Maou Gakuin no Futekigousha Volume 5 - Bab 2

Bab 2
Penyihir Tidur


Setelah berpisah dengan Emilia, aku berkomunikasi dengan Melheys melalui Leaks (Komunikasi Pikiran) dan membahas tentang Emilia. Nanti dia pasti akan segera mengatur agar wanita itu ditugaskan ke Akademi Pahlawan.

Sekarang, aku punya lebih banyak waktu luang daripada yang kukira. Awalnya tadi kupikir Emilia akan sedikit lebih agresif dan mengeluhkan banyak hal, tapi rupanya, kepribadiannya menjadi sangat lembut. Yah, kurasa perubahannya itu menunjukkan betapa sulitnya hari-hari yang dia lalui akhir-akhir ini.

“Anos.”

Berbalik ke arah seseorang yang memanggil namaku, aku melihat Misha.

Dia membawa keranjang di tangannya.

“Sarapanmu,” ucapnya, mengelurkan keranjang yang dia pegang. “Aku menjadikannya bekal.”

“Hoo, terima kasih. Maaf merepotkanmu.”

Tersenyum bahagia, Misha menggelengkan kepalanya.

“Mau ke Delzogade?”

“Ya, meski hari ini aku pergi sedikit lebih awal.”

Aku menyimpan keranjang yang dibawakan Misha ke dalam lingkaran sihir, dan kemudian aku teringat sesuatu.

“Fumu, aku kepikiran ide yang bagus. Ayo kita pergi ke rumahmu.”

Terhadap ucapanku, Misha mengedip-ngedipkan matanya sambil memiringkan kepalanya.

“Dulu aku pernah bilang kalau aku akan membangunkan Sasha, bukan? Karena banyak hal yang terjadi akhir-akhir ini aku tidak menemukan kesempatan untuk melakukan itu, tapi sekarang ini kesempatan yang bagus.”

Misha mengangguk, kemudian mengulurkan tangannya padaku.

“Sasha pasti akan senang.”

Meraih tangan kecilnya, aku menggunakan sihir Gatom (Teleportasi). Bidang pandang di depang kami menjadi putih seluruhnya, dan segera pemandangan yang berbeda muncul, yaitu ruangan yang besar. Langit-langitnya menjulang tinggi, ditopang oleh deretan pilar berhiaskan motif-motif artistik. Gorden berwarna merah tertiup oleh angin sepoi-sepoi, dan sinar matahari mengintip masuk melalui jendela.

Meskipun tempat tidur bekanopi yang ada di ruangan itu sudah disinari oleh cahaya menyilaukan, namun orang yang tidur di atasnya masih belum terlihat akan bangun.

Mengenakan daster berwarna persik dan dengan rambut yang tergerai, Sasha, tampak sangat terlelap dalam tidurnya.

“Tidurnya lelap sekali.”

“Dia pasti tidur kembali,” ucap Misha, menunjuk ke jendela yang terbuka.

“Fumu, jadi dia bangun dan membuka jendela, lalu kembali tidur, ya?”

“Ya,” angguk Misha. “Mungkin saja ini sudah yang ketiga kalinya.”

Aku berjalan ke arah Sasha dan duduk di tempat tidurnya.

“Sasha.”

Aku memanggilnya, tapi dia sama sekali tidak terlihat akan menanggapi. Kalau dipikir-pikir, meski dia adalah tipe orang yang susah bangun pagi seperti ini, aneh rasanya dia selalu datang tepat waktu ke akademi.

Aku pun meletakkan tanganku di kepalanya dan mengguncangnya dengan ringan.

“Lebih baik kau cepat bangun, kalau tidak, aku akan mengguncang seluruh rumahmu.”

Saat aku mengatakan itu sambil menaruh sihir dalam kata-kataku, Sasha mulai sedikit membuka matanya.

“...Misha? Sudah pagi, ya...?” ucap Sasha.

Sepertinya dia masih belum sepenuhnya bangun dan salah mengira aku sebagai Misha.

“Apa kau sudah lupa dengan wajah tuanmu?”

Dengan tatapan yang tumpul, Sasha menatapku, namun seperitnya matanya masih tidak bisa fokus.

“Tuanku... Anos...? Raja Iblisku.”

“Ya. Raja Iblismu. Aku datang untuk membangunkanmu.”

“Eeeh...? Ini aneh... Tidak mungkin ‘kan, Anos ada di sini...,” gumamnya, sepertinya masih mengantuk.

“Dulu aku pernah mengatakan itu padamu, kan? Makanya hari ini aku datang ke sini membangunkanmu. Sekarang, bagaimana kalau kau secepatnya bangun dari tidurmu itu?”

“...Oh, ini pasti mimpi...”

Dia sama sekali tidak mendengarkan ucapanku.

“Ini bukan mimpi. Bangunlah.”

“...Bahkan dalam mimpi pun, sifatnya Anos masih saja dingin...”

Meraih selimutnya, Sasha berguling memunggungiku.

“Sasha.”

“Aku masih mau tidur~”

Aku menglurkan tanganku ke arahnya, dan Sasha meraihnya lalu mencoba menyeretku ke tempat tidur.

“...Nnh, kalau begitu..., kau juga boleh tidur denganku loh... tempat tidurku, luas...”

“Aku sudah bilang padamu sebelumnya, jangan pikir aku akan membiarkanmu tidur di hadapanku.”

“...Hmph...,” ucap Sasha,  bagaikan anak manja. “...Ini cuman mimpi, Anos tidak akan pernah melakukan hal seperti itu...”

Dia mengatakan hal-hal yang tidak masuk akal.

Kupikir secara bertahap dia telah bangun, tapi kelihatannya tidaklah demikian.

“Jangan terlalu banyak merengek.”

“...Kalau kau mau aku melakukan yang kau katakan, maka kau harus tepati yang kau katakan terlebih dahulu...”

Sasha berguling ke arahku lagi, membuat selimutnya acak-acakan, memperlihatkan dasternya yang tipis.

“Apa yang harus kutepati?”

“...Padahal kau bilang, kau tidak akan membiarkanku tidur...,” ucap Sasha, eksrpesinya merajuk. “...Ini ‘kan cuman mimpi, jadi tidak masalah ‘kan kalau kau memelukku sebentar...”

“Fumu, kurasa aku tidak punya pilihan lain.”

Aku menjangkau Sasha, kemudian menyentuh tubuhnya.

“...Ah, ehehe..., lebih mendekatkan lagi... lebih...”

Saat dia tertawa senang seperti itu, “Ah,” dengan ringan aku mengangkatnya.

“...Kyaa...!”

Aku memegang Sasha dengan kedua tanganku dan turun dari tempat tidur.

“Bagaimana sekarang? Aku sudah memelukmu loh. Astaga, kau sudah besar namun bangun sendiri saja bahkan tidak bisa. Kau sungguh seperti ana kecil saja.”

Dari sudut pandanganku, aku bisa melihat Misha dengan lembut menggeleng-gelengkan kepalanya. Itu sontak membuatku berpikir kalau ada yang salah dalam apa yang kulakukan, tapi kemudian, Misha tampak seperti menyadari sesuatu, dan kali ini mengangguk pelan.

Sepertinya, tidak ada yang salah dalam apa yang kulakukan.

“...Eh... Anos...?”

Dalam pelukanku, Sasha mengedip-ngedipkan matanya dan menatapku. Tatapan linglungnya berangsur-angsus semakin fokus, dan kemudian,

“...Jadi yang barusan itu? E-eh...? Bukannya itu..., cuman mimpi...? Tapi, kenapa..., Anos ada di sini...?”

Panik, Sasha langsung melontarkan deretan pertanyaan-pertanyaan itu.

“Seperti yang sudah kujanjikan, aku datang untuk membangunkanmu.”

“...Eh, ah... Begitu kah? ...Ma-Makasih...” Dengan tingkah yang seperti masih memiliki banyak pertanyaan di kepalanya, Sasha berterima kasih, kemudian dia bertanya dengan malu-malu. “Ngomong-ngomong, erm.., Anos..., boleh aku menanyakan sesuatu...?”

“Apa?”

“Erm... Aku, apa aku, ada mengigaukan sesuatu yang aneh...?”

Aku mencoba memahami maksud ucapannya, tapi kemudian Sasha tiba-tiba melanjutkan kata-katanya.

“...Mi-Mimpi..., Ini cuman mimpi. Aku memimpikan mimpi yang aneh, jadi..., kupikir, aku ada mengigaukan sesuatu yang aneh...?”

“Yah, kau terus mengigaukan segala macam hal yang tidak bisa kumengerti, tapi kemudian kau bilang kau tidak akan bangun sampai aku memelukmu. Itulah makanya, aku membangunkanmu seperti ini.”

Sasha sontak tampak menghela napas lega, tapi kemudian dia memiringkan kepalanya.

“...Tapi eh, aku kan mintanya di peluk, tapi kenapa kau malah menggendongku...? Aku bukan anak kecil, tahu...”

Setelah menggumamkan itu secara tidak sadar, Sasha langsung menganga dan terlihat pucat seolah berada dalam situasi yang kritis. Ekspresinya seolah-olah mengatakan kalau dia baru saja menggali kuburannya sendiri.

“Kupikir tidak semua yang kau katakan adalah ngigauan. Soalnya, kupikir kau benar-benar ingin dibangunkan, tapi rupanya itu cuman mimpimu, ya.”

“Y-Ya, begitulah, itu cuman mimpi, mimpi. Yah, tapi aku sama sekali tidak terlalu mempedulikannya sih, sama sekali tidak. Ngomong-ngomong——”

“Jadi, apa yang kau mimpikan?”

Sasha lansgung terdiam.

“...E-Eh... Erm...”

“Itu pasti mimpi yang indah, kan? Toh tadi kau terlihat sangat bahagia.”

Rona merah langsung memenuhi wajah Sasah dan dia segera memalingkan mukanya.

“...M-Mm... Itu mimpi yang indah...”

“Kau juga tadi memanggil namaku, jadi apa aku juga ada di dalam mimpimu?”

Saat mendengar ucapanku, kurasakan Sasha mencengkeram lengan bajuku dengan kuat.

“...Ada....”

“Apa yang kulakukan di mimpimu?”

“A-Apa?!”

Seolah merasa terkejut, Sasha meninggikan suaranya.

“Ada apa?”

“...Tidak ada apa-apa...”

Saat aku  menatapnya, kuperhatikan kalau ekspresinya tampak seperti mengkhawatirkan sesuatu.

“Fumu, sepertinya aku sudah terlalu berlebihan. Aku yakin kau pasti punya hal-hal yang tidak ingin kau bicarakan. Aku tidak akan memaksamu untuk mengatakannya.”

“Aah...”

Aku mencoba menurunkan Sasha, namun dia meremas lengan majuku seolah dia tidak mau kuturunkan.

“...Menggendong...,” ucapnya, dengan suara pelan.

“Hm?”

“Issh, kau menggendongku.”

Mendengar itu, aku tertawa riang. Aku kemudian membelai kepalanya, mengacak-acak rambut emasnya yang tidak dia ikat.

“Sikapmu keras kepala juga rupanya. Kau sungguh seperti anak kecil saja.”

“Be-Berisik. Memangnya itu tidak boleh?”

Sasha memelukku dengan erat, dan Misha, yang melihat itu, tersenyum lembut.

“Issh, apa sih, Misha?”

“Aku senang kau terlihat bahagia.”

Saat diberitahu seperti itu, eksresi malu langsung memenuhi wajah Sasha.

“Kuhahaha. Melihat tingkah kalian, jadi bingung mana yang harusnya kakak dan mana yang harusnya adik.”

“Sasha yang kakak.”

“Kalau begitu, kuharap kau bisa bersikap sedikit lebih seperti seorang adik, Misha,” gumam Sasha, ekspresinya tampak seperti habis menelan buah yang pahit.

“Seperti apa?” tanya Misha, memiringkan kepalanya.

“Terserah kamu, yang jelas tunjukkan sisi dirimu yang lebih memalukan daripada aku.”

Seolah tidak tahu harus berbuat apa, Misha hanya diam di tempatnya berdiri.

Tapi akhirnya, seolah-olah dia menyadari sesuatu, dia berkata,

“Aku malu karena aku yang adik.”

“Kau lagi melawak, ya?!” Sasha melontarkan tsukkomi yang tajam, tapi kemudian, “Sudahlah, lupakan.”

Dia mengayun-ngayunkan kakinya di udara, jadi aku menurunkannya. Kemudian, dia membentuk lingkaran sihir, dan setiap kali lingkaran sihir itu naik ke atas tubuhnya, dasternya berubah menjadi seragam hitam Akademi Raja Iblis. Dan dalam sekejap, Sasha sudah berganti pakaian.

“...Ini gawat,” ucap Misha, menatapku.

Dia sepertinya kepikiran dengan apa yang Sasha katakan soal dia yang tidak terlihat seperti dia adalah seorang adik.

“Yah, kupikir kau tidak perlu memikirkan soal itu terlalu jauh.”

“...Aku tidak bisa...”

“Kalau begitu, mengapa kau tidak mencoba mengatakan sesuatu yang egois sesekali?”

“Sesuatu yang egois?”

“Dengan begitu kau akan lebih terlihat seperti seorang adik.”

Misha berpikir panjang, kemduian dia berkata pada Sasha.

“Aku kesepian.”

“...A-Apa yang kau katakan tiba-tiba begitu?”

Sasha mendekati Misha, tampak cemas.

“Soalnya Anos tidak ikut belajar di kelas lagi.”

“Aaa...”

Menyadari apa yang dimaksud Misha, Sasha sontak meninggikan suaranya.

“...Kau benar.... Dan di tempat pertama, fakta kalau Anos adalah Raja Iblis Tirani telah sepenuhnya menyebar ke Dilhade, jadi itu hanya akan menimbulkan keributan yang tidak perlu jika dia ikut belajar.”

“...Mm...”

“Yah, aku juga akan merasa sepi karena itu..., tapi yah, apa boleh buat.”

Saat dia mengatakan itu, dengan santai Sasha berpegangan tangan dengan Misha.

“Anos juga kasihan.”

“Kasihan?”

Dengan ekspresi yang tampak seperti ingin tahu sesuatu, Sasha menoleh menatapku, dan bertanya,

“Karena kau sudah membuktikan bahwa kau adalah Raja Iblis Tirani, jadi kau tidak perlu ikut belajar lagi, kan?”

“Tidak juga. Meskipun, memang tidak ada gunanya kalau aku ikut belajar. Tapi, pembelajaran yang membosankan itu rasanya tidak buruk juga. Selain itu, kalian juga ada di sana.”

Mendengar ucapanku, wajah Sasha langsung terlihat gembira.

“...Begitukah...? Kalau begitu, meskipun kau sudah diakui sebagai Raja Iblis yang asli, tapi sepertinya tidak semuanya berakhir dengan hal-hal yang baik, ya...”

Misha mengangguk, tampak sedih.

“Yah, tidak perlu sedih seperti itu. Aku sudah melakukan berbagai persiapan. Kalian akan melihatnya hari ini.”

“Eh? Erm..., tunggu bentar. Apa yang kau bicarakan?”

“Tentu saja aku membicarakan tentang aku akan pergi ke Akademi Raja Iblis lagi.”

“HAH?!”

Dengan ekspresi yang seolah mengatakan bahwa itu tidak masuk akal, Sasha meninggikan suaranya.



3 Comments

Previous Post Next Post