Shizune-san.

“Hinako?”

“...Mm.”

Hinako, yang seperti dipandu oleh Shizune-san ke sini, memasuki kamarku dengan langkah kecil. Dari balik pintu, Shizune-san menatapku dalam dia dan mengangguk sebelum dia pergi. Sepertinya dia tidak punya keperluan denganku dan hanya sekadar mengantar Hinako ke sini.

Pintu kamar kemudian tertutup, meninggalkan aku berduaan dengan Hinako di dalam kamar.

Hinako sering mengunjungi kamarku dan tidur di ranjangku seenaknya sendiri, jadi sekarang aku tidak merasa gugup dengan kehadirannya di sini, tapi——

“Erm, mengapa kau ke sini?”

“...Gak kenapa-kenapa.”

Sepertinya, dia memiliki keperluan khusus datang ke sini.

Dari kelihatannya, dia tidak berada dalam suasana hati yang buruk, tapi..., saat melihat wajahnya, sekai lagi aku menundukkan kepalaku ketika mengingat apa yang terjadi hari ini.

“Maaf karena hari ini aku sudah membuatmu khawatir.”

“...Mm.”

Dengan tanggapan yang singkat dan pelan, Hinako kemudian berbaring di tempat tidurku.

“Kalau kau dipecat..., aku akan bermasalah...,” ucap Hinako, sambi memeluk bantal.

Jika aku dipecat, tentunya aku akan berada dalam masalah, tapi tidak hanya aku saja, tapi Hinako juga akan berada dalam masalah.

Sekarang, aku harus lebih berhati-hati lagi, dan untuk melakukan itu, kira-kira apa yang harus lebih kuwaspadai?

“...Ngomong-ngomong, bagaimana biasanya kau akan berakting, Hinako?” tanyaku, kepada Hinako yang masih memeluk bantal.

“Mengapa kau menanyakan itu?”

“Kupikir mulai kedepannya aku harus berperilaku lebih baik daripada sebelumnya... Hinako, saat ini ‘kan kau sedang berada dalam kepribadian aslimut, tapi ketika kau berada di akademi, kau berakting selayaknya Ojou-sama, kan? Jadi untuk referensiku, aku ingin tahu bagaimana kau mengalihkan kepribadianmu.”

Saat akau menjelaskan maksud pertanyaanku, Hinako mengangguk seolah dia mengerti maksudku.

Kemudian, setelah dia berpikir untuk sejenak,

“Hmm..., kurasa tidak ada yang khusus dari itu... Tau-tau saja, aku sudah bisa melakukan itu.”

Begitukah? Kupikir awalanya ada semacam semacam hipnosis ala Keluarga Konohana yang terlibat.

Dia yang mengatakan bahwa tau-tau saja dia sudah bisa melakukan itu sejujurnya adalah poin aku tidak yakin apakah itu mengesankan atau tidak. Apa dia beradaptasi atas inisiatifnya sendiri...? Ataukah karena dia tumbuh di lingkungan dimana dia tidak pinya pilihan selain beradaptasi?

Satu hal yang pasti, Hinako pribadi tidak terlalu memikirkan soal itu.

“Kalau begitu, sekarang, apa kau bisa bersikap seperti saat kau berada di akademi jika kau ingin melakukannya, Hinako?”

“Ya..., aku bisa.”

Menganggukkan wajah kecilnya, Hinako perlahan beridri, lalu mendekatiku yang lagi duduk di kursi.

Saat jarak diantara kami sudah dekat dengan suasana yang seolah-olah berada di ruang kelas, Hinako menegakkan punggungnya.

“Selamat pagi, Tomonari-kun.”

“Whoa...”

Baik tutur katanya, nada suaranya, gerak tubuhnya, semua berubah dalam sekejap.

Melihatku yang terkejut karenanya dirinya tiba-tiba berubah menjadi mode Ojou-sama, Hinako mengerucutkan bibirnya.

“Apa-apaan dengan ‘Whoa’ barusan itu...?”

“T-Tidak ada apa-apa. Maaf, aku hanya terkejut...”

Aku buru-buru meminta maaf kepada Hinako yang tampak tidak puas.

Tapi sungguh, peralihan kepribadiannya itu jauh lebih mulus daripada yang kupikirkan...

“Jadi kau bisa beralih kepribadian semudah itu, ya...”

“Mm..., tapi aku merasa cukup tercekik saat di akademi, tapi di sini aku bisa melakukannya dengan nyaman.”

Singkatnya, dia tidak merasa terbebani untuk berakting di sini. Baguslah kalau begitu, aku senang mendengarnya.

“...Oh, tapi karena ini bukan akademi..., jadi aku boleh memanggilmu dengan nama depanmu,” gumamnya, tampak menyadari sesuatu.

Kemudian, Hinako, yang sekali lagi beralih ke mode Ojou-sama, menatap lurus ke wajahku, dan——

“Selamat pagi, Itsuki-kun.”

“——!”

Aku merasa seperti jantungku melompat keluar.

Padahal dia cuman memanggil namaku seperti biasanya, tapi aku dibuat jadi merasa sangat deg-degan.

“Ada apa, Itsuki-san? Wajahmu kok terlihat agak pucat gitu...”

“T-Tidak ada apa-apa...”

Jangan baper.

Hinako stres karena dia dipaksa untuk berakting seperti ini ketika dia berada di akademi.

Karenanya, aku tidak boleh baper, tapi——

......Daya penghancurnya benar-benar luar biasa.

Ini adalah pertama kalinya Hinako yang berada alam mode Ojou-sama yang sempruna memanggilku menggunakan nama depanku. Itu sebabnya, aku jadi merasa seolah-olah sosok bunga yang tak akan pernah bisa aku jangkau, seorang gadis yang bukan hanya seakadar isapan jempol belaka untuk disebut sebagai Ojou-sama yang sempurna, kini meringkuk di dekatku hanya untuk diriku saja.

Sekarang, aku bisa mengerti dengan sangat baik mengapa dirinya diibaratkan sebagai “bunga tak terjangkau” di Akademi Kekaisaran.

“Itsuki-kun?”

Hinako menatap wajahku,

Belakangan ini aku tidak terlalu memikirkannya, tapi Hinako memiliki rupa yang sangat canti sampai-sampai 10 dari 10 orang pasti akan menoleh untuk melihatnya. Aku sudah mulai setengah terbiasa dengan kecantikannya itu karena interaksi kami setiap hari, tapi ketika Hinako mendekatiku seperti ini dalam mode Ojou-sama, aku tidak bisa untuk tidak menyadari fakta itu sekali lagi.

“...Hinako.”

“Ya, ada apa?”

Masih dalam mode Ojou-sama, Hinako sedikit memiringkan kepalanya.

Nah, karena aku terlalu gugup untuk berbicara dengannya dalam kondisi seperit ini——

“Aku punya keripik kentang loh?”

“Eh?”

Dalam sekejap, Hinako langsung kembali ke kepribadian aslinya.

Saat aku mengeluarkan sebungkus keripik kentang dari laci, mata Hinako langsung tampak berbinar.

Keripik kentang itu diberikan oleh Shizune-san padaku sebagai upaya terakhir bagiku kalau Hinako tidak mau mendengarkanku saat aku bekerja sebagai pengurus, tapi akhir-kahir Hinako bersikap kooperatif.

“Enak...”

Hinako, yang sedang memakan keripi kentang itu, berada dalam keadaan benar-benar santai seperti biasanya.

Seperti yang kupikir, aku merasa lebih nyaman dengan Hinako yang seperti ini.

Tapi..., kalau dipikirkan dengan tenang, mungkin tidak baik untuk membuatnya makan jajanan di malam hari seperti ini.

“...Jangan kasih tahu soal ini pada Shizune-san, oke?”

“Mm!”

Sambil tersenyum lebar, Hinako menganggukkan kepalanya.

---

Keesokan harinya, sepulang sekolah, aku pergi ke gedung olahraga untuk mengikuti latihan dansa dengan Tennoji-san.

“Oh..., Tennoji-san.”

Aku mengganti pakaianku ke seragam olahraga di ruang ganti dan menuju aula gedung, di mana di situ aku melihat Tennoji-san yang juga baru saja selesai berganti pakaian.

Tennoji-san menatapku, tapi kemudian dia mulai melihat ke arah sekeliling.

“Itsuki-san.”

Oh, itu isyarat.

Saat ini, tidak ada siapa-siapa lagi selain kami berdua di sekitar sini. Dan dengan begitu, aku bisa kembali ke diriku yang sebenarnya, tapi—pada dasarnya, aku sudah terbiasa untuk berbicara dengan nada yang formal kepadanya, jadi sekalipun Tennoji-san menyuruhku untuk berbicara dengan lugas padanya, aku masih tidak terbiasa untuk menyelaraskan cara bicaraku.

“Erm..., mohon bimbingannya untuk latihan hari ini.”

“Kok kamu canggung gitu?”

Aku menyapanya dengan canggung, dan itu membuat Tennoji-san jadi cekikikan.

Responnya itu membuatku merasa malu, tapi di saat yang sama juga membuat rasa gugupku jadi berkurang.

“Kemarin kau menelepon pihak Keluarga Konohana, kan? ...Kau benar-benar sudah menyelamatkanku. Kalau saja kau tidak menelepon mereka, aku mungkin tidak akan bisa menghadiri akademi ini lagi.”

“Tidak perlu berterima kasih, toh akulah yang bertanggung jawab atas apa yang terjadi kemarin.” Kata Tennoji-san, dengan ekspresi yang tenang. “Ngomong-ngomong, sebenarnya hari ini diam-diam aku mengamatimu... Dan aku jadi mengerti, bahwa kau benar-benar berperilaku selayaknya pelayan Hinako Konohana. Kau selalu berusaha untuk tetap berada di dekatnya, dan kau selalu siap untuk mengambil tindakan kalau-kalau ada sesuatu yang terjadi... Sungguh, Hinako Konohana benar-benar beruntung.”

“Aku senang mendengarmu mengatakan itu. Tapi yah, sejujurnya, aku masih harus meningkatkan kemampuanku lagi.”

“Tidak perlu rendah hati. Kupikir kau mungkin telah dilatih dengan baik oleh para pelayan Keluarga Konohana. Setidaknya, sebagai pelayan Keluarga Konohana, kemampuan yang kau miliki itu sudah cukup baik.”

Mengatakan itu, Tennoji-san sedikit menurunkan pandangannya.

“Sungguh..., aku sangat-sangat merasa iri. Padahal dengan kemampuanmu ini, kau bisa menjadi pelayanku...”

Kuperhatikan, Tennoji-san tampak seperti sedang membisikkan sesuatu.

“Apa kau ada mengatakan sesuatu?”

“Tidak, tidak ada,” ucap Tennoji-san, dengan ekspresi yang entah kenapa tampak marah.

Hmm, apa aku ada mengatakan sesuatu yang membuatnya tersinggung...?

“Ngomong-ngomong, Itsuki-san... Apa yang biasanya kau lakukan dengan Hinako Konohana saat jam istirahat makan siang? Aku tahu loh kalau saat jam istirahat makan siang kalian berdua akan berada di gedung akademi lama...,” tanyanya, dan entah mengapa dia memelototiku.

Biasanya sih, dan hari ini pun, apa yang kulakukan saat jam istirahat makan siang bersama Hinako adalah menyuapinya makan dan memberinya bantal pangkuan sehingga dia bisa tidur siang, tapi..., kurasa aku tidak bisa memberitahukan itu padanya.

“Kami cuman makan siang saja.”

“Kalau cuman mau makan siang, memang tidak bisa kalian makan di kelas saja? Tidakkah kalian juga melakukan sesuatu yang lain?”

Tennoji-san memang sangat hebat, dia memiliki insting yang bagus. Karenanya, aku tidak punya pilihan selain——

“...Aku akan tutup mulut soal itu.”

“...Hou~” Mata Tennoji-san menyipit. “Untuk memastikan, aku akan menanyakan ini padamu... Kalian tidak melakukan sesuatu yang aneh-aneh, kan?”

“Tentang itu...”

Secara natural, aku jadi teringat bahwa aku telah memberikan Hinako bangkal pangkuan. Di mata publik, bukankah itu adalah interaksi heteroseksual yang tidak murni? Tidak, tapi..., karena kami tidak memiliki pemikiran seperti itu, jadi aku yakin itu tidaklah masalah.

“...Kupikir kami tidak melakukan sesuatu yang aneh-aneh.”

“Kok kesannya kau ragu-ragu dalam mengatakan itu?”

“Seriusan, kami tidak melakukan hal yang aneh-aneh.”

Keraguan sejenak yang terbesit di benakku sepertinya sedikit terwujud dalam kata-kataku. Jadi sekalipun aku kembali menegaskannya, itu sudah terlambat, yang mana membuat Tennoji-san menjadi lebih skeptis.

“S-Sepertinya kau dan Hinako Konohana benar-benar memiliki suatu hubungan yang spesial!”

“Sekalipun kau bilang begitu..., memangnya apa yang menjadi dasar dari pemikiranmu itu?”

“Ini hanya firasatku!”

“Lah kok malah firasat...”

Ini artinya, dia sama sekali tidak punya dasar dari apa yang dia katakan.

“Yah, kalau aku harus mengatakannya..., mungkin, daripada hanya sekadar seorang pelayan, hubunganku dengannya sedikit lebih intim.”

“I-Intim...?” Tennoji-san mengerutkan alisnya, lalu lanjut berbicara. “Sampai mana...?”

“Maksudmu ‘sampai mana’?”

“Maksudku sampai seintim apa?! Sepertinya misalnya sering mengobrol satu sama lain, atau hanya akan mengobrol ketika berpapasan, pasti ada tingkat keintimannya, ‘kan!!”

Lah, itu mah bukan intim namanya, toh itu memang apa yang akan dilakukan saat sedang atau bertemu dengan orang lain.

Tapi, kenapa sih kok dia menanyaiku pertanyaan semacam ini? Sambil bertanya-tanya seperti itu, aku menjawabnya.

“Misalnya, kami berdua biasa mengobrol dengan ringan.”

“Y-Yah, kurasa tidak ada yang aneh dengan itu. Toh aku juga melakukan itu denganmu.”

“Dan juga, seperti yang kubilang tadi, kami biasanya akan makan bareng.”

“...K-Kurasa tidak ada yang aneh juga dengan itu. Toh aku juga pernah melakukan itu denganmu.”

“Selain itu..., aku juga biasanya mengelus-ngelus kepalanya.”

“Kau tidak pernah melakukan itu padaku——!!” Teriak Tennoji-san.

Sial, gara-gara dia tidak keberatan dengan dua kalimat pertama yang kukatakan, jadinya mulutku malah jadi kebablasan.

“Mengelus-ngelus kepalanya?! ——Mengelus-ngelus kepalanya?! Apa-apan situasi itu?!”

“T-Tidak, bagaimana aku harus mengatakannya..., kebetulan aku hanya mendapatkan suasana yang membuatku ingin melakukan itu.”

“Apa-apaan dengan suasana itu?!”

Bang! Tennoji-san menghentakkan kakinya di lantai dengan keras.

Aku bingung bagaimana harus menjelaskan tentang suasana itu kepadanya, tapi di saat aku merasa bingung, wajah Tennoji-san jadi memerah, dan——

“Elus-elus juga kepalaku...”

“...Hah?”

“Kubilang elus-elus juga kepalaku! Aku—Mirei Tennoji, tidak bisa membiarkan Hinako Konohana mendahuluiku!!”

Hah? Mendahuluinya...? Apa sih yang sebenarnya Tennoji-san persaingkan dengan Hinako?

“...Baiklah kalau begitu.”

Aku merasa kalau dia akan semakin menjadi marah jika aku tidak mengelus kepalanya, jadi kuputuskan untuk meraih dan mengelus kepalanya.

“Fuaa...”

Saat aku mengelus kepalanya, kudengar Tennoji-san mengeluarkan erangan yang aneh. Tapi..., terlepas dari kepribadian Tennoji-san yang keras, dia memiliki rambut yang selembut sutra. Rambutnya terasa berbeda dari rambutnya Hinako, dimana pusar rambutnya hanya sedikit melenceng dari tengah-tengah.

Saat aku terus mengelus-ngelus kepalanya yang kecil itu untuk sementara waktu..., kuperhatikan kalau pipinya jadi merah merona dan dia terus terdiam. Melihat dia yang seperti itu, dengan ragu-ragu aku memanggilnya.

“...Tennoji-san?”

“Eh—!”

Mata Tennoji-san langsung membelalak saat dia tampak seperti telah kembali ke dirinya sendiri.

Lalu, saat aku melepaskan tanganku dari kepalanya, dia berdehem dan——

Ahem. Maaf..., tadi aku hanya sedang memikirkan sesuatu.”

“Memikirkan sesuatu...?”

“Memangnya kenapa?”

Aku cukup yakin kalau dia tidak tampak seperti sedang memikirkan sesuatu, tapi..., karena aku gak mau cari gara-gara, jadi kuputuskan untuk diam saja.

“J-Jadi kau melakukan hal-hal semacam ini dengan Hinako Konohana, ya?”

“...Yah, begitulah.”

Saat aku meng-iyakan, Tennoji-san mengerutkan alisnya.

“Fufufu..., seperti yang kupikirkan, aku ini memang benar-benar tidak bisa cocok dengan Hinako Konohana,” gumam Tennoji-san, sambil mengepalkan tinjunya. “...Baiklah, ayo kita mulai latihan kita.”

“Eh?”

“Ayo kita mulai latihan kita!!”

“Y-Ya!!”

Entah mengapa, Tennoji-san jadi sangat marah.

---

“Gerakanmu terlalu lambat di bagian ini!”

Satu jam sudah berlalu sejak latihan dansaku dimulai. Setiap kali aku ada membuat gerakan yang salah, Tennoji-san dengan cepat langsung menegurku.

“K-Kok hari ini latihannya lebih berat daripada biasanya sih?”

“Soalnya aku tidak akan menahan diri dalam melatih seorang scammer sepertimu!”

“Astaga..., kalau kau bilang begitu aku jadi tidak punya apa-apa untuk menyangkal.”

Dalam latihan hari ini, aku menyadari bahwa kakiku sudah merasa kelelahan. Harusnya sih, dalam hal kekuatan fisik dan stamina aku masih jauh lebih kuat daripada Tennoji-san, tapi staminaku yang sangat terkuras ini pasti karena aku kebanyakan membuat gerakan yang percuma.

Dan dengan kondisi seperti itu, setelah satu jam kemudian, kami berhenti berdansa.

“Hari ini kita akhiri latihannya sampai di sini.”

“T-Terima kasih bimbingannya...”

Aku menundukkan kepalaku dan kemudian menyeka keringat yang mengalir di wajahku menggunakan punggung tanganku. Di sisi lain, Tennoji-san juga menyeka keringat di wajahnya menggunakan kerah bajunya yang ia regangkan, membuatku langsung mengalihkan pandanganku darinya saat aku bisa melihat pinggangnya yang ramping dan putih terekspos karena bajunya yang terangkat.

“Seperti biasanya, kau mempelajari apa yang diajarkan padamu dengan cepat.”

“...Yah, tapi aku tidak benar-benar merasakan adanya perbedaan dari diriku setelah berlatih beberapa kali.”

“Aku tidak bermaksud untuk memujimu loh. Lagian faktanya kau memang begitu, ketika ada sesuatu yang seharusnya akan memakan waktu dua hari untuk dipelajari, tapi hanya dalam waktu setengah hari kau sudah bisa mempelajarinya... Tampaknya, memang dengan memiliki ambisi yang kuatlah seseorang akan bisa tumbuh dengan cepat.”

Setelah mengatakan itu, Tennoji-san kemudian tiba-tiba tampak seperti sedang memikirkan sesuatu.

“Ada apa?”

“Tidak, cuman sepertinya aku baru saja menyadari apa yang kuminati... Tampaknya, aku ini suka dengan orang yang bekerja keras.”

Gak ada angin gak ada hujan, tiba-tiba Tennoji-san mengatakan itu. Sepertinya, dia mengatakan itu hampir secara tidak sadar. Namun kalau dia sudah mengatakan sesuatu seperti itu, tentunya topik itu jadi agak sulit untuk kuabaikan.

“E-Erm..., kalau kau bilang suka, itu artinya...”

“J-Jangan salah paham! Maksudku, aku hanya menghormati seorang yang bekerja keras!”

“J-Jadi begitu ya...”

“Tentu saja! Karena kalau tidak begitu——” Seolah-olah telah kembali tenang, dia kemudian berbicara dengan ekspresi serius yang khusyuk. “....Karena kalau tidak begitu, tidaklah boleh.”

Akhir-akhir ini, Tennoji-san sering sekali menunjukkan ekspresi seperti ini. Dan karena aku tidak tahu harus menanggapinya seperti apa, jadi untuk saat ini kuputuskan untuk mengubah topik pembicaraan.

“Ngomong-ngomong, kau bilang kalau kamu adalah anak angkat, tapi kau tidak punya kesan-kesan seperti itu, ya? Maksudku, tidak sepertiku, kau tidak memiliki kesan orang biasa...”

“Begitulah, bagaimanapun juga sejauh apa yang bisa kuingat adalah aku dibesarkan oleh Keluarga Tennoji. Dalam hal itu, tidak sepertimu, aku tidak perlu merubah perilaku sehari-hariku, jadi aku tidak perlu menaruh banyak upaya dalam perilaku-ku yang selayaknya kaum kelas atas.”

Karena aku sudah terbiasa dengan perilaku orang biasa, jadi aku harus menaruh upaya yang keras untuk beralih ke perilaku yang selayaknya kaum kelas ketas agar dapat menyesuaikan diri di Akademi Kekaisaran ini. Makanya, sekalipun Tennoji-san adalah anak angkat, karena dia dibesarkan oleh Keluarga Tennoji sejak dia masih bayi, jadi tidak sepertiku, dia tidak mengalami peralihan perilaku.

Namun demikian, itu tidak berarti bahwa Tennoji-san tidak menaruh banyak upaya yang keras. Dia hidup sebagai putri dari Keluarga Tennoji..., dengan demikian, dia memiliki tanggung jawab yang besar atas nama yang dia miliki, dimana itu merupakan suatu tekanan yang tidak kumiliki.

“Itu artinya, kau tidak tahu banyak tentang gaya hidup orang biasa, ya.”

“Kau benar, dan itu adalah kebohongan kalau aku bilang aku tidak merasa penasaran dengan itu.”

Bahkan di Akademi Kekaisaran ini pun, ada beberapa murid yang mengetahui gaya hidup orang biasa. Contohnya Narika, dia sering pergi ke toko jajanan pinggir jalan dan semacamnya.

“Tapi..., saat ini, aku harus fokus pada studiku agar aku bisa mengalahkan Hinako Konohana,” kata Tennoji-san, menampilkan ekspresi penuh tekad.

“...Sebenarnya aku sudah memikirkan ini sejak lama, tapi kau ini orangnya menyukai hal-hal yang berbau persaingan, ya?”

“Ya. Awalnya, aku cuman berusaha untuk menjadi yang terbaik dalam segala hal untuk Keluarga Tennoji..., tapi tau-tau aja, itu sudah menjadi bagian dari sifatku.”

Yah, tentunya, itu memang terdengar sangat khas darinya.

“Apalagi, saat ini... tergantung pada hasil perjodohanku, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku kedepannya. Makanya, selagi masih sempat, aku harus menyelesaikan pertarunganku dengan Hinako Konohana.”

Saat dia menunjukkan tekadnya itu, aku sontak memiliki suatu pertanyaan di benakku.

“Apa yang akan terjadi padamu kedepannya? ...Memangnya akan ada sesuatu yang berubah kalau perjodohanmu sudah ditetapkan?”

“Skenario terburuknya, mungkin aku akan keluar dari akademi ini.”

“...Hah?”

Mataku langsung membelalak terhadap kata-katanya yang sangat tak terduga itu.

“Pria yang mau dijodohkan denganku tinggal agak jauh dari sini... Dan dia ingin agar sesegera mungkin aku tinggal bersamanya setelah perjodohan kami ditetapkan, jadi aku mungkin akan keluar dari akademi ini.”

“T-Tunggu dulu, kok tiba-tiba situasinya jadi begitu...”

“Yah, mungkin ini memang cukup tiba-tiba, toh aku sendiri juga baru mendengar tentang ini tadi malam,” kata Tennoji-san, masih berpikiran rasional. “Tapi bagaimanapun juga, inilah artinya perjodohan... Aku akan mengikuti keinginan keluarga dan mengabdikan diriku pada hubungan antara kedua keluarga. Intinya..., aku berada dalam posisi dimana aku tidak lagi memiliki kebebasan.”

Setelah mengatakan itu, dia langsung terdiam. Kepercayaan diri yang biasanya tampak di dirinya kini sama sekali tidak terlihat.

“...Erm, hey? Apa kau benar-benar berpikiran positif mengenai perjodohanmu ini?”

Mendengar pertanyaanku, dia tampak sedih sejenak.

Di antara kami, tidak boleh ada kebohongan, dan orang yang mengatakan itu adalah Tennoji-san sendiri.

Tapi segera, dia menutup matanya, dan kemudian dia mulai tersenyum elegan dan..., menjawabku.

“Aku memilih untuk diam soal itu.”

Jawaban itu—sudah seperti dia mengatakan padaku jawabannya yang sesungguhnya.

---

Keesokan harinya.

Di ruang kelas, aku menghela napas dalam-dalam saat jeda setelah berakhirnya sesi pelajaran.

“Yo~, Tomonari, kok kau kelihatan seperti lagi banyak pikiran gitu?”

“Ada apa nih~ Ada apa nih~? Kalau kau mau curhat, kita bisa dengerin loh~”

Taisho dan Asahi-san menghampiriku.

Sungguh, mereka berdua selalu akan datang kepadaku ketika aku ingin berkonsultasi tentang sesuatu. ...Aku yakin, ini bukanlah sekadar kebetulan. Bagaimanapun juga, mereka berdua adalah pembuat mood di kelas ini dan sangat perhatian pada teman-teman mereka. Karenanya, jika mereka merasa bahwa seseorang lagi dalam masalah, maka secara tidak sadar mereka pasti akan langsung mengajak ngobrol orang tersebut.

“Erm, ada yang mau kutanya sama kalian..., apa pendapat kalian tentang perjodohan?”

“Eh?! Tomonari-kun, jangan-jangan, kau mau dijodohkan?”

“Tidak, bukan aku, tapi temanku.”
                                   
“Owalah~, tak pikir kau sudah mengkhianati kita.”

Mengkhianati mereka? Saat aku bingung dan memiringkan kepalaku, Asahi-san kembali berbicara.

“Di zaman sekarang ini, yang namanya perjodohan itu cuman dilakukan oleh perusahan-perusahaan besar~. Kalau menilai dari status sosial kita, perjodohan itu sama dengan mengincar gem*~”

“Tapi bahkan diantara orang-orang setingkat kita, kadang-kadang ada orang tua yang ingin mentunangan anak mereka. Yah, tapi kalau cuman sekedar ditunangkan sih tidak akan seketat dijodohkan..., jadi tentu saja kau akan punya hak untuk menolak,” kata Taisho, menambahkan penjelasannya Asahi-san.

Oh, jadi yang Asahi-san maksud dengan mengkhianati itu dia pikir aku adalah seorang yang sedang mengincar reverse gem*.

[Catatan Penerjemah: Idiom mengincar gem‘Tamanokoshi (玉の輿)’, dan idiom mengincar reverse gem ‘Gyaku Tamanokoshi atau Gyakutama (逆玉の輿)’, artinya, ketika seorang pria/wanita menikahi orang kaya, pria/wanita itu akan menjadi orang kaya. Bahasa kasarnya sih, matre.]

“Tapi, apa kau akan punya hak untuk menolak kalau dalam masalah dijodohkan?”

“Itu sih tergantung pada keluarganya..., atau lebih tepatnya, tergantung pada orang tuanya,” kata Taisho, dengan ekspresi yang rumit.

“Kalau seseorang berada di tingkat yang sama seperti Konohana-san, mungkin dia tidak akan punya hak untuk menolak. Tapi harusnya ada pola dari hal-hal seperti ini yang akan dijelaskan dengan baik pada kita sejak kita masih kecil... Soalnya sekarang publik sangat ketat, jadi kurasa suatu keluarga tidak akan melakukan sesuatu yang terlalu bersifat memaksa pada anaknya. Lagian, kalau sampai jurang pemisah antara orang tua dan anak terlalu lebar dan dalam, itu bisa menyebabkan adanya konflik manajemen perusahaan di kemudian hari.”

Oh aku mengerti, tapi kalau dalam kasusnya Hinako, karena kepribadian yang dia miliki, jadi orang yang bisa dijodohkan dengannya masih belum bisa diputuskan. Tapi mengesampingkan tentang itu, saat aku dibuat mengerti oleh penjelasannya Asahi-san, aku mendapatkan satu kepastian.

Tennoji-san..., jika dia mau, dia bisa menolak perjodohan yang direncanakan untuknya.

Tapi, dia tidak menolaknya. Mungkin alasan untuk itu karena dirinya adalah anak angkat. Dia ingin membalas budi kepada Keluarga Tennoji karena telah membesarkannya, makanya, sejak awal dia tidak berniat untuk menolak usulan perjodohan itu. Dan dengan mengingat keinginannya yang kuat itu, entah dengan siapapun dia dijodohkan, dia pasti akan menerima perjodohan untuknya. Kalau sudah begini, itu sudah seperti sejak awal dia tidak punya pilihan untuk menolak.

Tapi, apakah itu benar-benar merupakan hal yang baik untuknya?

Apa tidak apa-apa jika aku mendukung Tennoji-san yang berpikiran seperti itu?

Tidak, itu tentu saja tidak.

Aku tidak boleh berpura-pura tidak menyadarinya, karena berkali-kali, aku telah melihat tanda-tanda bahwa Tennoji-san tidak senang dengan perjodohan yang direncanakan untuknya.

Semenjak rencana perjodohan itu muncul, Tennoji-san jadi tampak lebih murung daripada biasanya. Saat aku bertanya padanya apa dia benar-benar berpikiran positif mengenai perjodohannya, dia justru menjawabku, “Aku memilih untuk diam soal itu”, dimana dalam hal ini aku tidaklah tolol untuk tidak melihat tanda yang begitu jelas itu.

“Apa kau baik-baik saja, Tomonari-kun? Wajahmu kelihatan seperti sedang mengalami masa-masa yang sangat sulit loh...”

“...Aku baik-baik saja. Aku cuman lagi mencoba mencari cara bagaimana menghancurkan perjodohan itu.”

“Tidak, apa kau beneran baik-baik aja?!” Tanya Asahi-san, tampak tercengang. “Erm, aku tidak tahu apa yang kau pikirkan... tapi jangan sampai melakukan sesuatu yang terlalu sembrono, oke?”

“Di cerita-cerita fiksi hal seperti itu sering terjadi, kan? Cerita dimana si heroine akan menikah dengan seseorang yang tidak dia sukai, dan untuk menyelamatkannya, tokoh utamanya akan pergi ke pernikahan itu dan menculik pengantin wanita. Rasanya aku juga ingin melakukan sesuatu seperti itu~...”

“Kalau kau yang melakukan sesuatu seperti itu, bukannya itu malah akan jadi terlihat seperti cerita lelucon?”

“Jangan meremehkanku woy! Kalau aku serius, aku juga bisa tampil keren, tau!”

“Ya, ya~”

Terhadap Taisho yang jadi marah, Asahi-san hanya meng’iya-iyakan.

“Yah, kenyataannya sih, solusi paling cerdas adalah dengan membicarakannya secara baik-baik. Di zaman sekarang ini, kemungkinan perjodohan disetujui tidaklah tinggi, dan pihak lain pun pasti akan mempertimbangkan kemungkinan untuk ditolak. Dan dengan begitu, rintangan untuk memberikan penolakan akan menjadi lebih rendah...”

Asahi-san meletakkan jarinya di dagunya, dan setelah berpikir sejenak, dia berbicara.

“Tapi kalian tahu, aku juga pernah mendengar bahwa kompromi itu penting dalam pernikahan loh~?”

“Haah, aku benar-benar tidak mau mendengar soal itu. Topik-topik tentang tidak adanya impian adalah racung bagi anak-anak.”

“Yah, paling tidak setengah dari siswa-siswi di Akademi Kekaisaran sudah menjadi pewaris perusahaan sebelum mereka menjadi anak-anak,” sambil cekikikan, Asahi-san mengatakan itu pada Taisho yang menutupi kedua telinganya.

Sudah menjadi pewaris perusahaan sebelum menjadi anak-anak, kata-kata yang Asahi-san ucapkan itu meninggalkan kesan yang kuat di telingaku.

“Ngomong-ngomong, Tomonari-kun, apa hari ini kau akan melakukan sesuatu lagi dengan Tennoji-san?”

“Ya. Akhir-akhir ini kami fokus mempelajari etiket, tapi karena ujian sudah dekat, jadi mulai hari ini kami akan fokus mempelajari materi akademi.”

“Fuu~un,” gumam Asahi-san. “Apa kalian tahu, ada rumor yang beredar kalau tahap pendekatan kalian berdua berjalan dengan baik loh?”

“Hah?”

“Kau sungguh populer ya, Tomonari-kun~. Tennoji-san itu sama populernya dengan Konohana-san, loh? Aku ingin tahu tahu ada berapa banyak anak laki-laki di akademi ini yang naksir dengan dia~?”

Menanggapi ucapan Asahi-san, Taisho mengangguk-anggukknya kepalanya sambil mengatakan, “Aku salah satunya”.

Belum lama ini, aku dan Tennoji-san bertengkar ringan, tapi tau-tau saja, orang-orang di sekitar kami sepertinya berpikir kalau kami sedang dalam tahap pendekatan, dan itu berjalan dengan baik. Dan kenyataannya, aku sendiri juga merasa bahwa terungkapnya identitasku yang sebenarnya telah membuatku lebih dekat dengan Tennoji-san. Kurasa ini adalah apa yang disebut jika suatu masalah terselesaikan, maka situasi yang ada akan menjadi jauh lebih daripada sebelum masalah terjadi.

Namun demikian, kesalahpahaman terebut harus diluruskan demi kehormatannya Tennoji-san.

“...Hubungan kami tidak seperti itu kok.”

“Yah, aku juga berpikir seperit itu. Tapi yang pasti, akhi-akhir ini kau tampak bersenang-senang, Tomonari-kun.”

“Yah..., paling tidak, aku memang bersenang-senang.”

Jika itu adalah apa yang dirasakan dari sudut pandangnya Asahi-san, maka tidak ada keraguan tentang itu.

Sama seperti yang telah kukatakan langsung pada Tennoji-san, aku senang mempelajari banyak hal dari dirinya.

Saat Asahi-san mendengar komentarku yang seperi itu, dia tersenyum lembut.

“Kurasa Tennoji-san juga merasa bersenang-senang saat bersamamu, Tomonari-kun.”

Jika memang demikian, maka aku merasa senang, tapi..., tidak, tidak hanya saat bersamaku saja. Tennoji-san selalu terlihat bersenang-senang saat berada di akademi ini. Bahkan saat kami mengadakan pesta teh sebelumnya, Tennoji-san tampak berada dalam suasana hati yang amat baik.

Lanta, mengapa dia harus membuang hal tersebut?

Apa Tennoji-san tidak menyadari apa yang akan dia buang dalam perjodohannya itu?

Jika dia memang tidak sadar, maka apa yang harus kulakukan adalah——

---

Masih di hari yang sama, sepulang sekolah.

Saat ini, aku sedang belajar dengan Tennoji-san di kafe di samping kantin akademi.

“Sebentar lagi ujiannya sudah mau diadakan aja, ya.”

“...Kau benar.”

Karena tidak ada orang lain di sekitar kami, jadi aku berbicara dengan Tennoji-san menggunakan cara berbicara yang informal.

Nah, sekalipun saat ini sudah mendekati waktu ujian, tapi aku tidak bisa melihat adanya siswa-siswi lain yang masih berkeliaran di sekitar akademi saat sepulang sekolah seperti ini. Mungkin itu karena sejak awal siswa-siswi dari Akademi Kekaisaran ini bisa berkonsentrasi pada studi mereka saat di rumah, makanya, mereka tidak harus tetap tinggal di akademi untuk belajar.

“Ngomong-ngomong, aku sudah pernah mengatakan ini padamu sebelumnya, tapi aku akan mengatakannya lagi padamu.”

Meletakkan pensil mekaniknya di meja, Tennoji-san lanjut berbicara.

“Aku diizinkan untuk terus berada di akademi ini sampai ujian berikutnya selesai, jadi sesuai yang kurencankan, aku pasti akan mengalahkan Hinako Konohana dalam ujian berikutnya. Lalu setelah itu..., tidak akan ada lagi alasan bagiku untuk tetap menghadiri akademi ini.”

Mendengar kata-kata itu, mataku langsung membelalak.

“Itu artinya...”

“...Yah, begitulah.”

Ini artinya, setelah perjodohannya diputuskan, sudah bisa dipastikan bahwa Tennoji-san akan meninggalkan Akademi Kekaisaran.

Namun demikian, dia tidak mengatakan apa-apa perihal dia yang akan meninggalkan akademi ini. Gadis ini..., tidak seperti Hinako, dia adalah seorang yang memiliki hati yang kuat dan dapat menekan kendali dirinya sendiri, jadi dia tidak mau mengatakan ‘Tolong aku’ secara langsung.

“Jangan terlihat sangat mencemaskanku kayak begitu.” Katanya, saat dia tiba-tiba menatapku. “Dapat berkontribusi pada Keluarga Tennoji merupakan kebahagiaan untukku. Karenanya, aku—”

“—Apa kau benar-benar berpikir seperti itu?” Selaku, sambil menatap langsung ke wajahnya yang membuatnya langsung terdiam. “...Tennoji-san, bisa tidak kau meluangkan waktumu untuk satu hari besok?” Matanya membelalak mendengar ini, tapi aku masih lanjut berbicara. “Sebelumnya kau pernah menyiratkan kalau kamu ingin tahu tentang kehidupan orang biasa, kan?”

“Ya, aku memang pernah menyiratkan kalau aku ingin mengetahuinya.”

Tennoji-san adalah anak angkat, tapi karena sejauh apa yang bisa ia ingat adalah dirinya dibesarkan oleh Keluarga Tennoji, jadi dia tidak mengetahui seperti apa kehidupan orang biasa. Karenanya, itu membuatnya tertarik akan gimana sih kehidupan orang biasa itu.

“Bagaimana kalau kita sedikit relaksasi sebelum kita menghadapi ujian? Aku juga ingin berterima kasih padamu untuk semua yang telah kau ajarkan padaku, jadi kalau kau tidak keberatan, aku ingin memperlihatkanmu seperti apa kehidupannya orang biasa.”

Itu mungkin ajakan yang terlalu mendadak, tapi kemudian, setelah Tennoji-san mempertimbangkannya dengan serius untuk sejenak,

“Kau ada benarnya, mumpung ada kesempatan, aku akan meluangkan waktuku,” katanya, sambil tersenyum.

Mumpung ada kesempatan, ya..., kata-katanya itu seolah-olah dia maksudkan bahwa dia ingin membuat kenang-kenangan bagi dirinya kalau dia pernah menjadi murid dari akademi ini.

Tapi, jika dia ingin melakukan itu, maka aku akan berusaha mati-matian untuk membuat apa yang dia mau itu tidak terjadi.

---

Besoknya, hari libur.

Setelah berhasil membujuk Hinako dan Shizune-san supaya mau mengizinkanku keluar, aku menunggu Tennoji-san di depan stasiun.

“...Kalau dipikir-pikir lagi, sudah lama aku tidak keluar untuk bermain seperti ini.”

Mungkin semenjak aku mulai bekerja sebagai pengurusnya Hinako, ini adalah pertama kalinya aku keluar hanya untuk bersenang-senang dan bukan untuk bekerja. Sejak aku menjadi pengurus, aku menghabiskan sebagian besar hari liburku untuk belajar, jadi hari ini aku merasa seperti aku memiliki terlalu banyak waktu di tanganku yang membuatku malah jadi merasa gelisah.

Dan lagi..., kalau kupikirkan baik-baik, hari ini aku akan kencan.

Meskipun aku malu untuk mengatakannya, tapi aku belum pernah pergi kencan sebelumnya, jadi tentunya, aku merasa sedikit gugup.

“Maaf membuatmu menunggu.”

Dari samping, suatu suara memanggilku.

Saat aku menoleh, di sana aku bisa melihat Tennoji-san, tapi—

“Tennoji-san, penampilanmu itu......?”

“Ini penyamaran. Hari ini kau akan membawaku ke tempat yang orang-orang sepertiku jarang kunjungi, kan? Makanya, aku menyamar supaya tidak menjadi pusat perhatian.”

Di atas rambut pirangnya yang dia geraikan, dia mengenakan baret berwarna biru muda. Untuk pakaiannya, dia mengenakan blus putih dan rok biru, memberinya kesan yang sedikit santai dan polos dibandingkan dengan kesannya yang mencolok dalam penampilannya ketika berada di akademi. Pakaiannya itu benar-benar menyatu dengan suasana kota, dan bisa dikatakan bahwa penyamarannya sangat baik.

Tapi, sejak awal Tennoji-san sudah memiliki penampilan yang rupawan. Itu sebabnya, dia yang biasanya saja sudah sangat cantik, tapi penampilannya hari ini membuatnya memiliki pesona yang berbeda. Intinya, saking cantiknya, dia sampai menarik perhatian orang-orang yang lewat. Jadi yah, kurasa entah seperti apa pun penampilannya, tampaknya dia masih tetap akan menarik perhatian.

“Erm..., apa penampilanku aneh?” Tanyanya, dengan rona merah di pipinya.

Sial, sepertinya aku terlalu berlebihan dalam menatapnya.

“Tidak, penampilanmu tidak aneh kok... Hanya saja, kupikir penampilanmu yang sekarang terasa menyegarkan.”

“Loh? Pas di rumahku ‘kan kamu harusnya sudah pernah melihatku menggeraikan rambutku.”

“Yang kumaksud bukan cuman rambutmu aja, tapi..., gimana ya aku harus bilangnya..., kesanmu secara keseluruhan terasa berbeda...”

Karena aku malu untuk jujur mengatakan, “Penampilanmu menyegarkan dan imut”, jadinya kata-kataku berakhir menjadi terucap tidak jelas. Tapi kemudian, Tennoji-san menunjukkan senyum senang seolah-olah dia telah menebak pemikiranku.

“Jadi? Kau sukanya yang mana? Penampilanku yang sekarang atau penampilanku yang biasanya?”

Oh, pertanyaannya cukup sulit juga.

Tapi, setelah memikirkannya sejenak, aku pun menjawabnya.

“...Kupikir aku lebih suka dengan penampilanmu yang biasanya.”

“Oh gitu ya, jadi penampilan yang seperti ini bukanlah tipemu, ya...”

“Bukannya gitu, cuman kalau kamu berpenampilan seperti biasanya... aku merasa seperti aku sudah lebih akrab denganmu..., atau aku bisa bersikap lebih santai dan alami.”

Saat aku memberitahunya demikian sambil menggaruk pipiku, Tennoji-san terlihat senang.

“Yah, kurasa kau benar. Sejujurnya, aku pribadi juga merasa sedikit tidak nyaman dengan pakaian ini. Soalnya kalau aku berpenampilan seperti biasanya... aku akan terlihat lebih cantik!”

Meletakkan tangannya di dadanya, di menyatakan itu dengan sangat percaya diri.

“Hari ini aku bebas membawamu berkeliling, kan? Aku tidak akan membawamu ke tempat yang berbahaya, tapi aku akan membawamu ke tempat yang tidak terlihat seperti tempat yang akan dikunjungi oleh putri dari Keluarga Tennoji.”

“Tidak masalah, lagipula itulah sebabnya aku menyamar. Jadi sekalipun ada banyak orang yang melihatku, selama identitasku tidak diketahui, aku dapat melindungi citra publik Keluarga Tennoji, dan aku berencana untuk sepenuhnya bersenang-senang hari ini.”

Seolah menyiraktan bahwa penyamarannya benar-benar sempurna, dia menunjukkan wajah yang percaya diri.

“Tapi ngomong-ngomong, aku terkejut orang tuamu mengizinkanmu keluar. Kau tidak membawa pengawal, kan?”

“Ya, soalnya ayah dan ibuku orangnya sangat toleran.” Katanya, tampak merasa diberkati. “Kau sendiri, apa kau mendapatkan izin dengan mulus?”

“Yah..., itu bohong kalau aku mengatakan aku mendapatkan izin dengan mulus...”

Shizune-san sih langsung memberiku izin, soalnya dia juga tidak mau terlalu banyak membatasi aktivitasku. Yang susah pas mau minta izin sama Hinako. Pas aku bilang kalau aku ingin pergi berduaan saja dengan Tennoji-san, dia langsung menjadi kesal. Ketika aku menjelaskan padanya bahwa aku ingin berterima kasih pada Tennoji-san untuk semua hal yang telah dia ajarkan kepadaku, Hinako jadi berhasil kuyakinkan, tapi kemudian dengan kesal dia mengatakan, “Kau harus menebusnya”, padaku.

“Ngomong-ngomong, Itsuki-san...” Dengan suara yang pelan, Tennoji-san bertanya. “Erm, apa bisa kuanggap kalau kita lagi kencan...?”

“Y-Yah——”

Responku tersendat.

Padahal aku sudah berusaha untuk tidak menganggapnya seperti itu, tapi aku tidak menyangka kalau justru Tennoji-san lah yang akan akan meminta konfirmasi soal itu.

“Y-Yah, kurasa begitu......”

Saat aku meng-iyakan, pipi Tennoji-san jadi sedikit merona.

“...Ini adalah pertama kalinya aku kencan dengan seseorang.” Mengatakan itu, Tennoji-san menatapku dengan tatapan menengadah. “Jadi..., aku sangat menantikan loh semua yang akan kita lakukan,” tambahnya, dengan senyum iseng, namun dengan penantian di matanya.

Sikapnya saat ini membuatku jadi teringat akan semua pelajaran sulit yang telah kuterima darinya selama ini. Dan kalau dipikir-pikir lagi, akhir-akhir ini aku banyak menghabiskan waktu berduaan saja dengan dia. Makanya, kurasa aku tidak perlu terlalu salting entah apakah ini kencan atau bukan.

“Ya, nantikanlah. Hari ini aku akan membuatmu tahu gimana sih orang-orang biasa akan bersenang-senang.”

Aku juga, hari ini aku akan sepenuhnya bersenang-senang.

Dan dengan begitu, aku pergi ke arah kota bersama Tennoji-san.

---

“Apa-apaan ini!? Apa-apaan ini!? Apa-apaan ini—!?”

Memegang setir, Tennoji-san tampak kebingungan.

Melirik dia yang seperti itu, dengan perlahan aku memutar setirku ke kanan.

Saat ini, kami sedang berada di game center. Secara pribadi, ini sudah cukup lama semenjak aku mengunjungi tempat ini, tapi suasana di sini masih sama seperti sebelumnya. Berbagai macam suara terus mencapai telingaku, dan orang-orang dari berbagai usai, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, tengah asik bermain game.

Game yang aku dan Tennoji-san mainkan saat ini adalah game balapan. Dan kini, mobilnya Tennoji-san oleng-oleng di sudut layar, kemudian keluar jalur dan menabrak pagar pembatas.

“Aaaah?!”

Aku terus memimpin, meninggalkan mobilnya Tennoji-san di belakang saat dia berteriak mengeluh.

“—Yes! Juara satu!”

Saat mencapai garis finish, aku langsung melepaskan tanganku dari setir dan menoleh ke Tennoji-san yang duduk di sampingku.

“Kau juara berapa, Tennoji-san...?”

“...Terakhir.”

Melihat dia yang mengatakan itu dengan kecewa, secara refleks aku langsung tertawa.

“Jangan ketawain aku! Gini-gini aku sudah berusaha semaksimal mungkin, tau?!”

“M-Maaf, hanya saja padahal ini adalah game, tapi kau lucu sekali pas mengatakan [Perilakumu tidak beretika!] saat aku melemparkan pisang ke arahmu... Pfft!”

“Issh, sudah kubilang jangan ketawain aku!”

Bukan cuman aku saja, tapi orang-orang yang berada di sekitar kami pun juga menertawakannya, yang mana itu membuatnya jadi semakin kesal.

Tapi kemudian, Tennoji-san kembali tenang, dan kami pun pergi melihat-lihat game yang lainnya. Yah, sebenarnya sih dia masih sedikit kesal karena kekalahannya sebelumnya, tapi sekalipun begitu, dia masih mengamati game-game yang lain dengan penuh minat.

Sepertinya, mengajaknya pergi ke game center ini adalah keputusan yang tepat. Sama seperti Hinako, Tennoji-san sepertinya tidak mengetahui jenis-jenis hiburan semacam ini. Itulah sebabnya, hari ini aku akan memberinya kesempatan untuk mengalami hal-hal di dunia yang tidak dia ketahui ini.

“Itsuki-san, ini gendang apa?”

“Oh, Taiko: Drum Master, ya? Itu salah satu jenis permainan musik..., ayo kita mainkan game ini juga.”

Permainan musik?, di depan Tennoji-san yang menggumamkan itu dengan bingung, aku memasukkan koin 100 yen ke dalam game tersebut.

Aku kemudian memberitahunya cara memainkan game tersebut, lalu kami pun segera memilih lagu. Tapi, begitu game-nya dimulai, Tennoji-sang langsung jadi kebingungan.

“I-Ini sih bukan permainan musik namanya!!”

Astaga, kemana perginya sikap percaya dirinya yang biasanya? pikirku, saat melihat dia menggerakkan stik drumnya dengan bingung.

Akhirnya, skorku dan skornya Tennoji-san pun ditampilkan.

“Kurasa aku lagi yang menang di game kali ini.”

“Uggh..! Andai saja itu gendang yang beneran, aku yakin aku akan jauh lebih baik darimu...!”

Oh, itu benar-benar lolongan yang unik dari seorang yang telah dikalahkan.

Tapi masih belum menyerah, Tennoji-san mulai mencari game yang lainnya lagi.

“Yang ini game apa, Itsuki-san?”

“Oh, itu Hoki Udara. Sudah lama aku tidak memainkan game ini.”

“Ini juga apa...? Apa ini piringan terbang yang berukuran kecil? Apa aku hanya perlu melemparkan ini saja?”

“Jangan woy! Sini, biar kujelasin gimana cara mainnya.”

Menghentikan Tennoji-san yang hendak melempar kepingan Hoki, aku kemudian menjelaskan cara memainkan game tersebut.

Ya ampun, aku dibuat jadi bingung apakah dia ini orang yang bodoh atau berpengetahuan... Namun, dia yang tidak mengetahui hal-hal seperti ini benar-benar khas dari apa yang dikesankan oleh seorang nona muda kelas atas. Sungguh, dia benar-benar mirip dengan Hinako.

Lalu, setelah memberitahukannya cara memainkan Hoki Udara, kami langsung memainkan game tersebut, dan hasilnya, tentu saja aku yang menang.

“Ayo cari game yang lain!!”

Mengatakan itu, Tennoji-san mencari game yang lain lagi.

“Hmm..., apa itu adalah pacuan kuda?”

“Oh, game pacuan kuda, ya? Gimana kalau kita mainin game itu?”

“Kita gak boleh mainin itu! Minimal kita harus berusia dua puluh tahun supaya kita boleh membeli tiket taruhan!”

“Gak apa-apa, ini ‘kan cuman game,” jawabku padanya, sambil sebisa mungkin menahan tawaku saat dia menjadi resah.

Lalu, meskipun agak sedikit merepotkan saat mendaftar sebagai user, tapi karena itu tidak butuh waktu lama, jadi setelah selesai kami langsung bisa memainkan game tersebut.

“Ugh! Lagi-lagi aku kalah!”

“Yah, jangan sedih begitu, toh game ini mengandalkan keberuntungan...!”

Bisa dbilang, Tennoji-san hanyalah tidak beruntung untuk hari ini.

Kemudian, Tennoji-san mencoba mencari game lagi, tapi sebelum itu, dia memutuskan untuk istirahat sejenak.

Setelah membeli minuman untuk dua orang dari mesin penjual otomatis, kami kemudian duduk di kursi di dekat tangga.

“Itsuki-san, apa sebelumnya kau sering pergi ke sini?”

“Kurasa aku lebih sering ke sini untuk bekerja sambilan daripada untuk bermain-main seperti ini. Tapi ketika ada orang yang kukenal datang ke sini, aku akan meminta izin dari manajerku untuk bermain sebentar.”

Nah, itu juga menjadi alasan mengapa aku tidak pernah kalah dari Tennoji-san dalam memainkan game-game yang ada di sini, bagaimanapun juga aku sudah berpengalaman, dan dia masih pemula.

“Tempat ini namanya game center, kan? Ini benar-benar tempat yang menyenangkan. Aku belum pernah mengunjungi tempat dengan nuansa yang seperti ini sebelumnya.”

Yah, tentu saja dia belum pernah mengunjungi tempat dengan nuansa seperti ini. Lagian tempat ini bukanlah fasilitas yang bisa dikatakan sebagai tempat yang aman. Makanya, sekalipun orang tuanya Tennoji-san toleran terhadap hal ini, tapi jika itu Kagen-san, dia pasti tidak akan pernah membiarkan Hinako pergi ke tempat seperti ini.

Namun demikian, ada juga beberapa pengalaman yang cuman bisa didapatkan di sini saja. Dan saat ini, Tennoji-san tampaknya sedang terbuai akan apa yang dia lakukan di sini, buktinya selama dia bermain game dia terus-terusan menunjukkan ekspresi yang senang dan sedih layaknya anak kecil yang polos.

“...Hmm?”

Pada saat itu, aku merasa seperti ada yang menatapku. Rupanya, di belakang game penangkap UFO, di sisi lain jendela, ada seseorang gadis yang menatapku.

Gadis itu, dia mengenakan seragam dari SMA yang dulu kuhadiri. Aku sontak berkeringat dingin saat melihat tatapan matanya yang seolah-olah sedang memeloti hama,

“Ini buruk.”

Astaga, mengapa sampai sekarang aku tidak waspada?

Daerah ini adalah daerah dimana dulu aku tinggal. Karenanya, sudah sewajarnya, ada kemungkinan yang besar aku akan bertemu dengan kenalanku.

Terakhir kali aku berbicara dengan gadis tersebut—teman masa kecilku, Yuri—adalah di hari ketika aku pertama kali dipekerjakan sebagai pengurus. Dengan kata lain, itu sudah lebih dari satu bulan yang lalu. Parahanya lagi, percakapan itu juga bukanlah percakapan verbal, melainkan hanya bertukar pesan melalui ponsel. Sejak saat itu, aku belum pernah mendengar kambar darinya, tapi..., sepertinya suasana hatinya saat ini sangat buruk.

Namun demikian, dalam diam, Yuri pergi setelah dia menatap ke arahku dan Tennoji-san secara bergantian.

“Ada apa?”

“...Tidak, tidak ada apa-apa.”

Bertentangan dengan dugaanku, Yuri pergi tanpa membuat kekacauan.

Aku sebenarnya sedikit khawatir dengannya, tapi sekarang aku harus fokus pada Tennoji-san.

“Baiklah, gimana kalau selanjutnya kita bermain bowling? Tidak.., haruskah kita berkaraoke aja?”

Karena sekarang aku bekerja sebagai pengurusnya Hinako, pengeluaran yang akan kukeluarkan hari ini tidaklah seberapa. Jadi entah itu karaoke atau bowling, kami bisa memainkannya. Intinya, aku ingin memberikan pengalaman yang langka kepada Tennoji-san.

“...Semuanya.” Dengan suara yang terdengar seperti diperas, Tennoji-san berseru kepadaku. “...Ayo mainkan semua game yang ada! Aku tidak akan membiarkanmu pergi sampai aku menang!”

Sepertinya, aku mungkin telah terlalu banyak merangsang semangat bersaingnya Tennoji-san. Tapi, karena ini adalah apa yang memang aku inginkan, jadi aku mengangguk dan mengucapkan “Ya” kepadanya.

---

Tau-tau saja, langit sudah mulai gelap.

Matahari juga sudah terbenam, dan sebentar lagi sudah mau pukul 19:00.

Saat aku dan Tennoji-san berjalan santai ke arah stasiun, dengan ringan aku meregangkan dan mengendurkan tubuhku.

“Sudah lama aku tidak banyak bermain seperti ini...” Gumamku secara refleks, lalu menatap Tennoji-san. “...Tennoji-san, bagaimana perasaanmu hari ini?”

“Perasaanku sangaaaaaaaat buruk!!!” Teriak Tennoji-san. “Lagian, aku tidak ada memenangkan satu game pun, dan aku bahkan kalah dalam bowling!”

“Tapi, pas kita karaoke tadi itu adalah pertarungan yang bagus, kan?”

“Aku mana puas kalau skor tinggi cuman bisa kudapatkan di lagu anak-anak!”

Karena aku menang telak baik dalam game maupun bowling, jadi kupikir dalam karaoke pun aku akan bisa menang dengan mudah, namun kenyataannya tidaklah demikian. Rupanya, Tennoji-san telah menjalani pelatihan suara, jadi kemampuan menyanyinya luar biasa.

Cuman, jenis lagu yang dia tahu tidaklah banyak. Dia sepertinya tahu banyak soal lagu-lagu klasik, tapi dia tidak tahu lagu-lagu dari band populer yang orang biasa sering dengar. Jadi pada akhirnya, dia tidak punya pilihan selain menyanyikan lagu anak-anak yang semua orang tahu. Ekspresinya yang seperti merasa terhina saat dia sedang menyanyi itu benar-benar tercermin kuat di mataku.

“Yah, karena kau itu orangnya suka dengan hal-hal yang berbau persaingan, makanya aku merencanakan apa yang akan kita lakukan ke arah-arah itu... Jadi, aku ikut senang kalau kau merasa bersenang-senang.”

“Ya..., berkatmu, setelah sekian lama aku akhirnya bisa merasakan lagi darahku yang seolah-olah sedang mendidih!” katanya, sambil mengepalkan tinjunya dengan kesal.

“Terus, selanjutnya gimana? Apa kau masih mau pergi ke suatu tempat?”

“Aku sih maunya begitu..., tapi sekarang sudah senja.”

“...Kau benar.”

Melihat ke arah langit yang semakin gelap, aku sependapat dengan dia.

“Baiklah, kalau gitu kurasa hari ini kita bersenang-senangnya sampai di sini saja.”

Mendengar pernyataanku yang biasa itu, Tennoji-san jadi tersentak.

“...Caramu mengatakan itu benar-benar kejam.”

Berhenti berjalan, Tennoji-san menundukkan pandangannya.

Seperti yang kupikirkan, dia bermaksud untuk  membuat apa yang kami lakukan hari ini menjadi kenang-kenangan untuknya sebelum dia meninggalkan akademi. Tapi, entah apakah hari-hari seperti ini adalah yang terakhir kalinya atau bukan merupakan sesuatu yang dapat berubah tergantung pada kehendaknya sendiri.

“Kalau kau menolak perjodohanmu, kau akan selalu bisa melanjutkan hari-hari seperti ini.”

“......Sekalipun kau bilang begitu, niatku tidak akan berubah,” ucapnya, dengan suara yang gemetar. “Tentunya, hari ini aku benar-benar merasa bersenang-senang. Namun, jika ditanya apakah ini kulakukan demi Keluarga Tennoji atau bukan—”

“Memangnya apa salahnya kalau kau sendiri yang mau bersenang-senang?” Menyela kata-katanya, aku lanjut berbicara. “Bukankah itu saja sudah cukup bagimu untuk menolak perjodohanmu?”

Mungkin tidak menyangka kalau aku akan mengatakan sesuatu seperti itu, matanya langsung membelalak terkejut.

“...I-Itu tidak mungkin. Apa yang kulakukan hari ini adalah urusan pribadiku. Di sisi lain, perjodohanku adalah urusan Keluarga Tennoji. Skala perbandingannya terlalu jauh.”

Kami tiba-tiba berhenti berjalan, dan orang-orang yang lewat menatapi kami dengan rasa penasaran.

Dan kemudian, dengan sungguh-sungguh, aku berbicara pada Tennoji-san saat dia menggigit bibirnya.

“Kalau gitu—apa ini artinya kau akan membuang apa pun itu asalkan demi Keluarga Tennoji?”

Tennoji-san tak menjawabku, hanya menutup mulutnya.

“Aku memang tidak tahu seberapa berat tekanan yang kamu tanggung. Tapi, saat aku bertemu dengan orang tuamu, ada satu hal yang kuyakini... Mereka sangat menginginkan kebahagiaanmu. Apa yang mereka pedulikan adalah Mirei Tennoji, bukan Keluarga Tennoji.”

Saat aku mengunjungi rumahnya Tennoji-san, ibunya, Hanami-san, pernah bertanya padaku, [Apa Mirei bersenang-senang di akademi?]. Sejak awal, beliau sama sekali tidak ingin tahu soal citra publik yang dimiliki Tennoji-san. Apa yang dia pedulikan hanyalah selama putrinya bersenang-senang saat berada di akademi, itu saja sudah membuatnya merasa senang.

“Itu..., itu pasti cuman imajinasimu saja.” Serunya, dengan pandangan yang menunduk. “Ayah dan ibuku sangat baik padaku, makanya mereka mengatakan padaku untuk tidak memaksakan diriku. Tapi, aku yakin di dalam hati mereka, mereka ingin agar aku hidup untuk keluarga——”

“——Jelas tidak mungkin mereka seperti itu!”

Aku tidak bisa mengabaikan apa yang dia katakan barusan itu, yang mana itu membuatku jadi sedikit kesal sekarang.

Bagaimana mungkin—dia tidak menyadarinya?

“Kau yang mewarnai rambutmu itu! Kau yang merubah cara berbicaramu itu! Apa kau benar-benar berpikir itu kau lakukan demi Keluarga Tennoji?”

“A-A-Ap—...?!”

Wajahnya menjadi merah, seolah-olah mengatakan mengapa aku harus mengungkit soal itu di sini. Tapi, memang itulah kenyataannya. Saat dia masih kecil, dia mempercayai bahwa hal itu dia lakukan demi keluarga. Tapi sekarang setelah dia dewasa, dia berpegang teguh pada komitmen bahwa dia melakukan itu atas dasar keinginannya sendiri.

“Tapi meski begitu, Masatsugu-san dan Hanami-san tidak ada mengeluh sedikit pun perihal kau yang melakukan itu, kan?”

“——!”

Tennoji-san terkesiap.

Mungkin, aku terlalu banyak mengoceh karena sedang diliputi emosi.

Namun, aku tidak berniat untuk menarik perkataanku sebelumnya.

Situasi yang dia miliki berbeda dengan situasinya Hinako.

Hinako menderita karena tekanan yang tidak masuk akal dari Keluarga Konohana dan keputusannya Kagen-san. Namun, dalam kasusnya Tennoji-san, tekanan yang dia alami tidaklah tidak masuk akal. Dia hanya terikat di dalam ikatan rumit yang dia sebabkan sendiri.

Dan aku, benar-benar tidak tahan dengan dia yang seperti itu.

“Kedua orang tuamu..., mereka lebih memprioritaskan kepentinganmu daripada kepentingan keluarga.”

Sekali lagi, aku mengulangi fakta yang akan sangat jelas bisa dilihat jikalau dia melihatnya dari sudut pandang lain.

“Tennoji-san, apa kau telah menanggapi perasaan yang orang tuamu miliki itu dengan benar?” kataku padanya, sambil menyembunyikan pemikiran: Kau tidak sepertiku, kau masih bisa berbicara secara baik-baik dengan orang tuamu.

---

Sorot mata yang serius dari anak laki-laki yang berdiri di depannya menusuk hatinya dengan sangat kuat.

Saat dia mendengar kata-kata yang anak laki-laki itu—Itsuki—ucapkan, Mirei Tennoji jadi teringat akan suatu peristiwa ketika dia masih kecil.

“Kamu harus bahagia, Mirei.”

Itu adalah apa yang berulang kali orang tuanya saat ini katakan pada Mirei yang mereka adopsi sebagai anak angkat. Mereka menyatakan bahwa mereka akan memperlakukan Mirei selayaknya orang tua kandungnya. Namun, bukan berarti kebaikan yang orang tuanya berikan itu dimaksudkan untuk mengekang Mirei. Dan hal tersebut, telah diberitahukan pada Mirei sejak dia masih kecil.

Makanya, Mirei selalu ingin membalas kebaikan hati ayah dan ibunya.

Dan kemudian, setelah dia mengetahui gengsi dari keluarga yang mengadopsinya—Keluarga Tennoji—Mirei jadi tahu bagaimana caranya dia bisa membalas kebaikan orang tuanya.

“Ibu, jika aku melakukan yang terbaik dalam studiku, apa itu akan menguntungkan Keluarga Tennoji.”

Saat dia masih kecil, Mirei menanyakan itu pada ibunya, dan dengan bahagia, ibunya menjawabnya, “Ya”.

“Ayah, jika aku menjadi terkenal, apa itu akan menguntungkan Keluarga Tennoji?”

Saat dia masih kecil, Mirei menanyakan itu pada ayahnya, dan dengan tawa hangat, ayahnya menjawabnya, “Ya, kau benar”.

Setelah itu, Mirei mulai belajar dengan giat, mewarnai rambutnya, mengubah cara berbicaranya, dan memulai hidupnya sebagai tuan putri dari Keluarga Tennoji. Awalnya, dia sering sekali gagal. Hasil ujiannya berada di sekitar peringkat tengah-tengah diantara teman-teman sekelasnya, dan dia bahkan tidak terlalu populer. Akan tetapi, sebagai hasil dari upayanya yang keras, dia menjadi terkenal sebagai murid yang berprestasi. Mirei terus bekerja dengan sangat dan sangat keras hingga membuat dirinya di masa lalu menghilang di dalam kabut.

“Mirei, ibu perhatikan kau selalu giat belajar sampai larut malam... Tapi apa kau ingat, kau bisa hidup dengan lebih bebas loh?”

Di suatu hari, ibunya mengatakan itu kepadanya.

“Tidak perlu khawatir, ibu. Ini adalah jalan yang aku pilih sendiri.”

Mirei tersenyum dan menjawab seperti itu. Dan kemudian ibunya menjawabnya, “Begitu ya”, seolah-olah merasa yakin, tapi wajahnya tampak cemas.

Mirei pribadi juga sadar kalau mungkin dia memang terlalu giat. Namun demikian, dia yakin kalau pada akhirnya kedua orang tuanya akan mengerti, bahwasannya dia hanya ingin mencoba membalas budi pada mereka yang telah mengadopsinya.

“Mirei, menjaga etiket selalu baik itu mungkin memang bagus, tapi enggak apa-apa loh kalau sesekali kamu bersikap santai?”

“Sesuatu seperti ini bukan masalah besar. Sebagai putri dari Keluarga Tennoji, setidaknya aku harus melakukan ini.”

Entah sejak kapan, setelah dia memikirkannya, setiap kali dia menanggapi pertanyaan-pertanyaan seperti itu dari orang tuanya, tanpa ragu sedikitpun dia akan menggelengkan kepalanya.

Aaaah..., jadi begitu ya.

Apa yang Itsuki katakan kepadanya terngiang-ngiang di benaknya.

Apa kau telah menanggapi perasaan yang orang tuamu miliki itu dengan benar?——Kata-kata itu mengguncang pemikiran yang ia miliki.

Rupanya..., aku telah melarikan diri.

Dia tidak memiliki kepercayaan diri untuk menjadi putri dari kedua orang tuanya, jadi dia memilih untuk menjadi putri dari Keluarga Tennoji.

Soalnya, itu jauh lebih mudah.

Mendapatkan nilai yang bagus dalam ujian dan berperilaku anggun jauh lebih mudah daripada menanggapi perasaan orang tuanya.

Anak laki-laki di depannya telah membuat dia sadar—bahwa dia telah melarikan diri dari perasaan itu.

“Mengapa...?” Secara tidak sadar, kata-kata itu terlontar dari mulutnya. “Mengapa..., kau mau mengatakan semua itu kepadaku?” 

Mirei bertanya-tanya, bagaimana bisa anak laki-laki ini begitu peduli kepadanya ketika mereka bahkan bukanlah keluarga? Dan untuk menanggapi pertanyaan Mirei, Itsuki menjawabnya dengan ekspresi yang serius.

“Itu karena..., aku juga ini kamu hidup sebahagia mungkin.” Tanpa malu sedikitpun, Itsuki mengatakan itu dengan lantang. “Jika, menurutmu pengalaman yang kau lalui hari ini berharga... Kumohon, tolong jangan buang itu.”

Mirei teringat akan apa yang telah dia lalui sepanjang hari ini.

Bermain di game center, bermain bowling, dan berkaraoke... Semua itu mungkin merupakan pengalaman yang tidak diperlukan bagi seorang putri Keluarga Tennoji.

Namun, tidak demikian halnya bagi Mirei Tennoji.

Hari ini, dia sangat bersenang-senang.

“...Penipu,” gumam Mirei, dengan suara yang bergetar.

Bukan hanya orang tuanya.

Di sini, ada lagi satu orang yang benar-benar peduli dan memperlakukannya sebagai Mirei Tennoji, bukan sebagai putri Keluarga Tennoji.

Karenanya, itu membuat jadi tersadar.

“Penipu, penipu, penipu..... Sungguh, kau itu benar-benar orang yang pandai dalam berbicara....”

Dia berusaha menahan air mata yang menggenang di sudut matanya,

Emosinya campur aduk, dan dia yakin, perilakunya saat ini bukanlah perilaku yang pantas dari seorang putri Keluarga Tennoji.

Namun, itu tidak masalah.

Karena, orang yang berada di depannya tidak menganggap dirinya seperti itu.

“...Aku akan membiarkanmu menipuku.”

Menyeka air mata di sudut matanya dengan jari-jarinya, Mirei tertawa.

“Aku akan menolak perjodohanku... Bagaimanapun juga, aku tidak bisa melepaskan sesuatu yang amat berharga seperti ini.”

“...Begitu ya.”

Itsuki terlihat merasa lega.

Hanya dari melihat anak laki-laki itu menunjukkan ekspresi seperti itu, Mirei sudah merasakan bahwa ada baiknya dia menolak perjodohannya.

“Yah, sejujurnya, aku tidak begitu yakin apakah pengalaman yang kau lalui hari ini berharga atau tidak, tapi——”

“Bukan itu yang aku maksud.”

Mirei tidak bermaksud menyiratkan bahwa hanya apa yang dia lalui hari ini lah yang berharga. Dimana hal ini membuat dirinya jadi bingung tentang apakah anak laki-laki yang berada di depannya ini tajam atau kurang peka.

“Kau lah yang berharga.”



6 Comments

  1. Hinako be like :Ets, tidak semudah itu.

    ReplyDelete
  2. Sangat langka menemukan MC yg peka Tod

    ReplyDelete
  3. Gak bisa berkata kata saya baca story nya, selalu bikin spot jantung dan memainkan gejolak emosi, walau gak terlalu jatuh di bikin galau tapi masih di anggap ringan klo masalah konflik, dan gak membawa unsur drama yg berat, dan sepertinya itsuki gak sadar naruh bom waktu di hatinya yang akan meledak gak sampai 3 tahun ke depan.

    ReplyDelete
  4. Lah, itu osananajiminya gimana??

    ReplyDelete
Previous Post Next Post