Maou Gakuin no Futekigousha Volume 4 - Bab 59

Bab 59
Malam Pertama


Menari, bernyanyi, dan bersenda gurau—bulan terbit di atas langit saat pernikahan yang meriah itu berakhir.

Di balkon kastil kecil di atas, ada Shin dan Reno. Mereka telah menanggalkan pakaian pernikahan mereka, dan sekarang kembali mengenakan pakaian normal mereka. Dari tempat itu, mereka berdua menyaksikan roh-roh yang kembali ke koridor awan.

“Terima kasih, Shin.” ucap Reno. “Pernikahan roh sungguh berisik, bukan? Kupikir mereka terkejut karena ras iblis melakukannya dengan sungguh-sungguh.”

“Itu tidak buruk.” kata Shin dengan tampilan lembut yang belum pernah terjadi sebelumnya.

“Reno” ketika roh terakhir menghilang dari koridor awan, Shin menoleh padanya. “Jika bukan karenamu, aku yakin aku tidak akan menikahi siapa pun dalam hidupku. Terima kasih telah mengizinkanku untuk bermimpi di dalam tubuh yang hampa dan tidak pernah mengenal cinta ini.”

Mendengar perkataan Shin, pipi Reno memerah cerah. Dia terpesona menatap orang yang ada di sebelahnya.

“...Kau tahu” dengan malu-malu, Reno berkata, “Bukannya aku tidak tahu. Tapi aku yakin bahwa di hatimu terdapat tunas kecil yang akan mekar suatu hari nanti. Bahkan jika itu masih tunas, itu adalah cinta.”

Reno tersenyum padanya.

Tidak mengucapkan sepatah kata pun, Shin dengan lembut menatap langit malam.

“Kuharap aku bisa terus melihatnya selamanya.”

Tatapan Shin tersedot ke arah bulan purnama yang bersinar redup. Terdapat ekspresi kesepian yang terasa dari dirinya.

“Tapi mimpi ini mungkin sudah berakhir.”

“Eh......?”

Shin perlahan kembali menatap Reno, yang memiliki ekspresi bingung di wajahnya.

“Apa dengan ini upacara pernikahan telah selesai?”

“Ah, ya...” jawab Reno yang menundukkan kepalanya. “...Apa... memang sudah selesai...?”

“Kalau begitu—”

Tepat ketika Shin hendak berbicara, sekelompok peri kecil tiba-tiba muncul entah dari mana.

“Sudah selesai?”

“Belum selesai?”

“Kurasa tidak”

“Produksi, produksi.”

“Malam pertama, malam pertama.”

Gadis-gadis itu terbang di sekitar mereka berdua, berkicau dan berteriak, “malam pertama, malam pertama”.

“Hei Titi,,. Jangan mengatakan hal-hal yang aneh. Tidak ada artinya melakukan itu karena kami tidak sama-sama roh.”

Sejenak Reno melirik Shin, dan wajahnya memerah.

“Tidak, tidak! H-Hanya karena itu tidak ada artinya, bukan berarti itu tidak boleh.”

Reno mengangkat tangannya dan mengejar Titi dan yang lainnya. Peri-peri itu naik ke  bahu dan kepala Shin, seolah mereka merasa terancam.

“Reno menakutkan.”

“Menakutkan, menakutkan.”

“Raja Roh.”

“Tenangkan Reno.”

Titi dan yang lainnya menggigil. Reno hanya bisa menghela napas melihat aksi mereka.

“Apa yang harus kulakukan?”

Shin bertanya, dan Titi berkata di telinganya.

“Malam pertama, malam pertama.”

“Kelanjutan dari upacara pernikahan.”

“Dengan begitu suasana hati Reno akan membaik.”

“Membaik, membaik.”

“Satu kesempatan akan membuatnya membaik.”

Saat itu, segumpal air kecil yang diterbangkan Reno menyelimuti tubuh Titi dan yang lainnya. Mereka tenggelam dengan suara gemericik.

“Issh, jangan mengatakan hal-hal yang aneh, Shin jadi kewal--”

Shin mengulurkan tangannya kepada Reno.

“......Um......”

“Jika ini belum berakhir, maka aku ingin melanjutkan mimpi ini untuk sementara.”

“Ah......”

“Jika kau menginginkannya.”

Tertegun, Reno menatap Shin.

Titi dan yang lainnya berjuang keras dan berhasil berenang keluar dari bola air.

“Sepertinya kita akan mengganggu.”

“Harus pergi.”

“Cepat, cepat.”

“Mumpung suasanya semakin panas.”

“Bersenanglah-senanglah.”

Peri-peri itu meninggalkan kastil, menyebarkan kilau dan sisik. Reno terpesona oleh garis-garis cahaya yang terbentuk di langit malam.

“Haruskah kita masuk ke dalam?”

“......Eh, ahh..................”

Reno menatap Shin seakan bingung.

Ketika Shin tidak mengatakan apa-apa dan menunggu jawabannya dengan sabar, Reno berpaling dengan malu-malu.

“...Ya....”

Reno meraih tangannya, menjawab dengan suara lembut.

Dia berjalan memasuki kamar saat Shin mengantarnya.

Ruangan itu dihiasi dengan bunga warna-warni, dan ditengahnya terdapat ranjang dengan kanopi yang besar. Reno pun duduk diatasnya.

“Kau tahu,” Reno memutar kata-katanya. “Di upacara pernikahan memang ada yang disebut malam pertama, tapi sebenarnya tidak apa-apa kalau cuman tidur bersama saja. Tidak apa-apa, tidak apa-apa.”

Reno mengulangi itu, seolah mengatakannya pada dirinya sendiri.

Shin mengangguk ramah menanggapinya.

“Kalau begitu, haruskah kita tidur?”

“Ah...itu, sebentar lagi...” memotong perkataannya sejenak, Reno berkata lagi. “...Ayo kita ngobrol.”

Shin mengangguk.

“Apa yang mau kita bicarakan?”

“...Umm, kalau begitu, bisakah kau memberitahuku tentang Raja Iblis Anos?”

Sedikit, Shin merilekskan matanya.

“Bapa Surgawi sebelumnya pernah mengatakannya, kan? Bahwa setelah kau dibawa oleh Raja Iblis, kau mulai memiliki hati yang seperti seorang insan. Aku ingin mendengar cerita itu.”

Reno dengan lembut mengetuk di samping ranjang.

“D-disini, kau boleh duduk di sini...?”

“Permisi.”

Melangkah perlahan, Shin duduk di sampingnya.

“Meski begitu ini bukan cerita yang menarik.”

Dengan kata pengantar itu, Shin melirik ke arah balkon.

“...Aku bertemu dengan beliau di malam dengan bulan yang indah. Bulan yang seperti hari ini.”

Shin menatap bulan purnama yang indah melayang di atas langit.

“Itu terjadi di sekitar pertengahan Perang Besar. Itu adalah masa transisi sebelum perang dengan manusia meningkat dengan banyak pertempuran kecil. Aku yang telah mendapatkan tubuh, dan dengan pedang di tanganku, menatang ras iblis yang terkenal untuk beradu kekuatan.”

Shin berbicara dengan pelan, seolah dia sedang mengenang masa lalu yang jauh.

“Semua musuh terasa begitu lemah melawan tubuh ini, tubuh yang disebut Pedang Pembunuh Dewa. Tapi itu mungkin wajar saja. Tidak mungkin mereka bisa menang bersaing melawan muasal yang diciptakan untuk bertarung ini.”

Memotong kata-katanya sejenak, Shin menutup kelopak matanya untuk beberapa saat. Ketika dia membukanya, terdapat perasaan melankolis di matanya.

“Muasal mereka pasti terdapat cinta. Entah itu kebaikan, kebencian, atau bahkan kesedihan, itu adalah sesuatu tidak diperlukan dalam pertempuran, dan semua iblis ditebas olah pedang yang di pegang tangan ini.” gumamnya, menatap masa lalu dengan samar.

“Mungkin aku memiliki kekuatan ini karena aku tidak punya cinta.”

Kata-kata dingin itu terasa kesepian. Seolah Reno bisa mengerti apa yang dirasakannya, dia menggigit bibirnya dengan erat.

“Aku memiliki kekosongan di dadaku. Aku bahkan mungkin iri pada mereka saat mereka kalah. Tubuhku adalah nafsu keinginan. Apa yang sebenarnya kuinginkan, aku tidak punya cara untuk mengetetahuinya saat itu. Yang kuketahui hanyalah bahwa aku sedang mencari seseorang yang bisa mengalahkanku. Aku terus mencari musuh dan menebaskan pedangku untuk melakukan itu.”

Shin, yang terus bertarung, akhirnya dikenal sebagai Seribu Pedang. Dia disebut sebagai pendekar pedang terkuat ras iblis, pemegang seribu pedang iblis.

“Dan kemudian, suatu hari, aku menghadapi Raja Iblis. Aku memegang pedangku seperti biasa, namun saat itu, Tuanku berkata kepadaku [Ayo kita bicara].”

“Lalu?”

“Tentu saja, aku tidak mau mengikuti perkatannya dan menebas Raja Iblis. Setiap kali Tuanku menghentikan seranganku, dia melontarkan sepatah kata. Berbagai kata dia lontarkan, tapi pada akhirnya hanya satu perkataan yang mendapatkan perhatianku.”

Mengingat kata-kata di masa lalu, Shin berkata dengan tatapan lembut.

“[Apa yang kau perjuangkan?]”

Reno dengan lembut mendengar di sampingnya. Dia pasti menyadari bahwa ini adalah hal terpenting bagi Shin.

“Aku telah mengeluarkan seratus pedang, tapi tidak satupun dari pedang itu yang pernah bisa menebas Tuanku. Untuk pertama kalinya, aku menjadi tertarik pada musuhku, dan bertanya kepadanya: [Kenapa kau begitu kuat?], dan ketika aku memikirkannya, itu adalah perkataan pertama yang kuucapkan ketika aku menjadi iblis.”

“...Apa yang Anos jawab kepadamu?”

“[Aku tidak akan bisa menyelamatkan rekanku jika aku tidak kuat], lalu dia membalas bertanya kepadaku, [Mengapa kau begitu kuat?]”

Shin menatap telapak tangannya.

“[Tidak ada alasan] adalah apa yang kukatakan kepadanya. Aku tidak punya hati. Aku kuat karena aku kuat. Aku hanyalah satu pedang yang bisa diayunkan.”

Dia dengan lembut menggenggam tangannya yang terbuka.

“Kemudian, Tuanku berkata kepadaku, [Jadilah bawahanku. Aku akan memberimu musuh yang layak ditebas oleh pedangmu.]” katanya dengan kuat.

“...Untuk pertama kalinya aku dibuat menyadarinya. Selama ini, tubuh ini, Pedang Pembunuh Dewa ini ingin memiliki seorang Tuan yang pantas. Pada akhirnya, Tuanku talah menembus hatiku dengan hanya menggunakan perkataan, tanpa pernah mengeluarkan satu pun sihir.”

Setelah menarik napas, dia mengalihkan pandangannya ke arah Reno.

“[Aku akan menjadi pedangmu dan akan menebas semua musuhmu], adalah apa yang kukatakan ketika aku menunjukkan kesetianku padanya. Dia pun menjawabku, [Kalau begitu, semua tragedi dan ketidak masuk akalan yang berdiri di hadapanmu, aku yang akan menghancurkannya], “

“...Anos sungguh luar biasa ya...”

“Apa maksudmu luar biasa?”

“Dia mengetahui apa yang sebenarnya kau inginkan, bukan? Itu sebabnya dia tidak pernah menyerangmu yang terus menghunuskan pedang.”

“...Kau benar. Aku sudah pernah menanyakan tentang itu, tapi apa yang beliau katakan padaku adalah beliau merasa lelah...”

“Lelah?”

“...Lelah akan pertarungan. Pada akhirnya, aku tidak bisa memahami apa yang dipikirkan oleh Tuanku saat itu.”

Dia menatap ke kejauhan. Atau mungkin sedang memikirkannya Tuannya yang akan bereinkarnasi 2000 tahun kemudian.

“Yang kutahu dengan pasti adalah; beliau memberiku alasan untuk bertarung ketika aku merasa hampa. Tuanku menyambutku yang hanya satu pedang dengan kehampaan sebagai seorang iblis. Untuk membalasnya, aku menjadi tangan kanan Raja Iblis.”

“...Begitu ya...”

Secara samar-samar, Reno menatap cahaya bulan, ke arah yang sama yang dilihat Shin.

“...Sebelumnya aku mengatakan tidak adil, tapi sepertinya aku memang tidak bisa menang melawan Anos. Wajar saja jika Shin ingin mengejarnya dan bereinkarnasi...”

Reno terlihat sedikit tertekan, tapi dia dengan cepat mempertimbangkan kembali dan menggelangkan kepalanya.

“...K-Kau tahu, Shin...”

Dengan sedikit ragu-ragu, dia meletakkan tangannya di tangan Shin yang ada di atas tempat tidur.

Mengumpulkan keberaniannya, Reno berkata,

“...Seperti yang kupikirkan, kalau cuman tidur bersama...”

Dengan bibirnya yang bergetar, wajahnya menjadi merah. Suaranya sangat lemah dan seperti hampir putus, namun dia masih berhasil mengucapkannya.

“...Tidak mungkin...”

Setelah itu, Reno perlahan mendekatkan wajahnya dan dengan lembut menciumnya. Menyandarkan berat badannya ke dalam pelukan, dia meregangkan ujung jari putihnya di atas tubuh Shin.

Shin pun dengan lembut meraih tangan itu.

“...Apa tidak boleh...?”

Setelah jeda beberapa saat, Shin membuka mulutnya,

“...Kau mungkin akan merasa tersakiti... jika kau memintaku mencintaimu...”

“Tidak apa.”

Di tangan Shin, Reno menjalinkan jari-jarinya dan tersenyum seperti yang selalu dilakukannya.

“Aku akan mengajarimu.”

Bulan purnama bersinar redup di langit malam. Cahaya yang masuk melalui jendela dengan lembut dan penuh kasih menerangi dua bayangan yang tumpang tindih.



2 Comments

Previous Post Next Post