Saijo no Osewa Volume 1 - Bab 2

Bab 2
Kiprah Ojou-sama (1)


Bahkan seorang Ojou-sama mapan yang bersekolah di sekolah bergengsi adalah manusia biasa. Jadi sudah sewajarnya, dia juga memiliki kebutuhan untuk pergi ke toilet. Hanya saja, kenapa dia mengatakan itu sekarang? Apalagi dia mengatakannya dengan sikap yang begitu tenang?

“Apa yang harus kulakukan?”

“Eh, tidak, sekalipun kau bilang begitu...”
 
“Bisa-bisa aku ngompol.”

Sulit untuk mengatakannya karena nada suaranya terdengar biasa-biasa saja, tapi kurasa dia dalam masalah. Merasa agak bingung, aku memanggil pria pendek di depanku.

“Erm! Ojou-sama ini ada mengatakan sesuatu!”

“...Hah?”

Para penculik itu memiringkan kepala mereka. Gadis itu, tanpa rasa takut seidkitpun, berkata kepada kedua pria itu.

“Toilet.”

“...Hah?”

“Bisa-bisa aku ngompol di sini.”

Mata para penculik itu membelalak, seolah-olah ini adalah reaksi yang tidak terduga.

Gadis ini, dia sama sekali tidak merasa takut.

“Kalau mau ngompol..., ya ngompol aja. Itu merepotkan kalau kau mulai bertingkah aneh.” salah satu penculik itu berkata dengan kesal.

Namun gadis itu, tidak segera menanggapi, dan akhirnya menaggapinya.

“Apa itu tidak apa-apa?”

Itu benar-benar sepasang mata yang polos.

Dia sama sekali tidak ragu untuk pipis di sini. Bahkan kucing liar pun masih akan pipis dengan ekspresi menyesal di wajah mereka jika berada dalam situasi sepertinya.

“K-Kupikir lebih baik kau tidak melakuknnya. Kalau kau bisa menahannya, mohon tahanlah..., bagaimanapun, ini demi diriku juga.”

Aku menjawabnya mewakili para penculik yang menjadi kaku. Aku dan gadis itu sama-sama di rantai, jadi kami tidak bisa menjaga jarak kami terlalu jauh. Jika dia sampai pipis di celananya, aku juga akan ikut mendapat masalah.

“Antar dia ke toilet...” kata penculik yang lebih tinggi.

“Tapi...”

“Aku tidak tahu berapa hari kita akan bersembunyi di sini. Kau tidak mau kalau tempat ini kotor ‘kan, aku sih tidak mau.”

Pria yang pendek itu diyakinkan oleh kata-kata pria yang lebih tinggi, dan kemudian dia mendekati gadis itu sambil menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya.

“Tsk... tapi aku tidak akan melepaskan rantainya.”

Penculik itu melepaskan belenggu kaki gadis itu.

Aku dan gadis itu, dengan tangan kami yang masih dirantai, pergi ke toilet bersama-sama. Gadis itu memasuki toilet tanpa adanya rasa malu di depan kami.

Akhirnya, gadis itu keluar dari toilet, mencuci tangannya, lalu menatapku dan si penculik.

“Sekarang aku merasa lebih segar.”

““Jangan melaporkannya.”” kataku dan si penculik secara bersamaan.

Merasa lelah dengan tingkahnya itu, kami kembali ke tempat kami sebelumnya.

“Hei,” gadis itu memanggil para penculik lagi.

“...Apa lagi sekarang?”

“Teh.”

Kau ini sama sekali tidak merasa takut, ya? Lihat, bahkan para penculik juga merasa tercengang.

“A-Aniki..., apa dia ini benar-benar putri dari keluarga Konohana? Sepertinya tidak deh...”

“K-Kau ada benarnya..., Apa kita salah orang? Tidak, tapi seharusnya...”

Karena bingung, si Aniki itu mendekati gadis itu.

“Oi, kau adalah satu-satunya putri dari keluarga Konohana, kan?”

“Iya. Terus mana tehnya?”

Kiprahmu itu terlalu berlebihan.

Bahkan para penculik juga terkejut mendengar ini saat mata mereka membelalak.

“Y-Yah, oke. Setidaknya kalau cuman minuman aku akan memberikannya. Lagipula aku tidak mau kau mati karena dahaga. Tapi sebagai gantinya..., kau harus mau bersikap kooperatif.”

Mengatakan itu, si penculik kemudian meletakkan botol plastik di samping gadis itu.

Tapi, itu hanya air mineral.

“Tadi ‘kan aku mintanya teh.”

“Ap—!? Jangan meminta yang berlebihan! Minum saja air itu!”

“Aku maunya teh. Dan juga, beberapa camilan.” kata gadis itu, dan garis biru muncul di dahi pria itu.

“Hei! Remaja yang di sana! Uruslah wanita ini!”

“Kenapa aku haru melakukan itu?”

“Kami ini sedang sibuk sekarang!” Penculik itu berteriak padaku.

Dengan tangan dan kakiku yang terikat, tidak banyak yang bisa kulakukan, tapi..., dengan enggan, aku menganggukkan kepalaku.

“Hei. Mana camilannya?”

“...Sepertinya tidak ada.”

“...Begitukah.”

Gadis itu dengan enggan mengambil botol plastik itu. Setelah beberapa saat, aku mendengar suara sesuatu yang tumpah dari arah gadis itu. Aku menoleh ke arahnya, dan melihat gadis itu basah kuyup.

“Whoa!? K-Kenapa kau basah kuyup seperti itu...”

“Entahlah?”

Memiringkan kepalanya, gadis itu menyandarkan botol plastik ke mulutnya. Namun, karena jarak antara bibir dan mulutnya, air mengalir dari wajah gadis itu dan meresap ke pakaiannya.

“Hei, kau menumpahkannya!”

“Aku tidak terbiasa minum dari botol plastik...”

Dia tidak terbiasa... lah, bukan itu intinya.

Aku ingin tahu, apakah semua Ojou-sama di dunia ini seperti ini. Bukannya dia terlalu terpaku pada kiprahnya, atau seperti, dia terlalu berani... dia ini ‘kan lagi diculik sekarang, tapi dia terlihat sama sekali tidak takut.

“Aku akan meminumakannya untukmu... sini, berikan botolnya padaku.”

“Kau tidak akan mengambilnya dariku...?”

“Tidak akan! Astaga, kau ini sungguh merepotkan!!”

Karena teriakanku yang begitu keras, para penculik menoleh ke arahku.

Gawat, sepertinya aku membuat mereka kesal..., itulah yang kupikirkan, tapi kemudian, aku diberikan tatapan yang penuh simpati. Woi, jangan lihat aku seperti itu. Sejak awal kalian sendirilah yang membawa sandera ini ke sini.
 
Pada titik ini, ketertarikanku pada gadis itu benar-benar hilang. Dia memiliki penampilan yang luar biasa sempurna, tapi sayangnya, ada sesuatu yang sepertinya hilang dari dirinya.

“Ada genangan air di sini. Kita harus geser-geser sedikit. “

“Mmh.”

Gadis itu berdiri dan bergerak bersamaku. Saat berikutnya, tanpa menyandung apa-apa, gadis itu terjatuh.

“...Uuh, sakit.”

Dengan mata yang berkaca-kaca, gadis itu kembali berdiri. Dahinya, yang menghantam lantai, berwarna merah cerah. Astaga, tidak atletis pun ada batasannya juga tahu.

“A-Aniki... Aku yakin menurut informasi yang kuselidiki sebelumnya, putri dari keluarga Konohana disebut Ojou-sama yang sempurna, kan? Menurutku dia bukanlaha orang yang setolol ini...“

“T-tidak, sekalipun kau bilang begitu, rupanya terlihat persis. Aku bahkan belum pernah mendengar kalau dia memiliki saudara...”

Para penculik itu saling berbisik. Sementara itu, gadis itu sedang mengusap dahinya yang sempat membentur lantai dengan air mata berlinang di sudut matanya.

“Sakit...”

“...Coba kulihat dulu lukanya.”

Suara gadis itu terdengar sangat sedih sehingga mau tak mau aku memeriksa lukanya.

“Bisa dibilang, ini lebih merupakan goresan daripada luka. Kau tidak boleh terlalu sering menyentuhnya karena kau mungkin terkena kuman.’

“...Mmh.”

Gadis itu mengangguk, kemudian menurunkan tangan yang ada di dahinya.

“Ngomong-ngomong..., kenapa kau ada di sini?” Gadis itu bertanya dengan sangat santai.



3 Comments

Previous Post Next Post